Selasa, 25 Oktober 2011

[PERS-Indonesia] Negeri Sumpah

 

Refl: Bukan sumpah yang dinyakatan pada tgl 28 Oktober 1928, karena tidak ada unsur agama dimasukan, antara lain misalnya dikatakan: "Demi Allah yang maha berkuasa atas langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami yang hadir hari ini menyatakan dengan rahmatMu, bla bla ...", melainkan yang dinyatakan adalah sebuah pernyataan atau ikrar bersama. Ikrar bukan sumpah! Apa yang lurus harus lurus, hendaklah jangan dibengkokan untuk dijadikan lurus.
 
 
SELASA, 24 Oktober 2011 |
 
 
Negeri Sumpah
Sudah 66 tahun lebih masyarakat Nusantara hidup bersama dalam "wadah" Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negeri di kawasan Kepulauan Nusantara yang luas, dengan keragaman latar belakang suku bangsa, adat istiadat, budaya, maupun agama ini, ternyata bisa bersatu.


Dalam perjalanan sejarah yang cukup panjang itu, mereka kemudian bersepakat untuk membentuk negara kesatuan. Hidup di atas dasar Bhineka Tunggal Ika, beraneka ragam, tapi bersatu.

Tekad untuk mempersatukan wilayah Kepulauan Nusantara sudah diikrarkan Patih Gajah Mada jauh sebelum lahirnya NKRI. Sebagai Patih Amangkubumi (1336), Gajah Mada bersumpah "Lamun huwus kalah nusantara insun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali,

Sunda, Palembang, Tumasik, samana insun amukti palapa (Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan beristirahat)" (Slamet Muljana, 2005: 249-254).

Hampir enam abad sesudah Sumpah Gajah Mada, yaitu pada 28 Oktober 1928, lahir pula Sumpah Pemuda. Peristiwa sejarah ini berlangsung dalam Kongres Pemuda Indonesia II, di gedung Indonesich Clubgebouw, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta.

Kali ini yang mengikrarkan sumpah adalah para pemuda yang tergabung dalam Jong Java, Jong Soematra, Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi, dan Perhimpunan Pelajar Indonesia (Ensiklopedi Indonesia, 1984). Latar belakang berdirinya bangsa ini ternyata "ditopang" oleh "keampuhan" rangkaian sumpah.

Mulai Melemah
Sumpah Pemuda dengan tiga pilarnya membuhul kehidupan berbangsa di persada Nusantara. Dalam teks aslinya, bunyi Sumpah Pemuda: Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia; kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia (Ensiklopedi
Indonesia, 1984: 3367).

Setelah 17 tahun kemudian, "tekad" yang dicanangkan para pemuda ini menjelma dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sungguh suatu "keajaiban sejarah". Di rentang wilayah yang demikian luas, serta keragaman yang ada, masyarakat Nusantara bisa menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Semuanya itu tak lepas dari "ruh" Sumpah Pemuda.

Kini Sumpah Pemuda sudah memasuki usianya yang ke-83 tahun. Namun sayang, di usia sepuhnya kini, pilar-pilar itu terkesan mulai "merapuh". Ikrar bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, secara berangsur mulai meretas.

Semakin hari terlihat semakin melemah. Berbagai kasus yang mengidentifikasi "konflik" hampir tak pernah reda. Mulai dari tawuran antara pelajar, lalu mencuat ke antarkampung. Konflik horizontal yang berbau SARA ini terkesan begitu mudah "tersulut". Tekad "mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia" terus digoyangkan.

Sejak mengawali kehidupan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, masyarakat Indonesia masih ibarat "hidup dalam mimpi". Cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni "adil dan makmur", semakin "kabur".

Upaya untuk mewujudkannya bagaikan jauh panggang dari api. Persatuan dan kesatuan yang melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara terus "digoyangkan", hingga sulit untuk mengemas program pembangunan yang dicita-citakan semula.

Di tengah-tengah "kegalauan" itu, kelompok yang didera rasa pesimis terpaksa mencari jalan sendiri. "Ngacir" ke negeri seberang untuk mengadu untung, mencari sesuap nasi demi menyambung hidup. Cinta tanah air yang diperibahasakan "biar hujan emas di negeri orang dan hujan batu di negeri sendiri" sudah kehilangan magnetnya. Tidak menarik lagi untuk diperbincangkan.

Anak negeri berbondong-bondong meninggalkan tanah kelahirannya. Menadah hujan emas di negeri orang, menghindar hujan batu di negeri sendiri. Cinta bangsa terpupus. Nasionalisme sudah ibarat slogan yang kehilangan makna.

Karena itu, tak heran bila kemudian muncul adanya kasus pindah kewarganegaraan. Penduduk daerah perbatasan "terjinakkan" oleh kenyataan yang mereka alami, hingga merasa lebih nyaman "mengabdi" ke bangsa dan negeri tetangga. Tekad "bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia" mulai tergerus.

Selanjutnya penggerusan mulai menyerempet ke "bahasa persatoean". Nasib bahasa nasional ini hampir tak jauh beda. Anjloknya perolehan nilai bahasa Indonesia dalam ujian nasional (UN) dapat dijadikan salah satu indikator.


Dalam keseharian, anak-anak bangsa sudah dipadati dengan suguhan bahasa dan istilah asing. Mulai dari toilet, bathtub, atau shower. Pajangan iklan di toko-toko, restoran, maupun merek barang-barang juga diramaikan dengan istilah dan kosakata asing. Sampai- sampai telinga para sopir opelet lebih akrab dengan stop, ketimbang berhenti. Bahasa Indonesia semakin asing di negeri kelahirannya.
Tak Putus Dirundung Malang

Wilayah Kepulauan Nusantara yang sempat disebut-sebut sebagai "kepingan tanah surga di muka bumi" ternyata semakin keropos. Khazanah kekayaan flora dan fauna di daratannya, tambang dan mineral di perut buminya, keragaman biota di keluasaan lautnya, sama sekali belum dapat mengangkat perikehidupan masyarakat bangsa.

Saat keuangan negara sedang "ngos-ngosan" oleh lilitan utang, wabah korupsi semakin membiak. Kasus-kasus korupsi seakan masih "diambangkan". Tak heran bila angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2010 ternyata tidak beranjak dari tahun 2009, bertahan mantap di 2,8 atau berada di peringkat ke-110 dari 178 negara yang disurvei.

Seiring dengan karut marut kehidupan dan tergerusnya nilai-nilai moral anak negeri, alam pun kemudian ikut memerankan lakonnya. Bencana alam mulai "menggelontori" wilayah timur Nusantara (Papua) dengan longsor, "mencubit" kawasan Barat (Mentawai) dengan tsunami, "merengkuh" pusat Kerajaan Jawa (Merapi).

Ibu Kota Negara yang kesulitan menyediakan pasukan air bersih bagi warganya, disuplai dengan banjir. Sayang banyak jembatan layang di daratan. Sekali-sekali perlu dilalui perahu karet di bawahnya.

Di tengah-tengah "derita berantai" yang dialami rakyat ini, wakil-wakil yang pernah mereka pilih "ngeloyor" studi banding, mempelajari situasi dan kondisi yang ada di negeri orang. Sementara kondisi dan situasi negeri sendiri "dicuekin". Lalu muncullah tembang "Jawa Barat, Jawa Timur. Rakyat melarat, pemimpin makmur", "Angin bertiup dari Jawa, mau hidup, tarik nyawa".

Kini "negeri sumpah" sudah berbalik arah. Merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), sumpah dimaksud mengacu kepada arti: Pertama, pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan;

kedua, pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar. Di balik itu ternyata sumpah juga diartikan sebagai kutukan, tulah, kata-kata buruk, atau makian.

Di rentang kehidupan berbangsa dan bernegara selama 66 tahun ini, kondisi masyarakat bangsa sudah bagaikan "tak putus dirundung malang". Penderitaan yang dialami anak negeri silih berganti. Dari Sumpah Gajah Mada dan Sumpah Pemuda yang bersisi tekad, kini menjelma dalam bentuk sumpah baru, yakni "sumpah serapah". Sumpah yang berisi muatan umpatan, saling mencaci antarsesama.

Saling mengumpat antarsesama hampir muncul setiap saat. Ibaratnya, "sumpah serapah" sudah menjadi agenda kehidupan bangsa ini dan bisa berlangsung di mana saja, di media cetak, media elektronik, forum seminar, ataupun di khalayak (demo).

"Sumpah serapah" sudah ibarat "menu harian" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Apakah ini pertanda kalau kehidupan berbangsa dan bernegara sudah melenceng dari relnya dan mulai menelusuri alur "kutukan"? Hanya sejarah pula yang bisa menjawabnya.

Namun setidaknya, peringatan Hari Sumpah Pemuda kali ini mampu kita jadikan "amsal" untuk membenah diri; kembali menyatukan tekad anak bangsa dalam "ruh" Sumpah Pemuda yang sempat terlupakan itu.

__._,_.___
Recent Activity:
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Milis Pers Indonesia
Powered by : http://www.GagasMedia.com
GagasMedia.Com Komunitas Penulis Indonesia
Publish Tulisan Anda Disini !

Khusus Iklan Jual-Beli HP/PDA
Ratusan Game/Software HP Gratis
http://www.mallponsel.com

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar