Rabu, 01 Agustus 2012

[kmnu2000] Di Balik Cerita Tiket Airlines Murah dan Mahal: Sebuah Gaya Pasar Bebas

 

Di Balik Cerita Tiket Airlines Murah dan Mahal: Sebuah Gaya Pasar Bebas

PADA MUSIM liburan yang baru lalu dan masa menjelang lebaran saat ini,
perusahaan-perusahaan penerbangan dalam negeri mengalami 'panen'.
Pemesanan dan pembelian tiket airlines berbagai jurusan, khususnya dari
Jakarta, meningkat dan bersamaan dengan itu harga tiket pun melonjak
sampai batas atas tarif yang diizinkan peraturan yang ada. Bahkan,
mengikuti pengalaman tahun-tahun sebelumnya, bukan tak mungkin ada harga
tiket yang dinaikkan melampaui batas atas tarif tersebut.

Dalam keadaan seperti itu, saat harga tiket airlines meloncat sampai
tiga kali lipat dari 'masa-masa sebelumnya', keluhan pun bermunculan.
Tapi, walaupun mengeluh panjang-pendek, toh mereka yang memang merasa
'butuh' dan 'harus' mudik lebaran, tetap saja 'menyambar' berapapun
harga tiket itu. Kalau ada calon pembeli tiket yang mengurungkan niat,
telah siap dua atau tiga pembeli lainnya untuk menggantikan.

Suggesti banyak pilihan, dan murah. SEJAK pemerintah –dalam hal ini
Kementerian Perhubungan– beberapa tahun lalu memberi izin bagi
seolah-olah 'sebanyak-banyak'nya perusahaan penerbangan beroperasi di
Indonesia, maka seolah-olah pula para penumpang Indonesia dimanjakan.
Banyak pilihan penerbangan dengan macam-macam warna pesawat, ada yang
merah, dan ada yang putih. Ada pula yang oranye, biru, hijau atau multi
warna, meski belum ada yang senekad perusahaan penerbangan dengan konsep
tarif murah di AS yang sekujur tubuh pesawatnya dibalut graffiti
berwarna semarak. Paling memikat, tentunya adalah tawaran tiket harga
murah. Namun begitu orang mulai berduyun-duyun memesan dan membeli
tiket, entah karena pengaruh iklan entah karena berita dari mulut ke
mulut, pada prakteknya hanya sedikit sekali yang akan menikmati harga
termurah itu, yaitu para pemesan awal atau yang sudah memesan jauh hari
sebelumnya –kadang-kadang 6 bulan sebelumnya. Lainnya, hanya menikmati
harga yang terasa masih murah atau yang sebenarnya sudah lebih mahal
namun tersuggestikan murah. Dan, terakhir mereka yang berangkat mendadak
karena suatu kebutuhan mendesak, akan cenderung mendapat harga
mendekati batas atas.

Apakah batas tarif atas itu? Ini adalah
harga patokan yang diberikan regulator dunia penerbangan, pemerintah,
untuk penjualan dengan harga termahal. Harga ini biasanya dan bahkan
bisa dipastikan sudah cukup jauh di atas harga impas. Pejabat pemerintah
kita tidak punya tradisi memencet kaum pemodal, melainkan terbiasa
'bersahabat' dengan dunia usaha, khususnya di era wealth driven economy
seperti sekarang. Dalam dunia penerbangan saat ini, beberapa perusahaan
bisa berjaya dan berkembang terus, di antaranya dengan masing-masing
menikmati pangsa pasar 6 juta sampai 9 juta penumpang per tahun. Kalau
ada yang collapse, tak lain karena terlalu spekulatif waktu mendirikan
airline, atau tubuhnya digerogoti korupsi internal pengelolanya. BUMN
Merpati Nusantara Airlines misalnya, tak henti-hentinya terancam bubar,
karena korupsi yang tak henti-henti di tubuhnya, mulai dari pengadaan
pesawat sampai korupsi sehari-hari dari soal katering sampai soal tiket.

Dua di antara perusahaan dengan rute domestik yang berjaya di Indonesia
saat ini dengan promosi tiket murah adalah Air Asia dan Lion Air. Air
Asia tadinya bernama Awair sebuah perusahaan lokal yang kemudian
'merger' dengan perusahaan Malaysia. Baru-baru ini mereka mengumumkan
akan mengakuisisi perusahaan lokal lainnya, Batavia Air. Sementara itu,
Lion Air, didirikan dan dikelola oleh seorang pengusaha yang tadinya
'buta' dengan dunia penerbangan.

Sampai bulan Juli menjelang
lebaran ini, Air Asia masih selalu muncul dengan iklan tiket murah.
Untuk periode tertentu liburan akhir tahun yang masih sekitar 5 bulan
lagi, mereka menawarkan tiket Jakarta-Semarang dengan harga mulai Rp.99
ribu dan Jakarta-Bali serta Jakarta Singapura mulai Rp. 199 ribu untuk
sekali jalan. Pulangnya, tidak jelas. Pasti lebih mahal dengan
kemungkinan sangat mahal, sesuai pengalaman para traveller yang pernah
melakoni beli tiket murah sekali jalan.

Apakah tiket murah itu
betul-betul ada dalam kenyataan? Betul, ada sejumlah kesaksian yang
membuktikan bahwa memang benar ada tiket murah. Tapi, sejumlah kesaksian
lain menyebutkan, jarang dan susah mendapatkan tiket semurah yang
diiklankan, kecuali betul-betul memesannya lebih cepat, misalnya 6 bulan
sebelumnya. Kalau sebuah maskapai penerbangan menjual seluruh tiketnya
dengan harga murah seperti yang diiklankan, tak lama ia akan rontok dari
udara, dalam arti kiasan maupun dalam arti sebenarnya.

Lalu apa sebenarnya cerita di balik tiket murah?

Seorang mantan pengelola sebuah perusahaan penerbangan swasta yang
pernah berjaya di masa Soeharto tapi kini sudah rontok, Hasan Soedjono,
pernah menulis di Buletin s2b tentang lika-liku di belakang tarif murah
ini. Sebuah tulisan menarik. Kita sarikan dan paparkan ulang di bagian
berikut. Sama menariknya, sebenarnya adalah Buletin s2b itu, sebuah
media uneg-uneg dari seorang tokoh gerakan mahasiswa 1966, RAF Mully
yang kini sudah almarhum. Sambil memuat tulisan Hasan Soedjono pada
edisi Februari 2005, RAF Mully, memberi komentar pendahuluan bahwa tarif
murah yang ditawarkan beberapa perusahaan penerbangan waktu itu,
fantastis murah sehingga seringkali terasa tak masuk akal lagi. "Pikiran
kita jadi menyeleweng, jangan-jangan pesawat yang dipakai adalah kotak
sabun yang dimake-up". Atau, "ada subsidi gelap dari pemerintah, karena
yang empunya maskapai penerbangan adalah anaknya pejabat".

Algoritma John Forbes Nash. SEMUA airline yang menggunakan CRS
(computerized reservation system) berkecenderungan kuat mengaplikasikan
software (peranti lunak) "revenue management". Peranti lunak yang
dipakai CRS airline menggunakan algoritma temuan John Forbes Nash,
seorang ahli matematika dari Princeton University, pemenang Hadiah Nobel
1994 dalam ekonomi. Penemuan John Forbes Nash itu adalah algoritma
pemecahan bidding strategy, yang akan konsisten membuat pasar yang tidak
adil dan rata tingkat pemilikan informasinya, tetap menjadi lebih
efisien. Aplikasi komersial yang pertama dari terobosan John Nash itu,
memang adalah untuk airlines reservations.

Tugas dari revenue
management software adalah untuk mengoptimasi yield (harga tiket tempat
duduk) untuk setiap penerbangan. Prinsipnya, mengisi pesawat semaksimal
mungkin, yang terdiri dari berlapis tarif untuk setiap tempat duduk yang
ditawarkan. Kuncinya adalah bagaimana menyiasati pasar meski diliputi
ketidakpastian. Apakah informasi yang dimiliki demand-side (calon
penumpang) yang tidak dimiliki oleh supply-side (maskapai penerbangan)?
Apa yang tidak diketahui maskapai penerbangan secara pasti adalah apakah
si pemesan tempat memang akan sungguh-sungguh terbang. Hanya si pemesan
tempat lah yang tahu parameter tersebut. Sebaliknya, informasi apakah
yang tidak diketahui konsumen, tetapi hanya diketahui produsen (maskapai
penerbangan)? Tak lain adalah jumlah kursi yang tersedia. Hanya
maskapai penerbangan yang tahu, tetapi konsumen tak tahu. Dinamika untuk
bidding dalam situasi di mana semua pemain tidak memiliki informasi
lengkap inilah yang dipelajari ahli matematika dari Princeton tersebut.

Dinamika pasar sebenarnya sederhana saja. Semakin dini sang produsen
(maskapai penerbangan) mendapat kepastian penumpang yang akan berangkat
–atau dengan kata lain, semakin dini ketidakpastian yang biasanya
diderita oleh produsen berubah menjadi kepastian– maka semakin rela pula
maskapai penerbangan membayar mahal untuk informasi dini itu. Cara
membayarnya? Tak lain, dengan memberi diskon tebal alias tarif murah. Di
lain pihak, semakin mundur kepastian tersebut diperoleh, maka sang
konsumen harus membayar lebih mahal karena menikmati tenggang waktu
sampai mepet batas atau deadline sebelum harus memastikan pesanannya.

Meski Garuda dan berbagai perusahaan penerbangan lainnya juga memakai
revenue management software, tetapi hanya Air Asia (dulu Awair) dan Lion
Air yang tampaknya 'paling mengerti' bagaimana mendongkraknya supaya
menjadi buah bibir masyarakat. Caranya sederhana saja. Katakan, sebuah
pesawat memiliki kapasitas 100 kursi. Masing-masing direktur komersial
setiap maskapai penerbangan bebas menetapkan beberapa class dan atau
sub-class yang ingin ia berlakukan. Ekstrimnya, karena ada 100 kursi,
maka 100 sub-class pun bisa di-input ke dalam software revenue
management. Bagaimana masing-masing sub-class terisi? Berapa kursi untuk
setiap sub-class?

Apa boleh buat, kapitalistik-liberal.
Keputusan diserahkan kepada software. Selain mengamati dinamika
reservasi yang berjalan, sang software mengadakan regresi dari korelasi
ke semua penerbangan sebelumnya. software juga membandingkan untuk
setiap saat, berapa pesanan masuk (reservations), dan berapa yang
terealisir (confirmed departures). Data inilah yang akan memandu
software untuk membagi sub-class secara optimal untuk semua penerbangan
yang sedang ditawarkan ke pasar tetapi belum diterbangkan. Sementara
Garuda dan Merpati hanya menetapkan, katakan saja, 5 sub-class, maka Air
Asia dan Lion Air menetapkan 20 sub-class. Dengan sendirinya sub-class
Lion Air yang termurah jauh akan lebih rendah dari sub-class Garuda yang
termurah.

Air Asia dan Lion Air mengiklankan sub-class mereka
yang termurah, tetapi yang bisa menikmati harga tersebut hanyalah mereka
yang memesan dari jauh hari, dan pasti berangkat. Dan maskapai
penerbangan tersebut memastikan pasar sangat mengerti bahwa ada tiket
super murah. Mereka juga memastikan bahwa pasar tidak menyadari bahwa
yang dimaksudkan adalah: "selama ada persediaan". Mereka yang sekedar
tergiur akan adanya berita tiket super murah ke Bali, cenderung tidak
langsung memanfaatkannya (bahkan meneruskan berita bagus tersebut ke
relasi lain). Nah, kelambanan seperti itulah yang mendongkrak harga
naik. Pada saat seseorang akhirnya memutuskan jadi berangkat, harga
tiket sudah tidak lagi super murah seperti yang "dihembuskan semua
orang". Tanyakan saja kepada yang pernah naik pesawat maskapai-maskapai
penerbangan yang berkonsep 'tiket murah', apakah benar mereka membayar
sesuai dengan tarif di iklan? Toh, tak urung 'suggesti' yang berhasil
ditanamkan di kepala publik tentang adanya tiket murah, pada akhirnya
menciptakan keyakinan kebanyakan masyarakat bahwa tarif pesawat terbang
saat ini lebih murah dari masa-masa yang lalu. Makin berduyun-duyunlah
orang naik pesawat terbang. Sebagian untuk tujuan produktif dan mungkin
mendesak, tapi tak kalah banyaknya, "ya, naik pesawat saja, mumpung
murah".

Makanya, rahasia maskapai penerbangan yang paling harus
dijaga adalah jumlah rencana produksi, dan jumlah seat yang belum
terjual. Dalam dunia maskapai penerbangan, diistilahkan sebagai
inventory. Tidak akan pernah sekalipun sebuah airlines memberikan
informasi berapa seat yang masih tersedia (belum terjual). Portal-portal
travel hanya bisa menjamin "x" kursi, tetapi tidak pernah bisa
menawarkan seluruh sisa tempat duduk pesawat. Hanya pihak airline yang
boleh tahu berapa kursi masih tersisa. Apa boleh buat, memang sebuah
gaya yang beraroma kapitalistik-liberal yang betul-betul menganut pasar
bebas berdasarkan supply and demand.

TAK lupa, bagi para
pemudik lebaran yang menggunakan pesawat terbang, selamat menikmati
penerbangan anda. Mohon maaf lahir batin, kalau ternyata tiketnya sangat
tidak murah. Maklum, lebaran.

(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
______________________________________________________________________
http://www.numesir.org untuk informasi tentang Cabang Istimewa NU Mesir dan KMNU2000, atau info-info seputar Cairo dan Timur Tengah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kami berharap Anda selalu bersama kami, tapi jika karena suatu hal Anda harus meninggalkan forum ini silakan kirim email ke:
kmnu2000-unsubscribe@yahoogroups.com
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar