Minggu, 26 Agustus 2012

«PPDi» Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali

 

Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (1)
OPINI | 03 August 2012 | 09:20Dibaca: 338   Komentar: 1   Nihil

Malik Khaidir Mahmud. Demikianlah nama asli beliau. Seorang tokoh elit eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikenal dekat dengan Wali Nanggroe, Hasan Tiro. Tokoh yang satu ini memang sungguh unik, tertutup dan sangat berhati-hati dalam berbagai isu yang menyangkut akan latar belakang dan riwayat hidupnya. Sehingga tidak diperoleh catatan yang jelas apa dan siapa Malik Mahmud tersebut. Sementara itu, arah politik Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki, menjadikan tokoh ini begitu populer sebagai Perdana Menteri GAM yang "berhasil" membawa perdamaian ke Aceh melalui jalur politik. Hingga saat ini, tidak ada catatan yang jelas mengenai siapa sebenarnya Malik Mahmud ini. Dari mana ia berasal, kompetensinya dalam karir yang digelutinya selama ini, catatan pendidikan dan pengalaman pekerjaan, keluarga, anak dan istri serta hal-hal lain yang terasa gelap bagi masyarakat Aceh tentang sosok yang disebut-sebut akan menjadi figure pemersatu bagi rakyat Aceh.

Riwayat Kehidupan
Ia lahir pada tahun 1939 si Singapura. Menghabiskan sebagian besar hidupnya di perantauan mengikuti orang tuanya yang bekerja sebagai Saudagar di Singapura. Semasa tinggal di Singapura, ia sempat bekerja sebagai pegawai pencatatan dan kelahiran sipil lalu terdaftar sebagai Tentara Marinir Singapura akibat program wajib militer yang diberlakukan oleh negara itu. Tidak ada catatan yang jelas mengenai kiprah maupun karir Malik di militer. Selanjutnya, asal nama Malik Mahmud Al Haythar berasal dari kesulitan beliau di masa kecilnya dengan menyebut nama tengahnya, "Khaidir". Sehingga menggantinya dengan ejaan yang lebih mudah menjadi Hayther atau Haythar. Kata penambahan "Al" itu hanyalah reka-reka sendiri mengingat orang Aceh senang dengan hal-hal yang berbau ke Arab-araban.

Ibunya berasal dari Lampreh, Lambaro. Ayahnya, Haji Mahmud, berasal dari Lampuuk, Banda Aceh, campuran Arab dan India. Haji Mahmud pindah ke Singapura untuk mengembangkan bisnis perdagangan. Almarhum Haji Mahmud Khaidir (demikian ia disebut) merupakan pedagang Aceh yang hebat, sangat kaya, dengan sejumlah tanah yang dimilikinya hingga di Singapura. Semasa ia hidup, sebagai orang dagang, Haji Mahmud menjalin persahabatan dengan berbagai kalangan baik di Aceh maupun di Singapura. Ia juga cukup dekat dengan tokoh-tokoh DI/TII seperti Teungku Ilyas Leubeu dan Tengku Daud Bereueh. Sementara Hasan Tiro sudah dianggap seperti anak sendiri olehnya. Sementara itu, di kalangan Singapura pun Haji Mahmud cukup akrab dengan tokoh-tokoh kawasan Geylang tempatnya tinggal seperti kelompok See Tong, Wo Shing Wo, Sun Tee On hingga Roland yang merupakan cikal bakal tokoh mafia terkenal yang sangat dekat dengan Malik Mahmud.

Sementara itu, Hasan Tiro selama tergabung dalam DI sangat dekat dengan keluarga Mahmud, terutama dengan Amir Rashid (abang Malik Mahmud yang juga salah seorang Mentri GAM). Haji Mahmud sendiri dianggap sangat berjasa bagi masyarakat Aceh di Singapura, juga bagi orang Melayu, sehingga ia dikenal engan sebutan Ayah Aceh. Ketika terjadi racial clash di Singapura, orang Melayu di Geylang lari berlindung ke rumahnya dengan aman akibat koneksi yang cukup baik dengan tokoh-tokoh Mafia dan Triad di Singapura tersebut.

Malik Mahmud dan Mafia Singapura
Sekitar tahun 1969 merupakan tahun dimana Roland dan anggota geng mafia See Tong mulai menancapkan  "kukunya" di wilayah Singapura setelah sekian lama membangun reputasi bisnis ilegalnya di Negeri Singa tersebut.

1343959681387955300
http://www.flickr.com/photos/drhusaini/7518038894/in/photostream/
Tahun itu juga merupakan awal jalinan kedekatan persahabatan Malek Mahmud dan ketua geng, Roland alias Hylam-kia. Pada malam tanggal 23 Oktober 1969, sekitar sepuluh dari sesama anggota geng dari See Tong menyerang dua anggota geng saingan mereka, Pek Kim Leng ( Putih Golden Dragon). Salah satu anggota geng saingan, yang juga bersenjata, tewas dan yang lainnya terluka parah dalam serangan itu.

Bentrokan terjadi akibat dari perselisihan sebelumnya antara tahta Tong (See Tong) yang dekat dengan kelompok perantau di Geylang termasuk Malik Mahmud dan Ayahnya, dengan Kim Pek Leng di sebuah bar. Krisis pun terjadi di antara keduanya, ketika negosiasi tidak tercapai untuk menghasilkan solusi damai. Pertarungan antara dua geng pun terjadi dimana anggota geng akan saling menyerang saat melihat satu sama lain. Untuk menghindari adanya kejaran dari pihak kepolisian Singapura, Roland dengan dibantu kelompok See Tong dan Malik Mahmud melarikan diri ke Malaysia dan atas bantuan koneksi dari Haji Mahmud yang luas, Roland berhasil ke Belanda dengan dibantu oleh mantan pelaut Singapura yang telah bermukim di Belanda, bernama "Big Jhonny". Atas rekomendasi Haji Mahmud lah, Big Jhonny membuka jalan Roland untuk bertemu dengan tokoh-tokoh TRIAD Hongkong di Belanda seperti Wo Shing Wo dan Sun Tee On.

Kelompok ini yang selanjutnya terkenal dengan sebutan geng Ah Kong yang beroperasi hingga ke seluruh dunia termasuk Amsterdam, Belanda. Malik Mahmud yang kala itu telah mendukung perjuangan Hasan Tiro, ditunjuk sebagai penggalang dana dengan cara memasok kebutuhan akan ganja dan zat-zat adiktif lainnya ke Belanda yang memang cukup tinggi permintaannya. Sebagaimana diketahui, Amsterdam merupakan salah satu kota dunia yang melegalkan penggunaan ganja dan sejenisnya untuk dikonsumsi oleh warganya. Persahabatan geng Ah Kong terus berlanjut hingga saat ini bahkan setelah kematian Bos Ah Kong tahun 2010.

Perjalanan Malik Mahmud dalam "dunia bawah tanah" Singapura belum benar-benar berakhir meskipun dengan meninggalnya bos Ah Kong. Jalinan persahabatan terus dibangun sebagai wujud kebersamaan dalam membangun reputasi di dunia hitam.


Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (2)

OPINI | 04 August 2012 | 13:02Dibaca: 248   Komentar: 3   1 dari 1 Kompasianer menilai menarik
Melanjutkan tulisan kemarin tentang sosok Sang Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haythar, yang misterius dan tertutup serta keunggulannya dalam menjalin dan memelihara kerjasama dan hubungan dengan "dunia bawah tanah" Singapura, pembahasan kali ini akan mendeskripsikan kelihaian Malik Mahmud sebagai seorang yang lihai dalam memanfaatkan peluang "kekosongan" sejarah Aceh dalam mendukung langkah dan  gerakan yang dilakukan oleh Hasan Tiro dalam memerdekakan Aceh.

Tahun 2002, adalah tahun penting bagi Malik Mahmud setelah perjalanan panjang yang ia  lakukan bersama Hasan Tiro sejak mengenalnya tahun 1964. Tahun itu, adalah tahun penetapan sekaligus pengukuhan dirinya sebagai Perdana Menteri GAM sekaligus Pemangku Wali Nanggroe dalam rapat rahasia yang dihadiri secara terbatas oleh para kombatan GAM di luar negeri. Rapat rahasia itu dilaksanakan di Stavanger Norwegia atas inisiatif Malik Mahmud dalam upayanya menetapkan posisi dan kedudukan para elit GAM kala itu sekaligus sebagai usaha untuk tidak kehilangan reputasi di tengah perlawanan keras yang dilakukan oleh para pejuang GAM di Aceh yang sangat berwibawa saat itu yaitu Tengku Abdullah Syafei. Pemangku Wali sendiri dapat diartikan sebagai pelaksana tugas-tugas Wali Nanggroe apabila sang wali berhalangan sementara ataupun tetap. Namun demikian, muncul pertanyaan, apakah pengukuhan tersebut merupakan kehendak rakyat Aceh seluruhnya? Apakah pengukuhan tersebut semata-mata merupakan strategi menuju ke puncak kekuasaan Aceh dengan mengabaikan peranan Kesultanan Aceh yang sesungguhnya?
13440599992125930638
http://www.flickr.com/photos/drhusaini/7512999628/in/photostream
Sejarah mencatat, bahwa  sejatinya wali nanggroe telah ada semasa Kesultanan Aceh di masa penjajahan Belanda yaitu Tuanku Hasyim Banta Muda, Syaikh Abdur Rauf al-Singkili yang pernah mewakili kerajaan Aceh. Kesultanan Aceh sendiri berawal dari kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) hingga Sultan Muhammad Dawud Syah (1874-1903). Namun demikian, dengan berlandaskan buku yang dikeluarkan oleh Parlemen Inggris, New Birth of Freedom tahun 1992, Hasan Tiro mengaku sebagai keturunan dan penguasa kesultanan Aceh yang ke-41 yaitu sejak tahun 1976. Ini adalah hal yang sungguh aneh di tengah para keturunan langsung Sultan dan Wali Nanggroe Aceh Darusalam yang terikat oleh sejarah dan tradisi kesultanan Aceh melihat kedudukan Hasan Tiro maupun Malik Mahmud sebagai tokoh yang memanipulasi sejarah Aceh untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Dalam diskusi Panteue yang turut dihadiri Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibarim sebagai cucu Sultan Alaidin Muhammad Dawud Syah (Sultan Aceh yang terakhir), juga hadir cucu Wali Nangroe Tuanku Hasyim Banta Muda, Adli Abdullah tanggal 12 Desember 2010 di Lampriet Banda Aceh, menurut  Adli bahwa  dalam daftar Piagam Bate KurengSAMA SEKALI TIDAK ADA NAMA Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro.

Selanjutnya, simbol kerajaan dan pemerintahan Aceh berupa cap Sikureng yang pernah diberikan kepada Tgk Chik di Tiro, setelah sepeninggal beliau pada tahun 1891, telah diserahkan kepada Habib Samalanga (Reid, 2005:275). Melihat symbol kerajaan yang dipegang oleh Habib tersebut, apakah keturunan habib itu juga berhak atas gelar Wali Nanggroe?

Melihat penelusuran sejarah singkat di atas tentang Wali Nanggroe, tentunya terbentuk pemahaman, siapa sebenarnya Hasan Tiro dan apa yang melandasi penunjukan Malik Mahmud sebagai Pemangku Wali Nanggroe untuk menduduki sebuah jabatan yang memiliki nilai-nilai kultur dan sejarah Keacehan yang sangat tinggi dan tak ternilai?
Disinilah letak kelihaian Malik Mahmud dalam merencanakan dan memanipulasi sejarah Aceh yang terputus karena didera konflik selama puluhan tahun. Malik Mahmud tampaknya menyadari posisinya yang sangat lemah dalam silsilah kesultanan Aceh sehingga merekayasa pertemuan rahasia Sigom Donya di Stavanger sebagai upayanya dalam mengukuhkan kedudukannya andaikan Hasan Tiro tiada. Hal ini sama dengan ketika marsekal Perancis Jean Baptiste Bernadotte menggantikan Raja Swedia Carl XIII yang tidak memiliki putra mahkota. Dengan musyawarah kerajaan yang diinisiasi oleh Bernadotte, maka mau tak mau dalam musyawarah tersebut menunjuk Bernadotte sebagai Raja Swedia pada tahun 1810.

Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh Malik Mahmud dan mendiang Hasan Tiro dalam rapat Stavanger tersebut adalah Coup D etat atas sejarah dan nilai-nilai kultur serta budaya Aceh maupun  pengkhianatan terhadap kejayaan Kesultanan Aceh masa lalu. Semuanya dilakukan bukan karena dilandasi oleh niat yang tulus dan ikhlas dalam mensejahterakan rakyat Aceh atau bahkan memerdekakannya, namun lebih karena nafsu kekuasaan.


Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (3)

OPINI | 05 August 2012 | 12:42Dibaca: 260   Komentar: 0   Nihil
Setelah berkisah tentang kelihaian Malik Mahmud dalam memanipulasi sejarah Aceh pada rapat Sigom Donya di Stavanger Norwegia 10 tahun lalu, cerita tentang Malik Mahmud kali ini akan lebih menyoroti tentang "petualangan" Malik Mahmud dengan banyak wanita. Silsilah keluarga yang tidak jelas dan ketertutupan Malik Mahmud akan hal-hal yang bersifat pribadi, adalah hal wajar bagi kebanyakan orang yang hidup dalam dunia hitam. Tidak jelas siapa orangnya yang disebut dengan Mrs. Malik Mahmud atau Nyonya Malik, namun yang sudah menjadi rahasia umum adalah banyak wanita di sekeliling Malik Mahmud.
"Petualangan" Malek Mahmud dan perempuan bukanlah hal baru bagi rakyat Aceh maupun kalangan eks kombatan GAM. Beberapa kesaksian dari sahabat yang gemar dalam "berpetualang" di dunia hiburan malam seluruh dunia, menyebutkan bahwa sosok Sang Pemangku Wali ini, adalah orang yang sangat flamboyant, santai dan bersahabat. Hal ini tentunya berbeda dengan yang dikenal oleh rakyat Aceh selama ini, dimana Malik Mahmud adalah figur yang tegas, tertutup dan keras.
1344218450696364124
http://www.flickr.com/photos/yusufdaud/7696170304/in/photostream/
Namun semua kesan keras dan ketegasannya tersebut hilang seketika dalam "petualangannya" kePalm Hills Casino resort Las Vegas tahun 2006 lalu, disebutkan bahwa ia menghabiskan hampir seluruh waktunya di dalam Hugh Hefner club Sky Villa sebuah klub yang dimiliki oleh bos majalah Playboy, Hugh Hefner. Klub ini memang luar biasa, dengan menyuguhkan hiburan-hiburan kelas dunia dengan menu wanita-wanita paling cantik sejagad koleksi majalah Playboy dari seluruh dunia. Artis-artis top Hollywood, pengusaha hingga para dictator negara-negara ATimur Tengah kerap menjadi tamu istimewa klub yang berharga $35,000 USD per malamnya. Malik Mahmud tentu dengan kekuatan dan pengaruhnya yang begitu besar di Aceh maupun kalangan eks kombatan GAM tidak terlalu kesulitan untuk memperoleh dan membelanjakan uang sebesar itu untuk membeli sebuah surga di dunia.
1344145257196650034
http://www.flickr.com/photos/yusufdaud/7696173690/in/photostream
Selain di Amerika dan Eropa, petualangan Sang Pemangku Wali juga dilakukan di local area, juga regional. Seperti di Singapura dan Medan, dua kota yang menjadi tempat favorite Malik untuk menghabiskan weekendnya. Setiap akhir sholat Jumat, Malek Mahmud secara rutin "terbang" ke Singapura maupun Medan untuk menuntaskan hasrat dan syahwatnya yang tertahan selama lebih kurang 5 hari berada di Serambi Mekah.Di Singapura, sasaran penuntasan syahwat Malik adalah di Orchad Tower maupun Huxon Hill, dua tempat yang terkenal dengan wanita-wanita penjaja seks high class. Sementara itu di Medan, Malek kerap memanfaatkan "jasa" penyedia layanan "pesan-antar" untuk melayaninya di hotel-hotel seperti Medan Deli maupun Polonia Medan.
13442186291556287261
http://www.flickr.com/photos/yusufdaud/7696165344/in/photostream/
Terlepas dari baik ataupun buruknya keadaan ini jika dilihat dari sisi religius, paling tidak kita semua menyadari bahwa kita hidup di dunia dan alam yang sama, kita pun menghirup udara yang sama pula sehingga tentu apa yang dilakukan oleh Pemangku Wali adalah hal yang manusiawi dimana semua manusia lahir disertai dengan akal dan nafsu. Apapun baju yang dikenakannya, Pendeta, Ustadz atau bahkan Pemangku Wali sekalipun. Semuanya tetap manusia dan masih memiliki nafsu, namun hanya dengan akal lah kehormatan dan reputasi dapat dibangun sehingga tampil sebagai sosok yang pantas untuk menjadi panutan. Apakah Sang Pemangku Wali pantas untuk menjadi panutan kita? Andalah yang memilih sesuai dari sudut pandang mana anda melihat.

~~BERSAMBUNG~~


================================================

 

Wali Nanggroe, Penguasa Aceh Sesungguhnya?

OPINI | 07 August 2012 | 09:25


13443028532018795903
Wali Nanggroe, Penguasa Aceh sesungguhnya?

Akhir-akhir ini, pasca kenaikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, isu merebak di tengah masyarakat bahwa sesungguhnya pemimpin Aceh yang baru kali ini adalah "boneka" Sang Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud. Proses "pembinaan" yang dilakukan dalam waktu yang relatif cukup lama mulai dari proses rekrutmen hingga pengaturan jabatan dalam lingkup organisasi GAM saat itu, sampai dengan sekarang dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politik baik dalam maupun luar negeri di Aceh.

Sebagai contoh, Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf, 30 tahun lalu adalah pemuda tampan karismatik pilihan Malik Mahmud untuk dikirim belajar dan berlatih ilmu kemiliteran di Camp Tajura, Lybia. Secara akademis intelektual, Muzakkir sangatlah jauh untuk dikatakan cerdas, bahkan prestasi akademiknya selama bersekolah di SMA Negeri Panton labu pun terbilang tidak mengesankan. Namun dalam hal kemiliteran sosok dan figurnya yang simpatik dianggap merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi komandan di lapangan selama konflik antara Indonesia melawan GAM. Bodoh tetapi karismatik, adalah pilihan tepat bagi seorang "Master mind" sekelas Malik Mahmud untuk menjadikan "anak asuh" rekrutannya menjadi pengganti pemimpin GAM karismatik lainnya, yaitu Abdullah Syafei yang dianggap oleh Malik Mahmud sebagai tokoh yang sangat berpotensi menghalang-halangi niatnya untuk "menguasai" Aceh.

23 Januari 2002, Abdullah Syafei gugur dalam suatu penyergapan oleh pasukan TNI. Kisah penyergapan itu sendiri tidak terlepas dari "permainan" dan strategi Malik Mahmud dalam "menjual" informasi tentang keberadaan Abdullah Syafei kepada Pemerintah Indonesia. Setelah wafatnya Abdullah Syafei, Malik Mahmud dengan cepat menjalankan strateginya dengan mengangkat pengganti panglima GAM yang telah disiapkan sejak lama, Muzakkir Manaf. Dan sejak itu, mulailah era kepemimpinan GAM yang tidak lagi mengutamakan kepentingan rakyat Aceh di atas semua kepentingan, namun lebih kepada kepentingan GAM sebagai organisasi dan apa yang diperjuangkannya. Juli 2002 kemudian, Malik Mahmud segera menggagas rapat Sigom Donya di Stavanger Norwegia untuk menegaskan posisinya dalam struktur perjuangan GAM. Disitulah Wali Nanggroe ditentukan oleh Hasan Tiro, dan Malik Mahmud berkedudukan sebagai Pemangku Wali. Dengan strategi dan rekayasa sejarah, tidak seorangpun yang menyadari niat busuk dari Malik Mahmud dalam menyusun rencana kekuasaan bagi kelompoknya, kecuali MP GAM saat itu yang digawangi oleh Dr. Husaini, yang kerap menentang keputusan yang diambil oleh Malik Mahmud yang cederung sentralistis dan otoriter, sementara melalui MP GAM, perjuangan GAM lebih fokus pada kepemimpinan kolektif dengan tetap memperjuangan kepentingan rakyat Aceh sebagai prioritas.

Sedikit melihat ke belakang, MP-GAM sendiri adalah organisasi yang dibentuk diKuala Lumpur pada tahun 1999, oleh para senior GAM yang masih setia kepada perjuangan. Inisiatif pembentukan majelis ini merupakan sikap antisipatif mengingat kondisi kesehatan Wali yang mulai menurun akibat terkena stroke pada Agustus 1997, ditambah lagi dengan fakta rancunya konsolidasi perjuangan setelah diambil alih oleh Malik Mahmud.

Malik Mahmud saat itu telah menyingkirkan relatif 90% para loyalis perjuangan diStockholm dan Malaysia, termasuk di antaranya Panglima Angkatan Darat Tgk. M. Daud Husin. Beberapa tokoh penting generasi awal sudah tidak lagi mendapat tempat. Sebaliknya Malik pun mulai membangun hegemoni kekuasaannya bersama orang-orang yang relatif mudah dikendalikannya melalui GAM "baru' hasil rekrutan Malik Mahmud sendiri antara tahun 1986 sampai dengan tahun 1989.

Mungkin banyak orang yang lupa atau tidak mengetahui bahwa (alm.) Tgk. Hasan M. di Tiro telah membentuk Majelis Negara dan menandatangani dekrit pada tanggal 17 Maret 1979, sesaat sebelum beliau berangkat keluar negeri. Dekrit tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi Wali Negara yang absen, misalnya karena sakit atau keluar negeri, maka Pemerintahan dijalankan oleh Majelis Menteri (Council of Ministers), yang dikepalai oleh Perdana Menteri dengan beberapa orang Wakil Perdana Menteri. Dalam kondisi absen tetap, seperti kematian, maka kepemimpinan digantikan secara berturut-turut sesuai dengan ranking senioritas yang telah ditentukan sebagai berikut: Perdana Menteri-1 (PM-1): Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Wakil PM-1: Tgk. Haji Ilyas Leube, Wakil PM-2: Dr. Husaini Hasan, Wakil PM-3: Dr. Zaini Abdullah, dan Wakil PM-4: Dr. Zubir Mahmud.

Menyadari posisinya tersebut, Malik Mahmud mulai "menggembosi" satu persatu pimpinan MP GAM, dengan berbagai rekayasa yang telah kita saksikan sendiri selama ini, mulai dari Guree Rahman, Tgk. Don Zulfahri, Tgk. Daud USman dan lain-lain. Semuanya direkayasa untuk ditangkap hingga dibunuh dengan cara yang mengenaskan.

Sekarang, dengan terpilihnya pemimpin Aceh yang baru hasil dari kesepakatan dan skenario yang telah disusun dengan apik oleh Malik Mahmud, maka kekuasaan Aceh sebenarnya bukanlah di tangan pemimpin terpilih, apalagi rakyat Aceh. Sebab, Sang Wali nanggroe yang baru sedang "bermain" mengkutak-katik struktur dan organisasi pemerintahan demi keuntungan  dan kekuasaan sendiri. Lihatlah apa yang terjadi dengan rekayasa tambang emas di Aceh Selatan yang melibatkan perusahaan Australia dengan penghubung yang tak jelas asal muasalnya apalagi reputasinya (Pedro Limardo), belum lagi rencana pembentukan tim pemantau pembangunan Aceh yang akan melibatkan unsur-unsur KPA atau eks kombatan GAM tanpa dilandasi pada kompetensi namun lebih kepada "balas budi" semata.

Mengerikan, namun nyata terjadi. Penguasaan atas sebuah daerah melalui sebuah proses yang demokratis karena melibatkan rakyat di dalamnya, hendaknya terbebas dari segala intervensi kepentingan oleh siapapun dan apapun, janganlah seorang pemimpin tersandera oleh "utang budi" atau utang-utang lainnya, sebab satu-satunya tempat ia berutang adalah kepada rakyatnya yang telah menaruh harapan besar kepada dirinya. Oleh karenanya, sudah sepatutnya pemimpin harus selalu berpedoman kepada kepentingan rakyat dengan menempatkan rakyat sebagai prioritas untuk disejahterakan.



Aceh: Kapan "Merdeka" dari Teror?


OPINI | 16 August 2012 | 11:05

1345086259321123563
Sumber: http://www.flickr.com/photos/drhusaini/7792363758/in/photostream

Besok, segenap masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke akan merayakan Hari Kemerdekaan RI k-67. Sebuah perjalanan panjang dengan berbagai rasa, mulai dari pahit dan getir hingga suka cita. Perjalanan yang membawa kebangkitan dan prestasi, namun juga menyisakan keterpurukan. Perjalanan yang patut menjadi bahan introspeksi dan evaluasi demi perbaikan bangsa di masa yang akan datang. Senang tidak senang, bangsa ini sangat rentan terhadap berbagai ancaman dan bahaya, mulai dari akselerasi perkembangan global yang semakin mengikis nilai-nilai kultur budaya setempat, bahaya disitegrasi hingga ancaman teror global, maupun lokal. Di Aceh, pasca berakhirnya konflik puluhan tahun, ternyata masyarakat Aceh belum betul-betul merasakan nikmatnya perdamaian dan kemerdekaan sejati selayaknya masyarakat Indonesia di tempat lain, akibat ancaman bahaya teror yang masih terus mengintai.

Sementara itu, pemahaman teror bagi aparat penegak hukum dan keamanan pun masih diartikan secara sempit, dimana masih "terbawa" oleh arus trend global yang dipengaruhi oleh hegemoni AS dan sekutunya. War on Terror masih menjadi bagian dari policy pemerintahan kita dalam melihat berbagai kasus terorisme di negeri ini. Di lain pihak masyarakat Indonesia yag berdiam di bumi Serambi Mekah tak henti-hentinya merasakan ketakutan dan kecemasan akibat terror yang terus mengintai.
Hal ini dapat dilihat dengan adanya deretan kasus penembakan dan aksi terorisme di Aceh yang mengorbankan belasan korban jiwa dan puluhan lainnya luka-luka sepanjang tahun 2011-2012. Kala itu, situasi politik Aceh tengah memanas dengan adanya perbedaan pendapat antara keputusan MK dengan Partai Aceh mengenai calon independen yang berakhir pada penolakan PA untuk mengikuti pilkada. Kebijakan Pemerintah pusat sendiri cenderung "memaksakan" untuk melakukan pemilukada tanpa keterlibatan kandidat dari Partai Aceh mulai lembek hingga terbawa arus suasana hingga menilai keadaan politik Aceh yang inkondusif. Sikap Pemerintah pusat berubah, setelah menimbang keadaan yang "tercipta" dari proses aksi-aksi terror tersebut.

Situasi dan keadaan yang tercipta akibat teror tersebut saja menyandera kebijakan penyelenggara negara, namun juga telah merebut hak dan kemerdekaan individu yang paling hakiki yaitu kebebasan. Sebab, teror yang disebar bertujuan untuk mengendalikan dan mengarahkan pilihan masyarakat yang pada akhirnya terjebak dalam lingkaran setan yang tidak pernah punya pilihan apapun selain "yang diarahkan". Polisi dan aparat keamanan memang telah menangkap sebagian  pelaku dan pelaksana teror di Aceh seperti Dugok dan Vikram alias Ayah Banta, namun akar persoalannya bukan hanya siapa yang berbuat, tetapi siapa yang memberi perintah? Sebelum Dugok cs dan Ayah Banta tertangkap, clues yang diperoleh polisi didapat setelah menggeledah rumah/mess tempat tinggal Malik Mahmud, Pemangku Wali sehingga mengantar polisi untuk menangkap para pelaku teror tersebut. Pertanyaan besarnya adalah, mengapa Malik Mahmud "aman-aman" saja?

Kemerdekaan adalah isu terbesar di Aceh sejak lama, bukan karena rakyat Aceh menginginkan kekuasaan, namun lebih karena keinginan memperoleh keadilan dan martabat selayaknya orang Aceh sebagai wujud kemerdekaan yang hakiki. Namun semuanya akan sangat mustahil ketika kemerdekaan itu dirampas oleh pemimpin orang Aceh sendiri yang lebih mencintai kekuasaan daripada rakyatnya sendiri.
dr. Husaini





__._,_.___
Recent Activity:
------------------------------------------------------------------
                       TIADA KATA SEINDAH `MERDEKA`
------------------------------------------------------------------
Ubahlah nasib bangsa kita, jangan jadikan anak cucu kita sebagai mangsa dari keterlambatan kita bertindak pada hari ini.

Mailing bebas => Meukra-subscribe@yahoogroups.com
-untuk membuat posting kirimkan ke: PPDi@yahoogroup.com

**************************************************************
-Beritahu rakan anda untuk menyertai egroups ini dengan hanya menghantar email kosong ke: PPDi-subscribe@egroups.com
               : Meukra-subscribe@yahoogroups.com
**************************************************************
FOR THE LATEST NEWS link to us: http://PPDi.cjb.net/
                          http://groups.yahoo.com/group/PPDi/messages

ALL ADVERTISERS THAT HAVE NOTHING TO DO WITH condemning indon WILL BE BANNED WITHOUT WARNING!!!
.

__,_._,___

1 komentar:

  1. Senang rasanya bisa berkunjung ke website anda" mudah-mudahan
    infonya bermanfaat Terimakasih sudah berbagi

    BalasHapus