Oleh Otto Syamsuddin Ishak
PILKADA ada yang telah usai, tuntas satu putaran. Ada yang masih berlangsung dan yang akan dilangsungkan di kabupaten/kota. Satu nasihat penting, terutama bagi yang akan berkampanye, adalah pujalah MoU, maka anda akan menang!
Saya tidak mengetahui, apakah "Ikrar Lamteh" mengalami pemujaan oleh generasi waktu itu, sebagaimana yang terjadi di masa sekarang? Bahkan bila ingin menjadi bagian dari golongan yang berkuasa, misalnya, apakah lazim untuk turut meneriakkan "Ikrar Lamteh"?
Fenomena sekarang ini melayangkan pikiran ke masa Orde Baru. Setiap orang, jika tak ingin termasuk ke dalam golongan politik "mentimun bengkok", maka harus meneriakkan kesaktian Pancasila. Lalu, mereka harus ikut penataran yang dikemas dalam aneka paket. Setiap 1 Oktober ikut serta dalam ritual di Lubang Buaya, bahkan kesertaan di sini dapat mendongkrak citra politik diri.
Kenyataannya, setelah tiga dasawarsa rezim yang terus menerus "memuja kesaktian Pancasila" itu bisa rubuh juga. Kesaktian, rupa-rupanya, ada batasnya juga. Di manakah batas-batasnya itu?
Ketika rezim Orde Baru jatuh, maka banyak ilmuwan sosial yang menuliskan Peristiwa 1965 dengan fakta yang bertolak belakang dengan konstruksi sejarah politik formal. Singkatnya, perebutan kekuasaan pada 1965 itu adalah pembunuhan atas pembunuhan.
Para jenderal dibunuh oleh serdadu militer atas perintah jenderal yang mengatasnamakan jenderal lain, lalu dibunuh lagi atas perintah jenderal. Lalu, tiga bulan kemudian, pembunuhan massal merebak ke seluruh Indonesia, bahkan setelah dirasuki spirit keagamaan yang antikomunis. Jadi, mereka hendak mengatakan bahwa pemujaan itu dilakukan atas dasar sejarah yang palsu.
Jika demikian apa kaitannya dengan Pancasila? Apakah semua tindakan itu mencerminkan pemikiran dan tindakan yang Pancasilais? Mungkin --ini agak mistis-- justru karena pemujaan yang palsu itulah, maka rezim jatuh, sekalipun kesadaran yang palsu itu masih mengidap di benak sebagian orang yang bernafsu untuk membangun citra diri yang nasionalistis.
Namun, batas-batas sosial yang lebih realistis terletak pada penderitaan politik yang terus berkelanjutan, moral yang semakin korup dan krisis ekonomi yang akut. Penderitaan politik muncul dalam bentuk penindasan dan ketidakadilan hukum. Korupsi menimbulkan krisis kepercayaan. Dan, krisis ekonomi menciptakan manusia lapar yang nekad. Apalagi, generasi baru tanpa memiliki beban sejarah yang berdarah.
Mengkonstruksi kesadaran sejarah
Lalu, apakah pemujaan terhadap MoU itu akan berkembang sebagaimana pemujaan terhadap kesaktian Pancasila? Ada monumen, tanggal dan upacaranya yang khidmat, serta penataran, selain teriakan-teriakan di masa kampanye pemilukada di Aceh.
Pernik-pernik untuk mengkonstruksi kesadaran sejarah demikian sangatlah penting. Pasalnya, kian hari hadir sebuah generasi di luar konflik, bahkan di luar MoU. Suatu saat mereka akan bertanya: Apakah yang "orang tua" itu teriakkan? Kok rasanya heboh sekali. MoU? Apa itu MoU? Kok seperti nama pelatih sepakbola di Spanyol?
Membangun sebuah monumen MoU relatif mudah. Namun, bagaimana isi museum MoU itu? Naskah MoU sudah pasti sebagai bagian sentral dalam museum MoU. Kita bisa membayangkan, ada sebuah peti kaca tahan peluru, dengan cahaya yang cukup, menyorot naskah MoU. Lalu, ada foto-foto yang menjelaskan person-person yang terlibat dalam perundingan. Tapi karena Hasan Tiro tak terlibat dalam perundingan, maka ada foto beliau yang berlatar belakang gedung di samping bangunan di mana perundingan berlangsung.
Tentu, perlu dibuat diorama untuk mempermudah generasi baru menyerap MoU. Sebuah prototipe tiga dimensi yang menggambarkan proses perundingan, utamanya prosesi penandatanganan MoU.
Apakah selain foto-foto AMM, perlu juga dibuatkan diorama yang menjelaskan kerja-kerja mereka? Utamanya, selain foto-foto, adalah diorama prosesi pemotongan senjata. Puncaknya, adalah upacara pemotongan senjata terakhir di Blang Padang, yang mana dihadiri oleh semua panglima wilayah di panggung kehormatan. Sekaligus menjelaskan puncak keutuhan GAM, yang kini telah terfragmentasi ke dalam sejumlah kafilah.
Di Museum juga terdapat ruang-ruang penataran tentang MoU dengan sejumlah paket-paketnya. Kafilah pemuda-pemudi, siswa-siswi, guru-guru, perempuan-lelaki, para pegawai, anggota ormas dan partai politik secara bergelombang mengikuti penataran. Gelombang peserta penataran angkatan pertama, adalah yang paling bersyukur, karena para penatarnya adalah para pelaku sejarah MoU itu sendiri.
Bahkan Martti Ahtisaari akan didatangkan langsung oleh Pemerintah Aceh. Sebelum membuka penataran, maka ia akan turut serta dalam upacara "kesaktian MoU" bersama para tokoh MoU dan veteran gerilyawan seluruhnya yang berkenan hadir. Ketika memberi materi MoU, Martti Ahtisaari menjelaskan apa mudaratnya konflik, dan apa pula syafaatnya perdamaian sehingga jelas di mana letaknya kesaktian MoU.
Tiba-tiba, seorang siswi berjilbab mengacungkan jarinya, lalu bertanya: "Tadi Mister mengatakan ada konflik sebelum MoU ada. Biasanya, dalam konflik ada pelanggaran hak asasi manusia. Tapi mengapa tidak ada monumen dan dioramanya di kompleks ini?"
Martti Ahtisaari agak tersentak. Namun sebagai seorang perunding kelas dunia, ia menjawab dengan tenangnya. "Soal pembangunan monumen dan museum MoU, tentunya menjadi tanggung jawab Pemerintah Aceh. Saya tidak terlibat dalam urusan-urusan domestik kenegerian Aceh ini."
Butuh keberanian
Kalau perihal pelanggaran HAM, saya bisa menjawabnya, begini: "Satu di antara sekian kerumitan hidup yang kita alami adalah, yang berhubungan dengan masa silam kita. Hati-hati dengan soal ini. Dengan segala respek saya pada pemerintahan sekarang, banyak sekali kemajuan yang telah dicapainya. Namun, jangan kita larut dengan kesedihan masa lalu."
"Kita tak akan mungkin memasukkan ini dalam draft tertulis sebab sangat sensitif. Ini tidak berarti kita bahwa kita hapuskan pembicaraan tentang ini. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus bersihkan karpet dari agenda ini. Inilah yang kita maksudkan itikad baik. Tentu saja memang selalu mengecewakan dan tidak memuaskan. Kita butuh keberanian menghadapi ini. Singkatnya, masalah HAM adalah masalah masa depan."
Martti Ahtisaari menutup sesi penataran dengan mengatakan: "Ini saatnya kita makan siang." Para siswa berkemas, dan setelah bersalaman dengan Martti Ahtisaari, mereka berebut keluar. Menabrak pintu. Braaak! (Saya pun terjatuh ke karpet dan basah oleh sirup merah yang tumpah dari gelas. Di samping ada buku Damai di Aceh karangan Hamid Awaluddin, yang terbuka, persis di halaman percakapan Martti Ahtisaari).
* Otto Syamsuddin Ishak, Sosiolog.
PILKADA ada yang telah usai, tuntas satu putaran. Ada yang masih berlangsung dan yang akan dilangsungkan di kabupaten/kota. Satu nasihat penting, terutama bagi yang akan berkampanye, adalah pujalah MoU, maka anda akan menang!
Saya tidak mengetahui, apakah "Ikrar Lamteh" mengalami pemujaan oleh generasi waktu itu, sebagaimana yang terjadi di masa sekarang? Bahkan bila ingin menjadi bagian dari golongan yang berkuasa, misalnya, apakah lazim untuk turut meneriakkan "Ikrar Lamteh"?
Fenomena sekarang ini melayangkan pikiran ke masa Orde Baru. Setiap orang, jika tak ingin termasuk ke dalam golongan politik "mentimun bengkok", maka harus meneriakkan kesaktian Pancasila. Lalu, mereka harus ikut penataran yang dikemas dalam aneka paket. Setiap 1 Oktober ikut serta dalam ritual di Lubang Buaya, bahkan kesertaan di sini dapat mendongkrak citra politik diri.
Kenyataannya, setelah tiga dasawarsa rezim yang terus menerus "memuja kesaktian Pancasila" itu bisa rubuh juga. Kesaktian, rupa-rupanya, ada batasnya juga. Di manakah batas-batasnya itu?
Ketika rezim Orde Baru jatuh, maka banyak ilmuwan sosial yang menuliskan Peristiwa 1965 dengan fakta yang bertolak belakang dengan konstruksi sejarah politik formal. Singkatnya, perebutan kekuasaan pada 1965 itu adalah pembunuhan atas pembunuhan.
Para jenderal dibunuh oleh serdadu militer atas perintah jenderal yang mengatasnamakan jenderal lain, lalu dibunuh lagi atas perintah jenderal. Lalu, tiga bulan kemudian, pembunuhan massal merebak ke seluruh Indonesia, bahkan setelah dirasuki spirit keagamaan yang antikomunis. Jadi, mereka hendak mengatakan bahwa pemujaan itu dilakukan atas dasar sejarah yang palsu.
Jika demikian apa kaitannya dengan Pancasila? Apakah semua tindakan itu mencerminkan pemikiran dan tindakan yang Pancasilais? Mungkin --ini agak mistis-- justru karena pemujaan yang palsu itulah, maka rezim jatuh, sekalipun kesadaran yang palsu itu masih mengidap di benak sebagian orang yang bernafsu untuk membangun citra diri yang nasionalistis.
Namun, batas-batas sosial yang lebih realistis terletak pada penderitaan politik yang terus berkelanjutan, moral yang semakin korup dan krisis ekonomi yang akut. Penderitaan politik muncul dalam bentuk penindasan dan ketidakadilan hukum. Korupsi menimbulkan krisis kepercayaan. Dan, krisis ekonomi menciptakan manusia lapar yang nekad. Apalagi, generasi baru tanpa memiliki beban sejarah yang berdarah.
Mengkonstruksi kesadaran sejarah
Lalu, apakah pemujaan terhadap MoU itu akan berkembang sebagaimana pemujaan terhadap kesaktian Pancasila? Ada monumen, tanggal dan upacaranya yang khidmat, serta penataran, selain teriakan-teriakan di masa kampanye pemilukada di Aceh.
Pernik-pernik untuk mengkonstruksi kesadaran sejarah demikian sangatlah penting. Pasalnya, kian hari hadir sebuah generasi di luar konflik, bahkan di luar MoU. Suatu saat mereka akan bertanya: Apakah yang "orang tua" itu teriakkan? Kok rasanya heboh sekali. MoU? Apa itu MoU? Kok seperti nama pelatih sepakbola di Spanyol?
Membangun sebuah monumen MoU relatif mudah. Namun, bagaimana isi museum MoU itu? Naskah MoU sudah pasti sebagai bagian sentral dalam museum MoU. Kita bisa membayangkan, ada sebuah peti kaca tahan peluru, dengan cahaya yang cukup, menyorot naskah MoU. Lalu, ada foto-foto yang menjelaskan person-person yang terlibat dalam perundingan. Tapi karena Hasan Tiro tak terlibat dalam perundingan, maka ada foto beliau yang berlatar belakang gedung di samping bangunan di mana perundingan berlangsung.
Tentu, perlu dibuat diorama untuk mempermudah generasi baru menyerap MoU. Sebuah prototipe tiga dimensi yang menggambarkan proses perundingan, utamanya prosesi penandatanganan MoU.
Apakah selain foto-foto AMM, perlu juga dibuatkan diorama yang menjelaskan kerja-kerja mereka? Utamanya, selain foto-foto, adalah diorama prosesi pemotongan senjata. Puncaknya, adalah upacara pemotongan senjata terakhir di Blang Padang, yang mana dihadiri oleh semua panglima wilayah di panggung kehormatan. Sekaligus menjelaskan puncak keutuhan GAM, yang kini telah terfragmentasi ke dalam sejumlah kafilah.
Di Museum juga terdapat ruang-ruang penataran tentang MoU dengan sejumlah paket-paketnya. Kafilah pemuda-pemudi, siswa-siswi, guru-guru, perempuan-lelaki, para pegawai, anggota ormas dan partai politik secara bergelombang mengikuti penataran. Gelombang peserta penataran angkatan pertama, adalah yang paling bersyukur, karena para penatarnya adalah para pelaku sejarah MoU itu sendiri.
Bahkan Martti Ahtisaari akan didatangkan langsung oleh Pemerintah Aceh. Sebelum membuka penataran, maka ia akan turut serta dalam upacara "kesaktian MoU" bersama para tokoh MoU dan veteran gerilyawan seluruhnya yang berkenan hadir. Ketika memberi materi MoU, Martti Ahtisaari menjelaskan apa mudaratnya konflik, dan apa pula syafaatnya perdamaian sehingga jelas di mana letaknya kesaktian MoU.
Tiba-tiba, seorang siswi berjilbab mengacungkan jarinya, lalu bertanya: "Tadi Mister mengatakan ada konflik sebelum MoU ada. Biasanya, dalam konflik ada pelanggaran hak asasi manusia. Tapi mengapa tidak ada monumen dan dioramanya di kompleks ini?"
Martti Ahtisaari agak tersentak. Namun sebagai seorang perunding kelas dunia, ia menjawab dengan tenangnya. "Soal pembangunan monumen dan museum MoU, tentunya menjadi tanggung jawab Pemerintah Aceh. Saya tidak terlibat dalam urusan-urusan domestik kenegerian Aceh ini."
Butuh keberanian
Kalau perihal pelanggaran HAM, saya bisa menjawabnya, begini: "Satu di antara sekian kerumitan hidup yang kita alami adalah, yang berhubungan dengan masa silam kita. Hati-hati dengan soal ini. Dengan segala respek saya pada pemerintahan sekarang, banyak sekali kemajuan yang telah dicapainya. Namun, jangan kita larut dengan kesedihan masa lalu."
"Kita tak akan mungkin memasukkan ini dalam draft tertulis sebab sangat sensitif. Ini tidak berarti kita bahwa kita hapuskan pembicaraan tentang ini. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus bersihkan karpet dari agenda ini. Inilah yang kita maksudkan itikad baik. Tentu saja memang selalu mengecewakan dan tidak memuaskan. Kita butuh keberanian menghadapi ini. Singkatnya, masalah HAM adalah masalah masa depan."
Martti Ahtisaari menutup sesi penataran dengan mengatakan: "Ini saatnya kita makan siang." Para siswa berkemas, dan setelah bersalaman dengan Martti Ahtisaari, mereka berebut keluar. Menabrak pintu. Braaak! (Saya pun terjatuh ke karpet dan basah oleh sirup merah yang tumpah dari gelas. Di samping ada buku Damai di Aceh karangan Hamid Awaluddin, yang terbuka, persis di halaman percakapan Martti Ahtisaari).
* Otto Syamsuddin Ishak, Sosiolog.
Editor : bakri
| ||||||||||||||||||||||||||||||||
| ||||||||||||||||||||||||||||||||
*Pada hakikatnya OTONOMI buat aceh hanyalah pengekalan status kita sebagai bangsa terjajah" Tgk Hasan di Tiro: "Ureuëng njang paléng bahaja keu geutajoe nakeuh - djawa keumah djipeugot urg atjèh seutotdjih nibak seutot geutanjoe. Mantong na urg atjèh njang tém djeuët keu kulidjih, keu sidadudjih, keu gubernurdjih, keu bupatidjih, keu tjamatdjih, dll. Mantong na biëk droëteuh njang djak djôk dan peusah nanggroe atjèh keu djawa!" http://www.youtube.com/watch?v=Gbjb04wKWow&feature=related |
Tgk Hasan di Tiro: "Ureuëng njang paléng bahaja keu geutajoe nakeuh - djawa keumah djipeugot urg atjèh seutotdjih nibak seutot geutanjoe. Mantong na urg atjèh njang tém djeuët keu kulidjih, keu sidadudjih, keu gubernurdjih, keu bupatidjih, keu tjamatdjih, dll. Mantong na biëk droëteuh njang djak djôk dan peusah nanggroe atjèh keu djawa!"
Zaini Abdullah menyanyi Lagu Indonesia Raya (buka video file)
Attachment(s) from Acheh Watch
1 of 1 File(s)
__._,_.___
------------------------------------------------------------------
TIADA KATA SEINDAH `MERDEKA`
------------------------------------------------------------------
Ubahlah nasib bangsa kita, jangan jadikan anak cucu kita sebagai mangsa dari keterlambatan kita bertindak pada hari ini.
Mailing bebas => Meukra-subscribe@yahoogroups.com
-untuk membuat posting kirimkan ke: PPDi@yahoogroup.com
**************************************************************
-Beritahu rakan anda untuk menyertai egroups ini dengan hanya menghantar email kosong ke: PPDi-subscribe@egroups.com
: Meukra-subscribe@yahoogroups.com
**************************************************************
FOR THE LATEST NEWS link to us: http://PPDi.cjb.net/
http://groups.yahoo.com/group/PPDi/messages
ALL ADVERTISERS THAT HAVE NOTHING TO DO WITH condemning indon WILL BE BANNED WITHOUT WARNING!!!
TIADA KATA SEINDAH `MERDEKA`
------------------------------------------------------------------
Ubahlah nasib bangsa kita, jangan jadikan anak cucu kita sebagai mangsa dari keterlambatan kita bertindak pada hari ini.
Mailing bebas => Meukra-subscribe@yahoogroups.com
-untuk membuat posting kirimkan ke: PPDi@yahoogroup.com
**************************************************************
-Beritahu rakan anda untuk menyertai egroups ini dengan hanya menghantar email kosong ke: PPDi-subscribe@egroups.com
: Meukra-subscribe@yahoogroups.com
**************************************************************
FOR THE LATEST NEWS link to us: http://PPDi.cjb.net/
http://groups.yahoo.com/group/PPDi/messages
ALL ADVERTISERS THAT HAVE NOTHING TO DO WITH condemning indon WILL BE BANNED WITHOUT WARNING!!!
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar