Jumat, 30 Desember 2011

[inti-net] Persaingan Internal PNI Picu Bali “Banjir Darah”

 


http://www.sinarharapan.co.id/content/read/persaingan-internal-pni-picu-bali-banjir-darah/

8.12.2011 11:14

Persaingan Internal PNI Picu Bali "Banjir Darah"
Penulis : Aju

(foto:dok/ist)
Pasca-Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, praktis Provinsi Bali "banjir darah" karena menjadi sebuah ladang hitam pembantaian manusia yang tidak berdosa. Bali menjadi salah satu daerah dengan "penyembelihan" terganas terhadap pihak yang dituduh simpatisan dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Geoffrey Robinson (2006) menyebutkan, pembantaian di Bali dicatat paling parah dalam sejarah kekerasan politik di Indonesia, disusul di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banyak orang yang diculik dan dibawa ke suatu tempat untuk dibunuh.

Jumlah korban tewas di Bali diperkirakan sekitar 100.000 orang. Ada korban ditangkap dan langsung dibunuh di depan rumahnya sendiri yang disaksikan anak dan istrinya. I Gede Puger, salah satu pengurus inti PKI Provinsi Bali, dibunuh secara sadis.

Aksi rusuh massa menjalar ke Puri Agung Negara Djembara di Negara, ibu kota Kabupaten Jembrana. Periode Oktober-November 1965, misalnya, terjadi perusakan dan pembakaran di Puri Agung Negara milik keluarga Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja. Enam belas anggota keluarga keraton Pura Agung Djembrana tewas dibunuh.

Hampir setiap jengkal daerah di Negara terjadi pembantaian. Selain Tegalbadeng, tempat yang jadi pemicu awal pembantaian adalah Desa Merta Sari di daerah Loloan. Ini Desa Hindu, letaknya di tengah kampung muslim Loloan Barat dan Timur yang dibelah oleh Sungai Ijogading.

Konflik Internal PNI

Desa Merta Sari adalah basis Barisan Tani Indonesia (BTI). Saat pembantaian, desa-desa di sekitarnya, yaitu Loloan Barat dan Loloan Timur, dikomandani oleh algojo dan satuan Anshor membantai laki-laki yang berasal dari Desa Merta Sari. Laki-lakinya habis dan Desa Merta Sari hanya menyisakan perempuannya saja sehingga dicap sebagai Desa Janda.

Pengungkapan kebenaran akan pembantaian massal di Bali, terutama di Negara penting untuk membuka noda sejarah yang sebenarnya tersimpan dalam ingatan masyarakat. Banyak orang tua yang tahu peristiwa ini, tapi bungkam untuk membicarakannya apalagi mengungkapkannya.

Musibah Bali banjir darah pasca-G30S 1965, dilatarbelakangi persaingan internal antardua kubu di dalam tubuh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sebelumnya sama-sama dikenal sebagai bekas pejuang kemerdekaan. Sebuah praktik kekerasan politik yang sangat tidak layak dijadikan contoh.

Kubu pertama, Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja, keturunan darah biru dari Kerajaan Djembrana yang dikenal sebagai pendukung setia Presiden Soekarno atau Soekarnois.

Kubu kedua, I Nyoman Mantik dan Wedastera Sujasa yang kemudian di dalam kiprahnya terintegrasi dengan kepentingan TNI AD dalam menghasut dan melatih massa serta membantai rakyat yang dituding sepihak PKI.

Ketika aksi rusuh massa berlangsung, muncul nama Widagda, adik kandung Wedastera. Widagda bertindak sebagai salah satu algojo paling menakutkan dan aktor di balik perusakan dan pembunuhan keluarga keraton Pura Agung Negara Djembrana.

Peran Widagda memang menyeramkan. Selama kerusuhan berlangsung, Widagda bisa dengan bebas menzinahi secara paksa perempuan-perempuan cantik yang dituding PKI. Pada 1967, adik kandung Wedastera ini divonis Pengadilan Denpasar tiga tahun penjara.

Pemilihan Gubernur

Tahun 1950 ketika Bali bagian dari Provinsi Sunda Kecil, Presiden Soekarno menunjuk seorang pegawai negeri sipil (PNS) cerdas yang baru berusia 27 tahun bernama Anak Agung Bagus Sutedja sebagai Kepala Daerah.

Pada 1958, Bali berstatus provinsi otonom. Di dalam sidang paripurna DPR-GR Daerah Tingkat (Dati) I Bali tahun 1958, I Nyoman Mantik berhasil mengalahkan Anak Agung Bagus Sutedja dalam pemilihan Gubernur Bali.

Namun karena faktor kedekatan, cerdas, dan seiring dengan pemerintah pusat dalam penjabaran tata kelola pemerintahan, akhirnya pada 1959 Presiden Soekarno, tetap melantik Anak Agung Bagus Sutedja menjabat Gubernur Bali periode kedua.

Di sinilah perseteruan politik mulai terang-terangan terangkat ke permukaan. I Nyoman Mantik dan Wedastera yang sama-sama anggota DPR-GR menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan. Anak Agung Bagus Sutedja, sebagai Gubernur Bali dan pendukung setia Presiden Soekarno, dalam banyak hal selalu meniru gaya kepemimpinan proklamator itu.

Anak Agung Bagus Sutedja menempuh kebijakan politik merangkul semua pihak, tapi tidak menjalin komitmen mengikat dengan salah satu partai politik. Karena jaringan politik di partai internal mulai didominasi pendukung I Nyoman Mantik, akhirnya PNI Provinsi Bali tidak dilibatkan lagi oleh Anak Agung Bagus Sutedja di dalam Badan Pemerintahan Harian (BPH).

Konflik elite politik di Provinsi Bali dengan menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan, sangat tidak layak dijadikan contoh bagi generasi penerus, jika ingin terciptanya alur politik bermartabat di Indonesia.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Untuk bergabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
Subscribe our Feeds :
http://feeds.feedburner.com/Tionghoanet

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar