Selasa, 06 Desember 2011

[inti-net] Dana Bantuan Sosial untuk Siapa?

 

http://www.analisadaily.com/news/read/2011/12/02/24183/dana_bantuan_sosial_untuk_siapa/#.Tt6QhNXeKy4

Tajuk Rencana - Jumat, 02 Des 2011 01:01 WIB

Dana Bantuan Sosial untuk Siapa?

ANGGOTA Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil pada seminar nasional bertema, "Akuntabilitas Dana Politik di Indonesia: Kini dan Besok" mengatakan pengalokasian dana bantuan sosial dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah ternyata didesain untuk kepentingan penguasa, baik dari sisi ambisi politik maupun pribadi. Salah satu modusnya, dana bantuan sosial menggelembung menjelang pemilihan umum. (Kompas, Selasa 29 November 2011).
Dana bansos ini sangat besar sekali. Sebagai contoh sepanjang 2007-2010, pemerintah menganggarkan Rp 300,94 triliun untuk bantuan sosial, yang terdiri atas Rp 48,46 triliun di tingkat daerah (APBD) dan Rp 252,48 triliun di tingkat pusat (APBN).

Menurut Rizal, BPK melakukan audit parsial atas permintaan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menemukan sedikitnya 20 kasus. Sebagian kasus telah divonis pengadilan dan sebagian lagi sedang dalam proses. Hasil audit menyebutkan, banyak dana bansos digunakan untuk kepentingan penguasa, baik itu eksekutif maupun legislatif. Modus rekayasa dengan menggelembungkan dana menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan umum legislatif (pileg).

Hasil audit BPK ini sangat mengejutkan, namun sebenarnya bukan merupakan rahasia umum lagi. Hampir di setiap daerah praktik 'mengolah' bansos untuk kepentingan penguasa baik itu legislatif maupun eksekutif merupakan sebuah hal yang biasa dan sudah lama berlangsung. Hal ini bisa terjadi karena memang dua institusi ini yang--tidak hanya paling tahu--tapi juga merencanakan sejak awal untuk apa dan siapa yang mempergunakannya.

Biasanya modus operandi dilakukan dengan membentuk organisasi, lembaga atau yayasan. Memang bukan para pejabat--baik eksekutif maupun yudikatif--yang mengelola secara langsung lembaga tersebut. Mereka berada di belakang layar dengan menempatkan kroninya, baik itu keluarga atau kerabat dekat maupun kader partai politiknya.

Dengan kongkalikong seperti ini sudah dapat kita bayangkan ke mana larinya dana bantuan sosial tersebut. Sebagian dibuat sebuah kegiatan. Tapi kegiatan tersebut hanya ala kadarnya dan hanya melibatkan lingkaran oknum penguasa rakus tersebut. Bahkan kadangkala, sama sekali tidak ada kegiatan. Laporan hanya dibuat fiktif.

Di Sumatera Utara sendiri, tepatnya pada Maret yang baru lalu, salah seorang anggota dewan mengungkapkan keterlibatan koleganya dalam permainan dana bansos. Tak tanggung-tanggung, politisi ini mengungkapkan ratusan miliar rupiah dana bansos yang berasal dari APBD Sumut raib entah ke mana. Tidak jelasnya dana itu melayang ke mana menurut sang politisi karena si penerima bansos banyak yang diduga fiktif dan sarat permainan. Tapi karena kepiawaian oknum dewan dimaksud, akhirnya dana Bansos bisa dicairkan.

Hal itu terjadi karena kepiwaian bermain sang anggota dewan dalam 'menjatah' pihak yang terkait sehingga semuanya berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Keadaan seperti ini hanya merupakan contoh kecil saja dan bisa terjadi di daerah manapun di republik ini yang selama ini biasa mempermainkan dana bantuan untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

Sayangnya kasus yang sempat menghebohkan Sumatera Utara ini raib begitu saja. Anggota dewan yang mencuatkan masalah ini ke permukaan, juga kemudian diam seribu bahasa. Demikian juga aparat penegak hukum, tidak ada inisiatif untuk menyelidikinya.

Melihat kondisi seperti ini memang harapan terbesar kita hanya kepada KPK dan BPK saja. Peran KPK jelas untuk menuntaskan persoalan ini secara hukum. Sementara fungsi BPK sebagai 'pemasok' data dengan audit-auditnya. Meski belum ada tindak lanjut misalnya, BPK jangan patah arang. Lakukan terus audit dan umumkan pada khalayak jika terjadi penyelewengan bansos. Ingat namanya bansos, bantuan sosial untuk yang membutuhkan, bukan untuk lebih memperkaya para penguasa!

Buta Huruf atau Buta Nurani?!

Oleh : Rizal R Surya"KURASA anggota dewan buta huruf ya," ujar seorang penarik beca memulai percakapannya pada suatu siang di sebuah warung kopi salah satu sudut kota ini.

"Hussh jangan berkata sembarangan, nanti bisa kena tuntut. Anggota dewan di republik ini bukan orang sembarangan. Mereka 'orang pilihan' yang hanya bisa duduk sebagai anggota dewan yang terhormat melalui mekanisme yang panjang dan melelahkan. Kalau tidak 'pintar' mana bisa mereka mengalahkan saingan yang jumlahnya tidak sedikit tiap daerah pemilihan," ujarku layaknya dosen sedang memberikan kuliah pada mahasiswanya.

Untuk menjadi anggota dewan tidak mudah, kataku melanjutkan. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya syarat sebagaimana diatur Pasal 1 bagian (e) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, untuk menjadi bakal calon anggota dewan minimal harus tamat sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat. "Artinya kalau mereka minimal tamatan SMA pasti bisa membaca,"tegasku.

"Buktinya, tiap hari anda menulis soal 'kelas gelap', tapi sama sekali tidak ada respons dari mereka untuk mengusut persoalan yang sebenarnya sangat mudah untuk diungkap. Kalau tidak buta huruf apa namanya?" Ujarnya sinis.

Kalau itu masalahnya, ujarku menerangkan, bukan karena mereka buta huruf. Bisa saja karena mereka tidak pernah baca koran atau baca koran tapi bukan koran ini. Karena, tidak mungkin rasanya, kalau mereka tidak membaca koran. Sebagai anggota dewan mereka pasti butuh informasi tentang apa yang terjadi di daerah atau republik ini.

"Kalau tidak buta huruf berarti sudah buta nuraninya," potong abang beca ini sambil menghabiskan sisa kopi pahitnya yang terasa lebih pahit sambil ngeloyor pergi.

Kalau tidak buta huruf, 'buta nurani'. Betul juga kata abang beca ini! Kalau para anggota dewan yang terhormat ini masih punya nurani, sudah tentu hatinya tergerak untuk mengusut masalah ini.

Bukan persoalan kecil

Banyak orang yang menganggap persoalan 'kelas gelap' ini sebuah persoalan kecil dan biasa. Padahal tidak karena dampaknya sangat luar biasa sekali terutama pada generasi muda khususnya yang terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam persoalan ini.

Untuk urusan sekolah saja bisa 'diatur'. Artinya dengan kekuatan uang, dan atau koneksi/relasi urusan bisa diselesaikan semua dan semaunya. Ketika nantinya mereka tamat dan punya kekuasan--yang mungkin--juga diperoleh melalui praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), maka mereka akan menerapkan kembali ajaran yang pernah mereka peroleh.

Kalau 'lingkaran setan' ini terus berputar, bagaimana Indonesia bisa keluar dari 'kegelapan', karena sejak sekolahpun sudah dimasukan dalam 'kelas gelap'.

Memang bicara dengan orang buta huruf lebih mudah daripada 'buta nurani'. Orang yang buta huruf mudah dimelekkan dengan cara mengajarkannya membaca. Kalau sudah bisa membaca sudah tentu mudah memahami bacaan termasuk persoalan-persoalan yang ditulis koran. Tapi kalau 'buta nurani' bagaimana memelekkannya?

Manusia yang tidak bernurani seperti zombie. Fisiknya saja seperti manusia tapi tidak peka dan berperasaan. Bak kata orang pasaran, bebal! Ibarat pepatah mengatakan, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tapi itu masih mending. Yang parahnya belum sempat masuk ke telinga karena sudah ditutup rapat-rapat, atau memang tuli alias budek.

Berperasaan dan dewasa

Atau nanti kita usulkan saja dalam revisi UU Pemilu, tambahan syarat menjadi bakal calon anggota dewan, 'harus punya perasaan dan benar-benar dewasa'.

Sebab kalau tidak punya perasaan, pasti tidak peka terhadap persoalan yang dihadapi rakyat dan hanya mementingkan diri atau kelompoknya sendiri. Atau punya side job (kerja sampingan) menjadi makelar perizinan atau mafia anggaran.

Kenapa pula harus benar-benar dewasa! Karena sebagian dari anggota dewan kita fisiknya saja dewasa dan memenuhi syarat UU berusia di atas 21 tahun. Tapi mental dan kelakuannya masih seperti anak-anak.

Buktinya, ketika Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK) akan mengusut mafia anggaran, anggota badan anggaran (banggar) ramai-ramai merajuk tidak mau meneruskan pembahasan Anggaran Pendapadan dan Belanja Negara (APBN) 2012.

Kalau mereka sudah dewasa pasti tidak akan merajuk. Karena merajuk merupakan salah satu sifat manusia yang belum dewasa alias masih anak-anak!

Jadi harapan kita hanya kepada anggota dewan yang masih bernurani dan benar-benar dewasa. Masih adakah anggota dewan yang masuk dalam kriteria ini. Kalau masih ada, beranikah mereka melawan arus!

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Untuk bergabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
Subscribe our Feeds :
http://feeds.feedburner.com/Tionghoanet

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar