Selasa, 20 Desember 2011

[inti-net] Kasus Mesuji, Bukti Gagalnya Pemerintah Tangani Masalah Tanah - Hormati Hak Petani Kecil

 

Kasus Mesuji, Bukti Gagalnya Pemerintah Tangani Masalah Tanah
Selasa, 20 Desember 2011 | 16:53

Ilustrasi pembantaian di Mesuji [pelitaonline]
http://www.suarapembaruan.com/home/kasus-mesuji-bukti-gagalnya-pemerintah-tangani-masalah-tanah/15082

[BANDAR LAMPUNG]Pengamat politik Universitas Lampung (Unila), DR Ari Damastuti menilai kerusuhan Mesuji terjadi akibat gagalnya pemerinta menangani persoalan tanah antara masyaraka dan pihak perusahaan, apabila persoalan ini tidak segera diselesaikan dikhawatirkan akan timbul peristiwa serupa di daerah lainnya.

"Apalagi persoalan pertanahan di Lampung menempati urutan teratas di tingkat nasional, karenanya persoalan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan PT BSMI harus segera diselesaikan hingga ke akar-akarnya, kalau tidak dikhawatirkan persoalan serupa bisa timbul didaerah-daerah lain di Lampung," ujar Ari Damastuti pada SP, Selasa (20/12).

Apalagi, ujarnya, Kapolda Lampung, Brigjen Jodie Rooseto mensinyalir, belasan perusahaan di Lampung ada yang mempunyai persoalan tanah, semestinya sekarang, rakyat mendpatkan perlakuan yang sama dengan pemilik modal atau pengusaha. Mereka diberikan akses yang sama dalam mengelola tanah - tanah yang nota bene milik Negara.

"Persoalan yang terjadi saat ini, merupakan kegagalan kita Negara dalam memenuhi hak sosial ekonomi rakyat. Semestinya, akses rakyat terhadap tanah-tanah bekas hutan yang dikenal sebagai tanah register (dibawah kontrol Negara melalui kementrian Negara), dimungkinkan bisa dikelola oleh rakyat, jadi akses rakyat juga sama dengan para pengusaha," ujarnya.

Selain itu, menurut Ari, masih lemahnya hukum agraria kita, khususnya mekanisme pengawasan, atas tanah-tanah negara. "Kalau hukum agraria kita tidak lemah, tidak mungkin ada penguasaan tanah Negara oleh orang yang bukan sebagai pemilik. Fakta di lapangan, telah terjadi okupasi defacto oleh masyarakat sampai puluhan tahun. Tanah itu tidak berfungsi social dan tidak ditelantarkan.

Dikatakan dalam UUD kita bahwa bumi, tanah, air, dan seisinya dikelola oleh Negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maka jangan pernah menelantarkan tanah. Karena menelantarkan tanah berarti kita tidak memerlukannya," ujar Ari.

Sementara itu, Dosen Hukum Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Lampung F.X. Sumarja, SH, MH. menyatakan Kemenhut seharusnya bersedia melepaskan kawasan Register 45 Way Buaya di Mesuji Lampung yang sudah ditempati warga. "Menhut harus tegas, bisa saja dari seluas itu, sebagian kecil diberikan kepada masyarakat, meski memang tidak gratis. Dalam program land reform, masyarakat harus memberikan uang masukan kepada negara," terangnya.

Meskipun demikian, Sumarja menilai warga yang mendiami kawasan Register 45 tersebut tetap salah di mata hukum. Aturannya memang tidak boleh kawasan register dihuni, makanya Menhut harus cepat mengambil keputusan tentang status kawasan itu, ingatnya. (NVS)

[BANDAR LAMPUNG] Pengamat politik Universitas Lampung (Unila), DR Ari Damastuti menilai kerusuhan Mesuji terjadi akibat gagalnya pemerinta menangani persoalan tanah antara masyaraka dan pihak perusahaan, apabila persoalan ini tidak segera diselesaikan dikhawatirkan akan timbul peristiwa serupa di daerah lainnya.

"Apalagi persoalan pertanahan di Lampung menempati urutan teratas di tingkat nasional, karenanya persoalan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan PT BSMI harus segera diselesaikan hingga ke akar-akarnya, kalau tidak dikhawatirkan persoalan serupa bisa timbul didaerah-daerah lain di Lampung," ujar Ari Damastuti pada SP, Selasa (20/12).

Apalagi, ujarnya, Kapolda Lampung, Brigjen Jodie Rooseto mensinyalir, belasan perusahaan di Lampung ada yang mempunyai persoalan tanah, semestinya sekarang, rakyat mendpatkan perlakuan yang sama dengan pemilik modal atau pengusaha. Mereka diberikan akses yang sama dalam mengelola tanah - tanah yang nota bene milik Negara.

"Persoalan yang terjadi saat ini, merupakan kegagalan kita Negara dalam memenuhi hak sosial ekonomi rakyat. Semestinya, akses rakyat terhadap tanah-tanah bekas hutan yang dikenal sebagai tanah register (dibawah kontrol Negara melalui kementrian Negara), dimungkinkan bisa dikelola oleh rakyat, jadi akses rakyat juga sama dengan para pengusaha," ujarnya.

Selain itu, menurut Ari, masih lemahnya hukum agraria kita, khususnya mekanisme pengawasan, atas tanah-tanah negara. "Kalau hukum agraria kita tidak lemah, tidak mungkin ada penguasaan tanah Negara oleh orang yang bukan sebagai pemilik. Fakta di lapangan, telah terjadi okupasi defacto oleh masyarakat sampai puluhan tahun. Tanah itu tidak berfungsi social dan tidak ditelantarkan.

Dikatakan dalam UUD kita bahwa bumi, tanah, air, dan seisinya dikelola oleh Negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maka jangan pernah menelantarkan tanah. Karena menelantarkan tanah berarti kita tidak memerlukannya," ujar Ari.

Sementara itu, Dosen Hukum Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Lampung F.X. Sumarja, SH, MH. menyatakan Kemenhut seharusnya bersedia melepaskan kawasan Register 45 Way Buaya di Mesuji Lampung yang sudah ditempati warga. "Menhut harus tegas, bisa saja dari seluas itu, sebagian kecil diberikan kepada masyarakat, meski memang tidak gratis. Dalam program land reform, masyarakat harus memberikan uang masukan kepada negara," terangnya.

Meskipun demikian, Sumarja menilai warga yang mendiami kawasan Register 45 tersebut tetap salah di mata hukum. Aturannya memang tidak boleh kawasan register dihuni, makanya Menhut harus cepat mengambil keputusan tentang status kawasan itu, ingatnya. (NVS/L-9)

Blog JakartaPost
http://jakartapost.blogspot.com
Feeds :
http://feeds.feedburner.com/JakartaPost-OnlineReviews

http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/hormati-hak-petani-kecil/15053
Hormati Hak Petani Kecil
Selasa, 20 Desember 2011 | 13:05

Tanah memang segalanya. Tak ada satu pun manusia yang bisa lepas dari tanah yang dipijaknya. Petani menjadikan tanah sebagai sumber utama penghidupan. Di atas lahan yang diolahnya, petani bisa menyemai bibit padi. Dari tanah itulah tumbuh tanaman padi yang menghasilkan beras untuk menjadi makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia.

Karena itu, UU Pokok Agraria yang sudah berusia lebih dari 50 tahun menempatkan fungsi sosial dalam kepemilikan tanah. Tidak bisa seseorang atau satu kelompok menguasai lahan yang luas tanpa ada kemanfaatan bagi penduduk yang hidup di sekitarnya. Ketika seseorang atau sebuah badan hukum menguasai areal lahan yang luasnya bisa mencapai jutaan hektare, maka rakyat sekitar yang lebih bermukim di tempat itu akan merasa terancam ketika lahan tempat tinggalnya ikut tergusur.

Konflik atas kepemilikan lahan menjadi persoalan serius ketika penyelesaian antara pihak-pihak yang bertikai tidak mendapatkan penyelesaian yang adil. Masalah itu pula yang memicu terjadinya pembantaian terhadap warga di Mesuji, Lampung serta Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Informasi yang datang dari para aktivis yang mengadvokasi para penduduk di kedua tempat itu menyebutkan, rakyat setempat sudah lebih dulu ada sebelum perusahaan-perusahaan di kedua lokasi menempati areal usahanya. Bahkan, kabarnya, para petani di Mesuji harus mengalami derita berkepanjangan ketika perkebunan kelapa sawit milik swasta itu mencaplok lahan masyarakat di sana tanpa memberikan kompensasi yang memadai.

Bahkan untuk menguatkan posisinya sebagai penguasa tanah yang sudah didiami oleh warga lokal sejak lama, perusahaan itu meminta bantuan aparat keamanan agar bisa menghalau penduduk setempat. Lebih dari itu, pihak perusahaan pun bisa menggunakan sekelompok warga sipil sebagai penjaga keamanan swasta guna kepentingannya. Pengamanan swakarsa atau Pamswakarsa itu bukan bertindak hanya berdasar pada kesetiakawanan kepada perusahaan. Dalam banyak kasus, pengamanan partikelir serupa itu bergerak setelah ada pihak yang mendanai.

Di daerah lain, sudah lazim perusahaan perkebunan yang menguasai lahan begitu luas selalu menyertakan penduduk lokal sebagai plasma. Untuk perkebunan kelapa sawit, misalnya, masyarakat setempat akan bisa memperoleh manfaat dari kehadiran perkebunan besar karena mereka juga bisa mengembangkan tanaman serupa dan hasil panennya disetorkan kepada perusahaan tersebut.

Dalam kasus Mesuji, sekitar 20 ribu warga di sana harus tinggal di tenda-tenda pengungsian setelah mereka diusir dari tempat tinggalnya. Sekitar 850 rumah milik penduduk dihancurkan oleh Pamswakarsa yang dibentuk oleh perusahaan tersebut.

Penduduk setempat benar-benar mengalami penderitaan dan trauma berkepanjangan akibat intimidasi dan pembantaian terhadap masyarakat di sana. Bisnis perkebunan, seperti kelapa sawit memang memerlukan lahan cukup luas. Apabila di areal perkebunan terdapat lahan milik warga maka amat besar kemungkinan terjadi benturan kepentingan di antara pihak perkebunan dengan warga sekitar. Konflik pertanahan juga bisa muncul dalam bisnis pertambangan. Bahkan sudah kerap terdengar, areal pertambangan sampai harus membabat pohon-pohon yang ada dalam hutan lindung.

Prosedur untuk memperoleh lahan bisa didapat dari pengajuan permohonan hak atas tanah, misalnya hak guna usaha di atas tanah negara. Tidak ada persoalan yang bisa memicu konflik apabila prosedur yang ditempuh menaati peraturan perundang-undangan di bidang agraria.

Namun pembebasan tanah terhadap lahan yang lebih dulu dikuasai oleh masyarakat menjadi masalah serius apabila pihak yang membutuhkan lahan menggunakan cara-cara yang sarat dengan intimidasi dan memperalat aparat keamanan. Dalam kasus-kasus pertanahan, kerap kali para petani atau penduduk lokal menjadi pihak yang kalah dan dikorbankan demi kepentingan bisnis, entah perkebunan, pertambangan ataupun kawasan pemukiman. Pembebasan tanah memang salah satu kendala dalam investasi.

Karena itu, keputusan DPR untuk menyetujui RUU Pengadaan Tanah menjadi undang-undang cukup melegakan dunia usaha karena produk hukum itu bisa membantu kelancaran investasi. Tapi persoalannya bagaimana pembebasan lahan tidak merugikan penduduk setempat, tetap berjalan dalam koridor hukum dan tidak melanggar hak asasi.
Persoalan agraria yang memicu konflik di Mesuji maupun Komering Ilir, Sumatera Selatan perlu diselesaikan dengan empati kepada rakyat. Kalau memang tanah itu milik rakyat di sana, maka kepemilikan harus dikembalikan kepada warga setempat karena bisnis perkebunan tidak langsung bersentuhan dengan kepentingan umum. Mungkin warga hanya punya tanah yang akan dibebaskan itu sehingga jika dibebaskan dia tidak memiliki lagi sesuatu yang bisa menjadi sumber penghidupan. Atau warga setempat bersedia menyerahkan tanahnya namun dengan uang ganti rugi yang memadai.

Penyelesaian konflik agraria, termasuk tugas yang kini dijalankan ole Tim Gabungan Pencari Fakta untuk kedua kasus tersebut, sepatutnya menempatkan kepentingan para petani kecil agar tidak selamanya tercabut dari tanah tempat mereka hidup.

Blog JakartaPost
http://jakartapost.blogspot.com
Feeds :
http://feeds.feedburner.com/JakartaPost-OnlineReviews

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Untuk bergabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
Subscribe our Feeds :
http://feeds.feedburner.com/Tionghoanet

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar