Kamis, 01 Desember 2011

[kmnu2000] Ketua DPRD Desak KPK Periksa Walikota Surabaya terkait Pembelian Mobdin Rp 15,2 M

 

Ketua DPRD Desak KPK Periksa Walikota Surabaya terkait Pembelian Mobdin Rp 15,2 M

SURABAYA-
Geger antara DPRD dan Pemkot Surabaya kian memanas. Sikap Walikota Tri
Rismaharini yang 'memboikot' rapat paripurna, membuat geram anggota
dewan. Bahkan, Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana mendesak Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Risma, terkait dugaan
penyelewengan pembelian mobil dinas (mobdin) Rp 15,2 miliar untuk
Muspida, Polrestabes dan camat se Surabaya.

Wishnu menegaskan
pengadaan mobil dinas tanpa persetujuan dewan terlerbih dahulu
jelas-ejlas menyalahi aturan perundang-undangan. "Kami minta KPK mulai
turun memeriksa kasus penyalahgunaan anggaran di Pemkot Surabaya ini.
Jika dibandingkan dengan Kabupaten Semarang dengan bukti dua juta per
amplop, kasus Surabaya lebih besar. Selain itu pemberitaan sudah sangat
luas diterima masyarakat," kata Wishnu ditemui di gedung DPRD Surabaya,
Kamis(1/12).

Pembelian mobil-mobil itu 5 unit jenis jeep 2.500
cc Mistsubishi Pajero Sport senilai Rp 2.068.000.000. Mobil ini dibeli
dengan dalih dipinjampakaikan untuk Muspida. Kemudian, pembelian 28 unit
mobil Isuzu Panther 2.500 cc untuk Polsek-Polsek di lingkungan
Polrestabes Surabaya seharga Rp 6.314.000.000. Sedang untuk operasional
camat-camat, Pemkot membeli 31 unit Panther 2.500 cc senilai Rp
6.820.000.000. Total jenderal anggaran yang dihabiskan Rp 15,2 miliar
(Rp 15.202.000.000).

Menurut kader Partai Demokrat ini, DPRD
Surabaya sudah sangat yakin bahwa pembelian sejumlah mobil dinas
operasional oleh Pemkot Surabaya yang prosedural. Sebab, tidak tercantum
dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA). Menurut Wishnu, ini tindakan
penyalahgunaan anggaran. Kata Wishnu, kesimpulan ini setelah
dirinya konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri.

"Selasa
kemarin (30 November 2011, red) pimpinan sudah melakukan konsultasi
dengan Kementerian Dalam Negeri mengenai dugaan penyalahgunaan anggaran,
khusunya tentang pembelian mobil operasional," terang Wishnu.

Dalam
konsultasi itu, lanjut Wishnu, pihak Direktorat Anggaran Daerah
membenarkan adanya dugaan penyalahgunaan anggaran. Terutama mengenai
pembelian mobil operasional, yang ditemukan oleh DPRD Surabaya dalam
pelaksanaan APBD kota Surabaya 2011. Selain itu, lanjut Wishnu, tindakan
DPRD menolak anggaran pembelian mobil operasional dalam PAK 2011
dibenarkan sesuai undang-undang.

Mengenai sikap Pemkot Surabaya
yang tetap menyatakan pembelian puluhan mobdin sudah sesuai prosedur
karena anggarannya sudah dicantumkan dalam APBD 2011, Wishnu kembali
mengingatkan Pemkot untuk membuka kembali undang-undang. Kata Wishnu,
Permendagri pasal 460 ayat 5 menyebutkan semua pergeseran
anggaran harus melalui rapat perubahan anggaran daerah. Ini dikuatkan
UU no 17 tahun 2003 yang menjelaskan setiap pergeseran jenis,
organisasi, kegiatan dan obyek itu harus melalui perubahan anggaran
pendapatan daerah.

"Kan sudah jelas Permendagri pasal 460 ayat 5
jika melanggar maka akan langsung kena sanksi pidana dan administrasi.
Ini sudah jelas," tandas Wishnu.

Jika pemkot merasa benar, Wishnu
menantang walikota untuk dialog terbuka untuk membuktikan siapa yang
benar. Ia menyatakan tidak akan membuka jalur kompromi. "Jika mobil 1500
cc diganti 2500 cc ini kan jenisnya sudah berubah, maka tahapannya ya
harus dilalui melalui rapat perubahan anggaran," beber Wishnu
menunjukkan salah satu bentuk pelanggaran dalam pembelian mobdin
tersebut.

Sebelumnya, Kabag Bina Program Pemkot Surabaya Agus
Imam Sonhaji menyatakan sesuai Permendagri 13/2006 pasal 160, pergeseran
anggaran dalam satu rekening yang sama tidak harus melalui
persetujuan dewan. Itu merupakan domaian pemkot. Yang penting nilai
rupiah pada mata anggaran tersebut tidak berubah. Menurutnya, pada ABPD
2011 hanya dijelaskan jumlah rupiah di pos tertentu dalam SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah). Mobdin ada di bos belanja modal bagian
perlengkapan.

Menanggapi ini, pakar hukum Universitas Airlangga
(Unair) I Wayan Titib Sulaksana mencurigai banyak bawahan walikota yang
"bermain", sehingga merusak citra wali kota.
"Ini yang merugikan Risma. Harusnya anak buahnya benar-benar dijaga dalam memimpin SKPD," katanya.

Wayan
juga menyesalkan kalau ada bawahan walikota yang ikut bermain proyek.
Padahal citra birokrasi harus bersih dan benar-benar mengedepankan
pelayanan masyarakat. "Prinsip bersih itu yang harus dikedepankan,"
pungkasnya. n ton/ov

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962afdc4fea215122ce451e748fa84c820a

Pinjam Pakai Mobdin Polrestabes, Walikota Surabaya dan Kabag Perlengkapan Dilaporkan ke Kejati

Rabu, 23 November 2011 16:02:49 WIB
Reporter : Nyuciek Asih

Surabaya (beritajatim.com) - Komunitas masyarakat yang tergabung dalam
Masyarakat Pemantau Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan Pemerintah
(MP3KP) melaporkan walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Kepala Bagian
(Kabag) Perlengkapan Nur Oemijati ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim,
Rabu (23/11/2011).

Koordinator MP3KP sekaligus ketua Komunitas Peduli Anti Korups Eusebius
Purwadi menyatakan, laporan kali ini terkait Indikasi Dugaan
Penyimpangan Pengelolaan 28 Unit Mobil Dinas Milik Pemkot Surabaya Yang
Dikelola Oleh Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya kepada Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya.
 
Dalam laporan tersebut dijelaskan, kronologis kejadian dimana pada Tahun
Anggaran 2011, Pemerintah Kota Surabaya mempunyai Program Peningkatan
Sarana dan Prasarana Aparatur. Untuk melaksanakan program tersebut,
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Bagian Perlengkapan) mempunyai kegiatan
Pengadaan dan Pemeliharaan Sarana-Prasarana Perkantoran dengan alokasi
dana Rp36.639.194.579.

Salah satu output dari kegiatan tersebut adalah pengadaan kendaraan
dinas atau operasional 87 unit dan sudah dilakukan pelelangan terbuka.
"Dari 87 unit kendaraan tersebut, sebanyak 28 unit kendaraan dinas
Pemkot Surabaya diserahkan kepada Polrestabes Surabaya dan Polsek
Tanjung Perak melalui Perjanjian Pinjam-Pakai" ujar Purwadi di Kejati
Jatim,Rabu (23/11/2011).

Alasan Pemkot Surabaya melakukan perjanjian pinjam pakai berdasarkan
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah. Bahwa 28 unit kendaraan dinas tersebut sementara
waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD di lingkungan Pemkot Surabaya.
 
Akan tetapi, dalam Rancangan PAK APBD 2011, Bagian Perlengkapan
mengajukan pengadaan kendaraan dinas  sebanyak 100 unit dalam rangka
pelaksanaan program peningkatan sarana dan prasarana aparatur. Artinya,
terjadi penambahan unit dari 87 unit menjadi 100 unit. "Pengajuan
penambahan 13 unit kendaraan dinas merupakan bentuk penyimpangan
penyusunan anggaran. Karena pengajun ini tidak berdasarkan kebutuhan
SKPD di lingkungan Pemkot Surabaya," tegas Purwadi.
 
Dengan demikian lanjutnya, penambahan 13 Unit kendaraan dinas melalui
Rancangan PAK APBD 2011 bertentangan dengan alasan penyerahan 28 unit
kendaraan dinas kepada Polrestabes Surabaya dan Polsek Tanjung Perak.

Oleh karena itu, penambahan 13 unit kendaraan dinas dalam Rancangan PAK
APBD 2011 tidak sesuai dengan penyusunan kebutuhan dan anggaran yang di
atur dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah.

"Dengan demikian, Walikota Surabaya sebagai pemegang kekuasaan barang
milik daerah, tidak  mampu mengendalikan atau mendorong setiap Satuan
Kerja Perangkat Daerah sebagai pengguna barang dalam merencanakan dan
menyusun kebutuhan kendaraan dinas  dalam Rencana Kerja dan Anggaran
Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) sebagai bahan dalam penyusunan
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD)," tukasnya.
[uci/ted]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum%20&%20Kriminal/2011-11-23/118651/Walikota_Surabaya_dan_Kabag_Perlengkapan_Dilaporkan_ke_Kejati

Pinjam Pakai Mobdin, WALIKOTA SURABAYA LOBI MENDAGRI

SURABAYA (BM) - Idealisme Walikota Surabaya Tri Rismaharini mulai
diragukan. Diam-diam, ternyata walikota perempuan pertama di Surabaya
itu dikabarkan melobi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk
meredam gejolak pinjam pakai 28 unit panther ke Polrestabes Surabaya.

Ini terbongkar menyusul temuan wartawan Berita Metro dari beberapa
pejabat penting di institusi pimpinan Gamawan Fauzi tersebut. Kepada
wartawan koran ini, beberapa pejabat yang juga sumber Berita Metro
tersebut membocorkan bahwa Risma –sapaan akrab Tri Rismahrini- telah
berupaya meminta 'perlindungan' kepada Kemendgrai untuk membackup
kebijakannya yang oleh para aktifis Surabaya dinilai sangat
kontroversial itu.

"Ya memang ada itu (lobi). Tapi apakah Bu Risma yang datang langsung
atau hanya sekedar lewat telepon kita nggak tahu. Yang jelas kita dengar
itu," kata pejabat ini. Sumber ini mengaku tahu dari pejabat lain di
Kemendgari yang menceritakan hasil pembicaraan dengan Risma tersebut.
Saat ditanya kapan upaya lobi tersebut dilakukan, sumber ini mengaku
tidak tahu pasti.

Mendapat bocoran informasi ini, Berita Metro coba melakukan konfirmasi
dengan Mendagri Gamawan Fauzi. Tapi upaya tersebut gagal. Meski
demikian, wartawan koran ini masih berhsail menemui Kepala Pusat
Penerangan Kemendgari Roydonni Moelek.

Ditemui di ruang kerjanya, Roydonni Moelek membenarkan bahwa dirinya
telah diajak bicara oleh Risma terkait kemelut pinjam pakai 28 unit
Panther tersebut. "Bu Risma sudah bicarakan persoalan itu (pinjam pakai)
ke kita," kata Moelek kepada wartawan koran ini.

Hanya pihaknya tidak menjelaskan apakah pembicaraan terkait pinjam pakai
mobil dinas dengan Risma tersebut dilakukan lewat tatap muka atau hanya
melalui saluran telepon. Meski demikian, pengakuan ini memperkuat
adanya sinyal ketidakberesan pinjam pakai sekaligus memperkuat adanya
dugaan deal dibalik pemberian pinjam pakaipemkot ke Polrestabes.

Bagaimana usai dilobi Risma? Hasil wawancara dengan Moelek semakin
menegaskan bahwa Kemendagri terkesan membela kebijakan pemkot yang
nyata-nyata banyak menabarak aturan tersebut.

Moelek justru berdalih bahwa pinjam pakai mobil dinas tersebut syah
dilakukan selama policy atau kebijakan tersebut tidak merugikan anggaran
negara (anggaran Pemkot Surabaya). "Yang penting tidak merugikan
Negara," bela pria yang rambutnya mulai memutih ini.

Tak hanya itu, kebijakan tersebut lanjut Moelek juga boleh dilakukan
dengan alasan bahwa pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan
bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan
pengelolaan barang milik negara/daerah (PP. No. 6 Tahun 2006 Pasal 1
(3)). "Siapa yang bertanggung jawab dan berwenang di daerah (Surabaya),
Bu Walikota kan,"  terang pejabat berkacamata ini.

Kesan membela Risma tersebut tersebut juga terlihat saat Moelek
menyatakan bahwa kebijakan Risma meminjam-pakaikan 28 unit Panther hanya
dinilai sebagai sebuah kebijakan kebetulan. "Kebetulan kibajkan ini yg
dia pilih, kira-kira begitu" pungkasnya.

Kemendgari boleh saja membela Risma, tapi faktanya kebijakan tersebut
telah mencederai perturan dan Undang-Undang di negeri ini. Peraturan
yang dilanggar itu antara lain, Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun
2006.

Pada BAB I ketentuan Umum pasal 1 (8), dinyatakan bahwa pemanfaatan adalah

pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat
daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan
bangun serahguna/bangun guna dengan tidak mengubah status kepemilikan.

Jika dicermatai, redaksi dalam pasal tersebut terdapat penggalan tidak
(sedang) dipergunakan dan pada penghujung kalimat terdapat redaksi tidak
mengubah status kepemilikan. Faktanya, untuk menutupi kebutuhan dinas
yang dipimpinnya, Risma malah memilih rental 14 mobil ke pihak luar
dengan nilai sewa Rp 4 juta perbulan. Jika ditotal, pemkot harus merogoh
kocek Rp 308 juta untuk membayar 14 unit mobil yang dirental tersebut.

"Kalau Risma rental 14 mobil untuk menutupi kebutuhan PU Bina Marga, itu
artinya pemkot masih butuh. Padahal, dalam (PP) No 6 Tahun 2006 BAB I
ketentuan Umum pasal 1 (8) secara tegas dinyatakan pinjam pakai tersebut
boleh dilakukan asal tidak sedang dibutuhkan," kata Kordinator Lembaga
Pemantau Pelaksanaan Kebijakan Jatim, Purwadi.

Selain itu, pinjam pakai tersebut juga dinilai melanggar Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah. Butir tiga (3) Permendagri
mensyarakatkan bahwa pinjam pakai boleh dilakukan selama tidak
mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara tegas Permendagri malah
mensyaratkan bahwa  barang milik daerah yang akan dipinjam pakaikan ke
instansi lain (Polrestabes)  tersebut sementara waktu belum dimanfaatkan
oleh SKPD (1).

Masih menurut Purwadi, pelanggaran lain yang dilakukan pemkot dan
Polrestabes adalah mengganti pelat nomor mobil yang dipinjam-pakaikan
tersebut. Pelat nomor yang semula merah itu sekarang berganti pelat
polisi. "PP tersebut melarang peminjam mengganti kepemilikan, faktanya
Polrestabes malah mengubah pelat nomor. Harus dicatat, pelat merah itu
artinya barang tersebut aset pemkot, bukan asetnya Polrestabes.
Berani-beraninya (Polrestabes) mengubah barang yang bukan miliknya.
Masak gini dibela Mendagri," kritiknya.

Karena itu, pihaknya mencurigai jika Kemendagri malah terkesan membela
Risma. Pihaknya mendesak agar DPR RI memelototi apa yang sebenarnya
terjadi. Termasuk mengawasi, mengapa setelah dilobi Risma, tiba-tiba
Kemendagri mengabaikan peraturannya sendiri.

Terpisah, kepada Berita Metro, Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya,
Kompol Suparti pernah mengakui adanya pergantian pelat nomor mobdin yang
dipnjam pakaikan oleh pemkot tersebut. Suparti mengatakan jika mobil
yang semula berplat nomor merah dan sudah diganti dengan nomor polisi
itu digunakan untuk pengamanan kota di bidang lalu lintas.

Pihaknya tidak ingin mencampuri urusan pemkot  jika kebijakan tersebut
bermasalah. "Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak
mempunyai kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak
Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini salah alamat," kata Suparti saat
ditemui di kantornya.

Mantan Kapolsek Asemrowo ini menegaskan bahwa sebagai peminjam,
Polrestabes tidak ada kaitannya dengan persoalan di Pemkot. "Ya kalau
untuk apa mobil itu dipinjam atau berapa unit yang dipinjam sih, kita
bisa menjawab. Itu sesuai kapasitas dan kewenangan kami ," imbuhnya.

Sekedar mengingatkan, pemberian 28 Unit Station Wagon - Isuzu Panther –
oleh Pemkot Surabaya kepada Polrestabes yang dikemas pinjam pakai menuai
gugatan. Sejumlah aktifis menduga pola pinjam pakai tersebut  diduga
kuat merupakan bagian dari upaya suap yang dilakukan pemkot ke
Polrestabes.

Selain memunculkan aroma gratifikasi, penyerahan Panther tersebut juga
menabrak sejumlah aturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, dari
28 unit yang dipinjam-pakaikan, pengadaan untuk 13 unit diantaranya
dilakukan tanpa melalui proses lelang alias penunjukkan langsung.
Ironisnya lagi, penyerahan 28 Isuzu Panther tersebut dilakukan ketika PU
Bina Marga dan Pematusan justru kekurangan mobil dinas. (rbh/hab)

Rep. Ari Widura
Red. Habib

http://kabarmetro.com/read/113/05/10/2011/risma-lobi-mendagri.html

Pinjam Pakai Mobdin : Polrestabes Ganti Plat Nomor 28 Panther Ubah Kepemilikan Pemkot

Surabaya, (BM) - Kecu­rigaan ada motiv lain di balik pinjam-pakei 28
Unit Station Wa­gon - Isuzu Panther – oleh Pemkot Surabaya kepada
Polrestabes menguat. Ini me­nyu­sul fakta baru bahwa ter­nyata seluruh
mobil yang disodorkan pemkot tersebut kini sudah berganti plat nomor.
Mobil yang semula berplat nomor merah itu, sekarang berganti plat
polisi.

Padahal berdasarkan Per­men­dagri nomor 17 tahun 2007, pinjam pakai
tersebut boleh dilakukan sepanjang tidak mengubah kepemilikan. Salah
satu butir dari Permendgari tersebut mensyaratkan pe­min­jam bertanggung
jawab atas ke­utuhan dan keselamatan barang. Bu­tir lainnya, menegaskan
bahwa pengembalian barang milik daerah yang dipinjam pakaikan harus
dalam keadaan baik dan lengkap.

"Aturannya sudah jelas. Peminjam tidak boleh mengu­bah status
kepemilikan barang. Mo­bil (Panther) itu kan milik dan asetnya pemkot
yang semula berplat merah. Kalau benar Pol­restabes hanya meminjam,
me­ngapa berani mengganti plat no­mor," kata Kordinator Ma­syarakat
Pemantau Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan Pemprov Jatim Purwadi.

Langkah Polrestabes terse­but telah mencerminkan kebi­jakan tidak adil
di tengah-tengah masyarakat. Polrestabes memberikan contoh tidak baik
terhadap masyarakat Surabaya. Menurut Purwadi, sudah menjadi rahasia
umum bahwa selama ini banyak pemilik kendaraan harus berurusan dengan
polisi hanya karena mengubah plat kendarannya. "Jangankan mengubah,
memo­difikasi saja masih diti­lang. Ini mengganti Mas, ba­yangin,"
lontarnya.

Yang lebih aneh, karena status Polrestabes sebagai pemin­Langkah
Polrestabes tersebut telah mencerminkan kebijakan tidak adil di
tengah-tengah masyarakat. Polrestabes mem­be­rikan contoh tidak baik
terha­dap masyarakat Surabaya. Menurut Purwadi, sudah men­ja­di rahasia
umum bahwa sela­ma ini banyak pemilik kendaraan harus berurusan dengan
polisi hanya karena mengubah plat kendarannya.  "Jangankan mengubah,
memodifikasi saja masih ditilang. Ini mengganti Mas, bayangin,"
lontarnya.

 Yang lebih aneh, karena status Polrestabes sebagai pemin­jam, tidak
seharusnya mereka me­ngubah barang yang dipin­jam. Karena jelas, dalam
per­atu­rannya, peminjam   wajib menjaga ke­utu­han barang (milik
daerah) yang dipinjam tersebut.

Melihat gejala yang tidak baik ini, Purwadi justru mencu­rigai adanya
motivasi lain dibalik penyerahan 28 unit Panther tersebut. Hanya ketika
didesak motiv lain yang dimak­sud, aktifis berdarah Batak ini masih
merahasiakan. "Nanti saja kita sampaikan. Ini masih ditelusuri,"
elaknya.

Mengapa plat nomor merah tersebut diganti? Kasat Lantas Polrestabes
Surabaya AKBP Asep Akbar Hikmana menga­takan pergantian plat nomor mobil
tersebut memang me­miliki aturan yang harus dipe­nuhi. Sementara untuk
urusan perawatan termasuk pajak adalah kewenangan dari Pem­kot Surabaya.

"Soal menggati plat nomor itu kan harus didaftarkan terlebih dahulu ke
bagian logistic Polrestabes Surabaya. Nah kalau sudah diganti,
pema­ha­man saya ya sudah didaftarkan ke sana," kata Asep saat
dihu­bungi Berita Metri via pon­selnya kemarin.

Bukankah itu melanggar aturan? Menjawab ini, Asep mengakui bahwa itu
seharusnya tidak boleh dilakukan, kecuali ada klausul di dalam
perjanjian pinjam pakei tersebut. "Soal apakah ada klausul atau tidak,
pemkot yang lebih tahu," elaknya.

Asep juga mengaku, bahwa yang memiliki kewenangan sepenuhnya soal mobil
tersebut adalah pihak Pemkot Surabaya. Karena yang memegang per­janjian
pinjam pakai kendaraan tersebut juga pemkot. "Mobil tersebut kan
digunakan untuk pengamanan di wilayah hukum Kota Surabaya. Kebetulan
waktu itu pemkot hanya bisa memberi bantuan dengan memin­jam­kan mobil
dinas. Dari situ pem­kot sendiri yang membuat aturan berikut beberapa
per­janjian yang harus dipenuhi," tutur dia lagi.

Soal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang mengatur syarat-syarat
tentang "pinjam pakai" kendaraan mobdin kepada pihak lain, Asep mengaku
belum mempelajari sepenuhnya hal tersebut.

"Ya memang kalau mengacu pada aturan itu, memang tidak boleh. Tapi
ketika Pemkot membuat klausul-klausul baru soal status itu, ya saya
tidak tahu. Kalau melihat kondisinya sekarang, berarti mobil tersebut
sudah didaftarkan ke bagian logistic Polrestabes Suarabaya dan ada
aturan dari Pemkot yang memperbolehkan pergantian plat nomor tersebut,"
tutup Asep.

Melihat gejala yang tidak baik ini, Purwadi justru men­curigai adanya
motivasi lain dibalik penyerahan 28 unit Panther tersebut. Hanya ketika
didesak motiv lain yang dimaksud, aktifis berdarah Batak ini masih
merahasiakan. "Nanti saja kita sampaikan. Ini masih ditelusuri,"
elaknya.

Mengapa plat nomor merah tersebut diganti? Kasat Lantas Polrestabes
Surabaya AKBP Asep Akbar Hikmana menga­takan pergantian plat nomor mobil
tersebut memang memiliki aturan yang harus dipenuhi. Sementara untuk
urusan perawatan termasuk pajak adalah kewenangan dari Pemkot Surabaya.

"Soal menggati plat nomor itu kan harus didaftarkan terlebih dahulu ke
bagian logistic Polrestabes Surabaya. Nah kalau sudah diganti, pemahaman
saya ya sudah didaftarkan ke sana," kata Asep saat dihubungi Berita
Metri via ponselnya kemarin.

Bukankah itu melanggar aturan? Menjawab ini, Asep mengakui bahwa itu
seharusnya tidak boleh dilakukan, kecuali ada klausul di dalam
perjanjian pinjam pakei tersebut. "Soal apakah ada klausul atau tidak,
pemkot yang lebih tahu," elaknya.

 Asep juga mengaku, bahwa yang memiliki kewenangan sepenuhnya soal mobil
tersebut adalah pihak Pemkot Surabaya. Karena yang memegang per­janjian
pinjam pakai kendaraan tersebut juga pemkot. "Mobil tersebut kan
digunakan untuk pengamanan di wilayah hukum Kota Surabaya. Kebetulan
waktu itu pemkot hanya bisa memberi bantuan dengan meminjamkan mobil
dinas. Dari situ pemkot sendiri yang membuat aturan berikut beberapa
perjanjian yang harus dipenuhi," tutur dia lagi.

Soal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang mengatur syarat-syarat
tentang "pinjam pakai" kendaraan mobdin kepada pihak lain, Asep mengaku
belum mempelajari sepenuhnya hal tersebut.

"Ya memang kalau mengacu pada aturan itu, memang tidak boleh. Tapi
ketika Pemkot membuat klausul-klausul baru soal status itu, ya saya
tidak tahu. Kalau melihat kondisinya sekarang, berarti mobil tersebut
sudah didaftarkan ke bagian logistik Polrestabes Suarabaya dan ada
aturan dari Pemkot yang memperbolehkan pergantian plat nomor tersebut,"
tutup Asep.

Rep. bambang utomo
Red. Ari Widura

http://kabarmetro.com/read/85/14/09/2011/polrestabes-ganti-plat-nomor-28-panther.html

PAKAR BERBICARA Pinjam Pakai MOBDIN : Batalkan Perjanjian Pinjam Pakai!

Menurut Prof. Dr. Eko Sagitario SH CN MHum kasus pinjam-pakai 28 mobil
Isuzu Panther yang merupakan aset Pemkot bisa saja dilakukan. Tapi,
menurutnya, mobil yang dipinjamkan tersebut seharusnya tidak mengalami
perubahan apapun. Padahal, realitanya mobil milik pemkot yang
dipinjam-pakaikan kepada Polrestabes Surabaya sudah mengalami pergantian
plat nomor.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Surabaya ini menilai jika mobil
tersebut merupakan aset pemkot, maka tidak boleh ada pergantian plat
nomor. Sebab, pergantian plat nomor juga berkaitan dengan pergantian
pemilik. "Ini jelas menyalahi aturan yang ada kalau mobil yang
dipinjamkan oleh pemkot kemudian diganti plat nomornya oleh pihak
kepolisian."

Di sisi lain, Eko juga menyoroti bahwa 'pemberian' mobil-mobil tersebut
seyogyanya diketahui oleh lembaga legislatif, dalam hal ini adalah DPRD
Surabaya. Sebab, menurutnya, pengadaan mobil-mobil itu tentu berkaitan
dengan APBD yang notabene merupakan uang negara. "Kasus ini sudah
bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara,"
tukas Eko.(aji)

Selain Eko, dosen Hukum Pidana Univesitas Airlangga, I Wayan Titib
Sulaksana menilai, kesepakatan pinjam-pakai 28 Isuzu Panther antara
pemkot dan polrestabes ini sangat sarat dengan aroma gratifikasi.

"Kalau sampai dua tahun, itu bukan pinjam namanya, dan patut diduga ada
gratifikasi, apalagi jumlahnya mencapai 28 unit dan Polda harus ditanya
kenapa hal itu sampai terjadi" ujar wayan ketika dihubungi Berita Metro
melalui telepon selular, Rabu (21/9).

Menurut Wayan, jika benar benar terbukti ada gratifikasi dalam
perjanjian itu, maka pihak yang terlibat harus diproses dan diusut
secara tuntas. karena sudah masuk ke tindak pidana korupsi, dan bisa
dikenakan UU Tipikor No 20 tahun 2001 pasal 5, 6 dan 12 huruf B dengan
ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Ketika disinggung mengenai pergantian plat nomor mobil yang dilakukan
Polrestabes, Wayan mengaku kaget dengan kabar tersebut. Namun
menurutnya, selama mobil tersebut masih menjadi milik Pemkot Surabaya,
maka pergantian plat nomor mobil sangat tidak dibenarkan.

"Tidak ada aturan yang membolehkan ganti plat terhadap aset pemkot yang
dipinjamkan, sebab yang menaggung biaya pemeliharaan masih menjadi
tanggung jawab pemkot, ini aset rakyat jadi harus dikembalikan," tutup
Wayan. (bmb/aji)

Rep. bambang utomo
Red. Ari Widura

http://kabarmetro.com/read/102/21/09/2011/batalkan-perjanjian-pinjam-pakai!.html

Pinjam Pakai MOBDIN : Pemkot Surabaya Tabrak Aturan Berlapis

Surabaya, (BM) – Berdalih membantu kepolisian untuk  operasinal
pengamanan kota sebagai kebuthan yang diprioritaskan, Pemerintah Kota
Surabaya rela melanggar sejumlah aturan, di antaranya Permendagri 17
tahun 2007 dan PP 68 Tahun 2008. Namun Pemkot kekeuh bahwa kebijakan
pinjam pakai 28 unit mobil Station Wagon Isuzu Panther dari kepada
Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) dan Polres Tanjung Surabaya
tak melanggar hukum.

Satu regulasi –di antara beberapa aturan lain- yang nampak terang telah
dilanggar pihak pemkot dalam kerjasama ini adalah Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah. Regulasi ini merupakan turunan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Pemkot telah mengabaikan regulasi yang tertuang dalam Pasal 35 butir 3
(Bagian Empat) Permendagri. Pasal tersebut berbunyi, pinjam pakai boleh
dilakukan selama tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara
tegas Permendagri malah mensyaratkan bahwa  barang milik daerah yang
akan dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes)  tersebut
sementara waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

Namun transaksi kerjasama Pemkot yang meminjam pakaikan 28 mobil panther
itu kepada polrestabes dan polres KP3 telah mengesampingkan kebutuhan
operasional kinerja instansinya sendiri. Sebab, sebelum kerjasama itu
dilakukan, salah satu instansi di jajaran pemkot, Dinas PU Bina Marga
dan Pematusan kekurangan mobil dinas untuk operasional kerja kepala
bidang dan seksi. Bahkan, dinas yang dipimpin Erna Purnawati itu harus
rela menyewa mobil rental dengan harga Rp 4,5 juta untuk satu unitnya. 

"Kami terpaksa rental. Bagaimana mereka bisa bekerja dengan baik kalau tidak ada mobil operasional," ujar Erna, Selasa (12/07).

Ironisnya lagi, saat itu Erna menyatakan jajarannya tidak mendapat jatah
mobdin kala Bagian Perlengakapn Pemkot mengadakan lelang mobil pada 25
Januari 2010 lalu. Begitu pula keinginan untuk membeli sendiri juga
tidak bisa dilakukan karena Erna mengakui tidak ada anggaran untuk itu.
"Kalau tidak ada anggarannya, bagaimana kita bisa memberikan mobil
dinas," sambungnya.

Tak hanya dua regulasi itu, pakar hukum tata negara Universitas Surabaya
(Ubaya) Eko Sugitariu menambah lagi singgungan kasus kerjasama ilegal
ini dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kendati
secara rinci, Guru Besar Hukum Ubaya itu tidak menjelaskan pasal mana
yang diduga telah dilanggar pemkot. "Yang jelas ada disinggung di situ
tentang anggaran dan aset Negara atau daerah. Kasus ini berpotensi
melanggar salah satu pasal di dalamnya," terang Eko yakin.

Pendapat lebih tegas dilontarkan pakar hukum pidana Universitas
Airlangga I Wayan Titip. Dia yakin jika pinjam pakai mobil Pemkot kepada
dua institusi kepolisian itu sudah tergoong tindak gratifikasi. Menurut
Wayan, pasal gratifikasi ini bisa dikenakan kepada pemkot jika tidak
membatalkan perjanjian pinjam pakai itu.

 "Perjanjian ini harus dibatalkan. Karena awalnya melanggar Permendagri.
Namun jika sudah masuk proses hukum, sangkaan gratifikasi bisa juga
dikenakan dalam kasus ini," tukas Wayan.

Secara rinci, Wayan menyebut sangkaan gratifikasi itu bisa mengacu pada
UU Tipikor No 20 Tahun 2001, pasal 5,6,12 huruf b dengan ancaman minimal
4 tahun maksimal 20 tahun.

Apalagi, kata Wayan, proses kerjasama ini diduga kuat tanpa
sepengetahuan DPRD Surabaya. Padahal apapun kebijakan kerjasama
menyangkut aset Negara/daerah harus ata spersetujuan dewan.

Benar saja, Komisi A DPRD Surabaya yang membidangi maslaah hukum
serentak mengaku tak tahu ketika dikonfirmasi terkait hal ini. Ketua
Komisi A Armudji malah melemparkan pertanyaan ini ke anggotanya (komisi
A). "Saya gak tahu masalah itu mas, coba tanya saja pada pak Hafid
(Hafid Su'aidi) dan bu lut, (Luthfiyah)," kilah Armudji menghindari
pertanyaan wartawan Koran ini.

Karena bertumpuknya dugaan aturan yang dilanggar, kasus ini langsung
mendapat perhatian khusus dari Kejaksaan Tinggi Jati. Seorang petinggi
Kejati yang menolak disebut namanya itu menyatakan potensi pelanggaran
dalam kerjasama ini sangat terbuka. Sebab, menurtnya,  perjanjian itu
cenderung dipaksakan hanya dengan dalih yang lazim, yakni menunjang
keamanan kota.

Padahal bagaimanapun, keamanan suatu daerah sudah menjadi  tanggung
jawab aparat kepolisian setempat, tak terkecuali di Surabaya. Tanpa
bantuan pinjam pakai mobil  dari pemkot yang mengabaikan kebutuhan
internal instansi sendiri, lanjut sumber ini,  kepolisian tetap
bertanggung jawab penuh atas keamanan kota.

Karena itu, salah seorang petinggi Kejati ini masih menyelidiki lebih
jauh potensi pelanggaran yang dilakukan kedua pihak dalam kerjasama ini.
"Indikasi pelanggaran-pelanggaran yang sudah ada akan kami selidiki
lebih dalam lagi," ungkapnya.

Di bagian lain, Kabag Humas Nanis Chairani sendiri tak berani
menjelaskan panjang lebar. Terkait dugaan melanggar aturan tersebut,
mantan Camat Krembangan itu  menyatakan bahwa kebijakan tersebut sudah
dipertimbangkan matang, termasuk soal dasar hukumnya.

Lebih jelasnya, lagi-lagi Nanis tak berani menjawab. "Lebih jelas soal
hukum, langsung tanyakan ke Bu Walikota (Tri Rismaharini) dan bagian
perlengkapan yang lebih memahami prosesnya," ungkapnya.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Walikota Tri Rismaharini maupun
Kabag Perlengkapan Noer Oemarajati belum bisa memberikan penjelasan
terkait persoalan ini.

Meski sebelumnya, Oemarajati pernah mengatakan, penyerahan 28 Unit
Kendaraan operasional Pemkot kepada Polrestabes Surabaya dan Polres
Pelabuhan Tanjung Perak dalam rangka pinjam pakai selama dua tahun. Saat
itu, pihaknya juga mengakui bahwa peminjaman kendaraan itu masih bisa
diperpanjang. Menurut Oemarajati, pinjam pakai tersebut adalah bagian
dari upaya pemkot meningkatkan pengamanan kota.  (bmb/aji/arw/hab)

http://kabarmetro.com/read/100/21/09/2011/pemkot-tabrak-aturan-berlapis.html

Pinjam Pakai MOBDIN : Coki Langkahi Timur Pradopo

Surabaya, (BM) – Transaksi pinjam pakai 28 unit mobil dinas Pemerintah
Kota (Pemkot) Surabaya kepada Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes)
dan Polres Tanjung Perak (KP3) terus memunculkan banyak indikasi ilegal.
Banyak aturan diduga dilanggar tidak hanya oleh Pemkot, namun juga
Polrestabes sebagai pihak peminjam. Hanya demi mendapat tambahan 28
mobil –dalih untuk menunjang operasional personel kepolisian mengamankan
kota-, Kapolrestabes Surabaya Komisaris Besar Polisi Coki Manurung
dinilai telah berani melangkahi wewenang Kapolri Jenderal Timur Pradopo.

Tindakan Coki melampaui wewenang atasannya itu bisa ditengarai dari
sejumlah aturan yang dilanggar oleh mantan Dir Narkoba Polda Jatim ini
dalam melaksanakan kesepakatan pinjam pakai 28 mobil Station Wagon Isuzu
Panther. Di antaranya  menabrak aturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hubungan dan Kerja
Sama Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam pasal 19 UU Kepolisian menyebutkan bahwa Kapolri menetapkan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian  dan 
Kapolri memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawab. Sementara Pasal 7 PP No. 68/2008 menyebutkan,
Pelaksanaan kerja sama dibuat dalam bentuk tertulis yang menimbulkan hak
dan kewajiban dan dapat dituangkan dalam kerja sama induk dan/atau
kerja sama teknis. Adapun Kerja sama induk adalah kerja sama para pihak
yang akan dijadikan sebagai landasan bagi kerja sama yang bersifat lebih
teknis. Kerja sama teknis adalah jabaran dari kerjasama induk yang
bersifat lebih teknis.

Dari penjelasan dua pasal yang tertuang dalam dua regulasi berbeda saja,
bisa dilihat bahwa Kapolrestabes telah melangkahi wewenang Kapolri
dalam transaksi pinjam pakai ini. Sebab dalam kesepakatan tersebut,
pengesahan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman hanya
ditandatangani oleh Kombes Pol Coki Manurung. Tidak didahului dengan
perjanjian induk yang ditandatangani oleh Kapolri.

Kepala Bagian Humas Pemkot Nanis Chairani membenarkan hal ini. Dia
menyatakan, perjanjian pinjam pakai itu memang langsung disahkan oleh
Walikota Tri Rismaharini dan Kapolrestabes Surabaya Coki Manurung. Nanis
juga mengakui jika tidka pernah ada perjanjian induk antara Pemkot
dengan Kapolri. "Tidak pernah (perjanjian induk, red) dengan Kapolri.
Masa harus begitu? Ya kelamaan kan kalau harus perjanjian dulu dengan
Kapolri. Sementara keamanan Surabaya tidak bisa menunggu," papar Nanis.

Pernyataan Kabag Humas ini mempertegas adanya aturan hukum yang ditabrak
baik oleh polrestabes maupun pemkot. Sekadar diketahui, kesepakatan
pinjam pakai mobil yang ditandatangani  dua kepala instansi tersebut
lebih bersifat teknis. Berdasar Pasal 7 PP No 68/2008, perjanjian yang
bersifat teknis ini seharusnya dilandasi dengan perjanjian induk yang
ditandatangani Kapolri sendiri.

Tindakan Kapolrestabes yang dinilai melangkahi wewenang Kapolri ini
ditegaskan lagi oleh pakar hukum Universitas Airlangga I Wayan Titip.
Dia menilai, Coki telah melanggar tertib administrasi sebagaimana diatur
dalam UU Polri maupun PP 68 tahun 2008. "Kalau itu tanpa sepengatahuan
Kapolri, jelas salah. Lain lagi kalau sudah ada pendelegasian dari
Kapolri," tegas Wayan.

Sebelumnya, Kordinator Masyarakat Pemantau Pelaksanaan Program dan
Kebijaksanaan Pemprov Jatim Purwadi juga memperjelas pelanggaran ini.
Kerjasama/perjanjian Pinjam Pakai tersebut, kata Purwadi,  tidak sah
karena yang menandatangani perjanjian kerjasama pinjam pakai kendaraan
dinas pemkot tersebut adalah Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres
Pelabuhan Tanjung Perak. "UU Polri dan PP 68/2008 itu sudah tegas
mengatur perjanjian induk dan teknis. Nah, apa yang dilakukan kedua
pihak itu (Pemkot dan Polrestabes, red) adalah perjanjian teknis.
(perjanjian, red) induknya tidak pernah dibuat," beber Purwadi.

Purwadi menambahkan, kerjasama itu juga diatur langsung dalam UU Polri
–berada di bawah tanggungjawab Kapolri- karena telah menimbulkan hak dan
kewajiban kedua belah pihak. Untuk itu, Kapolri sebagai pucuk pimpinan
tertinggi Korps Bhayangkara wajib mengetahui perjanjian itu. "Untuk
itulah aturan perjanjian induk diberlakukan untuk melandasi perjanjian
teknis yang menjadi turunannya atau mengikutinya," tandasnya.

Pelanggaran bertumpuk yang dilakukan kedua pihak terkait kerjasama ini
juga menuai sorotan tajam dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Seorang
sumber petinggi di Kejati berani menyebut jika kerjasama itu telah
menabrak banyak aturan.

Dia mengungkapkan, perjanjian itu cenderung dipaksakan hanya dengan
dalih yang lazim, yakni menunjang keamanan kota. Padahal bagaimanapun,
keamanan suatu daerah sudah menjadi  tanggung jawab aparat kepolisian
setempat, tak terkecuali di Surabaya. Tanpa bantuan pinjam pakai mobil 
dari pemkot yang mengabaikan kebutuhan internal instansi sendiri, lanjut
sumber ini,  kepolisian tetap bertanggung jawab penuh atas keamanan
kota.

Karena itu, salah seorang petinggi Kejati ini masih menyelidiki lebih
jauh potensi pelanggaran yang dilakukan kedua pihak dalam kerjasama ini.
Tak hanya itu, dia juga mencium adanya praktik bisnis security
(keamanan) yang dilakukan pihak kepolisian. Karena sumber tersebut
menyatakan praktik ilegal ini sudah banyak terjadi di berbagai daerah.

Bisnis security yang dimaksud sumber ini yakni pihak kepolisian diduga
memainkan pihak-pihak berkepentingan  di daerah tersebut. Dengan cara,
pihak berkepentingan itu harus member konstribusi lebih kepada
kepolisian jika ingin daerahnya benar-benar aman. "Ini yang bakal kami
usut lebih dalam. Selain pelanggaran-pelanggaran yang sudah ada,"
ungkapnya.

 Pihak Polrestabes sendiri juga pernah menyatakan keraguannya atas
keabsahan perjanjian kerjasama itu. Meski lebih jauh mereka tidak berani
memastikan dengan dalih pihaknya hanya sebagai peminjam atau penerima
pinjaman dari Pemkot.

"Yang berhak menjawab kan pihak Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini ya
salah alamat," tutur Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti
beberapa waktu lalu.

Ubah Plat Nomor, Polrestabes Tumpuk Pelanggaran

Belum tuntas polemik terkait dugaan pelanggaran hukum dalam kerjasama
pinjam pakai 28 mobil, Polrestabes kembali menunjukkan arogansinya.
Korps kepolisian di bawah kendali Kombes Pol Coki Manurung ini berani
mengubah plat nomor ke-28 mobil aset pemkot itu menjadi plat nomor
polisi. Seolah, mobil tersebut menjadi hak milik Polrestabes dan Polres
Tanjung Perak Surabaya.

Padahal transaksi mobil tersebut sudah jelas dikatakan hanya pinjam
pakai, bukan hibah. Apakah ada tendensi hibah? Kepala Humas Pemkot
Surabaya Nanis Chairani menegaskan jika mobil tersebut jelas bukan
hibah. Secara jelas, Nanis menyatakan bahwa perjanjiannya adalah pinjam
pakai dengan jangka waktu dua tahun dan kemungkinan bisa diperpanjang.
"Itu bukan hibah, tapi pinjam pakai. Sudah jelas," katanya.

Menariknya, Pemkot justru tidak tahu dengan tindakan polrestabes
mengganti plat nomor mobil yang dipinjampakaikan tersebut.  Sebaliknya,
instansi yang dipimpin Tri Rismaharini ini mempertanyakan motivasi
polrestabes mengubah plat nomor mobil yang bukan hak milik polisi
tersebut menjadi plat nomor milik kepolisian. Sebab, saat serah terima
mobil aset pemkot tersebut masih berplat merah.

"Lho, masa plat nomor diganti? Kami tidak tahu kalau diganti.Yang pasti,
saat penyerahan masih plat merah. Itu bukan hak milik (hibah, red),
tapi pinjam pakai," tandas Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya Nanis
Chairani.

Tindakan polrestabes mengganti plat nomor mobil pinjam pakai itu dinilai
melanggar aturan UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Peraturan Kapolri, plat nomor harus sesuai dengan kepemilikan surat
tanda kendaraan bermotor. Sementara pihak pemkot tidak pernah
menghibahkan 28 mobil itu kepada polrestabes. "Ya itu (28 mobil Isuzu
Panther, red) statusnya pinjam pakai. Tapi kalau soal aturannya saya
kurang tahu," tegas Nanis.

Pernyataan Guru Besar Hukum Ubaya Eko Sagitariu makin mempertegas
pelanggaran dalam penggantian plat nomor ini. Menurut dia, diatur
bagaimanapun, tidak ada celah bagi pihak lain termasuk kepolisian untuk
mengklaim barang yang bukan hak miliknya. "Itu (penggantian plat nomor,
red) kan sama saja dengan mengklaim kepemilikan aset pemkot.
Bagaimanapun itu tidak boleh," ujarnya.

Anehnya, Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti yang
membenarkan penggantian plat nomor merah itu menjadi plat nomor
kepolisian seperti seniornya AKBP Ase, dia melimpahkan persoalan ini ke
pihak pemkot. "Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak
mempunyai kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak
Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini ya salah alamat," tutur Suparti saat
ditemui di kantornya.

Di bagian lain, Kasat Lantas Polrestabes Surabaya AKBP Asep Akbar
Hikmana sendiri secara tersirat mensinyalir adanya pelanggaran dalam
pinjam pakai maupun penggantian plat nomor itu. Namun dia tak berani
memastikan pelanggaran itu. Asep berdalih, penggantian plat nomor polisi
28 mobil itu karena sudah didaftarkan ke bagian logistik polrestabes.
Kendati penggantian tersebut tidak diperbolehkan karena bukan barang hak
milik kepolisian.

Asep juga mengakui kalau memang pergantian kepemilikan plat nomor polisi
pada 28 unit mobil Isuzu Panther jenis Station Wagon tersebut memang
melanggar aturan. Namun dia mengaku belum memahami secara detai klausul
aturan tersebut.

"Kalau memang ada aturan yang mengatur masalah itu (ganti plat nomor
polisi) ya memang saya akui melanggar. Untuk bisa tahu lebih jelas, bisa
ditanyakan langsung ke pihak Pemkot Surabaya karena klausul MoU dibawa
pemkot," ujar Asep beberapa waktu lalu.

Argumen Asep ini mengacu pada aturan khusus yang memang membolehkan
merubah plat merah menjadi plat hitam, dengan satu catatan menggunakan
"label" bantuan swadaya (BS). "Untuk bisa tahu lebih jelas, bisa
ditanyakan langsung ke pihak Pemkot Surabaya," kata Asep.

Alibinya, pergantian plat nomor (merah menjadi plat hitam) juga sering
dilakukan terhadap mobil dinas pejabat maupun DPRD. Dia mencontohkan, di
Gedung DPRD Jatim misalnya, beberapa mobil dinas juga memiliki dua
surat tanda nomor kendaraan (STNK). Pada mobdin tersebut, tertempel dua
plat nomor, yang di balik plat warna hitam, masih menempel plat merah.

"Memang ada aturan yang memperbolehkan kita mengganti plat nomor
tersebut. Cuma pada plat nomor tersebut masih melekat istilahnya bantuan
swadaya. Jadi ketika mobil tersebut ditarik kembali, plat aslinya masih
ada," ujar seorang sumber di lingkungan Dewan Jatim yang tak mau
menyebut namanya.

Sayangnya, argumen AKBP Asep maupun sumber tersebut lemah lantaran tidak bisa menunjukkan aturan khusus yang dimaksud.

Sementara Kabag Humas Pemkot Nanis Chairani sendiri tidak berani
menerangkan secara rinci terkait klausul MoU perjanjian pinjam pakai
antara Pemkot dengan Polrestabes dan Polres Tanjung Perak itu karena
dirinya mengaku tidak banyak tahu soal aturan hukum yang berlaku.
"Langsung ditanyakan kepada Bu Walikota saja atau bagian perlengkapan,"
katanya.

Seperti diketahui sebelumnya, aktivitas pinjam pakai 28 mobdin yang
dilakukan Pemkot Surabaya kepada Polrestabes Surabaya dan Polres KP3 itu
dilakukan dalam rangka pengamanan Kota Surabaya jelang Lebaran Hari
Raya Idul Fitri 2011.

Namun, belakangan diketahui kalau 28 mobil jenis Stasiun Wagon --26 unit
untuk Polrestabes Surabaya dan dua unit untuk Polres KP3—itu sudah
berganti plat nomor, dari palat merah menjadi plat polisi.
(aji/ars/arw/hab)

 http://kabarmetro.com/read/99/21/09/2011/coki-langkahi-timur-pradopo.html

Pinjam Pakai MOBDIN : Usut Pengadaan 13 Panther

Surabaya, (BM) - Bukan hanya menabrak aturan, penyerahan 28 mobil
panther ke Polrestabes ternyata juga memunculkan dugaan tindak pidana
lainnya. Itu tercium dari pengadaan 13 Kendaraan Station Wagon Isuzu
Panther yang diduga kuat tidak dilelangkan oleh Bagian Perlengkapan
Pemkot Surabaya.

Sejauh ini, kata Purwadi Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya hanya
melakukan lelang untuk Pengadaan Station Wagon 2.500 CC sebanyak 15
Unit. Kegiatan tersebut dilakukan pada 25 Januari 2010. Saat itu,
pemenang lelang adalah PT Astra International Tbk-Isuzu (NPWP:
01.302.584.6-611.004) dengan nilai penawaran Rp.3.296.250.000 (94,12%
dari HPS).

Faktanya, berdalih untuk pengamanan lebaran, pada 26 Agustus 2011
Walikota Surabaya Tri Rismaharini secara simbolis menyerahkan 28 Unit
Station Wagon Isuzu Panther kepada Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol
Coki Manurung dan Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKBP Jayadi.

Dengan jumlah tersebut, Purwadi mencurigai bahwa pengadaan 13 unit
Panther lainnya tersebut dilakukan tanpa proses lelang.  "Darimana
Bagian Perlengkapan memperoleh 13 kendaraan lainnya. Ini harus diusut,"
pinta Purwadi.

Sementara itu, Kepala Bagian Perlengkapan, Noer Oemarajati pernah
mengatakan, penyerahan 28 Unit Kendaraan operasional Pemkot kepada
Polrestabes Surabaya dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak dalam rangka
pinjam pakai selama dua tahun. Saat itu, pihaknya juga mengakui bahwa
peminjaman kendaraan itu masih bisa diperpanjang. Menurut Oemarajati,
pinjam pakai tersebut adalah bagian dari upaya pemkot meningkatkan
pengamanan kota. "Itu jelas bahwa pinjam pakai tersebut bukan sekedar
momen lebaran seperti yang dikatakan walikota tapi memang sengaja
dipinjamkan selama 2 tahun," pungkasnya.

Sementara itu, Walikota Surabaya melalui Kabag Humas Pemkot Surabaya,
Nanis Chairani  mengaku tidak tahu mengenai pengadaan 13 mobil panther
yang dilakukan tanpa proses lelang. Pihaknya hanya mengaku tahu bahwa
Walikota Surabaya Tri Rismaharini secara simbolis menyerahkan mobil
Station Wagon Isuzu Panther pada Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Coki
Manurung dan Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKBP Jayadi pada tanggal
26 Agustus 2011.

"Masalah pengadaanya tanya langsung ke Bu Nur (Nur Oemarijati). Dia yang
lebih tahu, saya tahunya hanya penyerehan 28 unit Panther itu," jelas
Nanis. Pihaknya membantah jika peminjaman mobil yang dilakukan oleh
Pemkot ke Polrestabes tersebut melanggar peraturan.

"Peminjaman yang dilakukan ini sudah diperhitungkan masak masak. Nggak
ada aturan yang dilanggar Mas, kami justru ingin membantu (Polrestabes)
sebagai sarana transportasi pengamanan selama lebaran," sangkal wanita
berkacamata ini.

Bagaimana dengan kekurangan  mobil dinas yang ada di PU Bina Marga,
Nanis beranggapan jika kesepakatan pinjam pakai tersebut tidak bisa
dijadikan alasan bahwa keputusan Pemkot meminjamkan 28 mobil unit
tersebut dijadikan dasar bahwa Pemerintah Kota Surabaya  tidak peduli
pada instansinya. Sebab hal itu sudah sesuai dengan prioritas.(hab/bmb)

Rep. bambang utomo

http://kabarmetro.com/read/71/07/09/2011/usut-pengadaan-13-panther-.html

Digugat! Pinjam Pakai28 Panther Beraroma Suap

SURABAYA, (BM) - Pemberian 28 Unit Station Wagon - Isuzu Panther – oleh
Pemkot Surabaya kepada Polrestabes yang dikemas pinjam pakai menunai
gugatan. Sejumlah aktifis menduga pola pinjam pakai tersebut  diduga
kuat merupakan bagian dari upaya suap yang dilakukan pemkot ke
polrestabes.

Selain memunculkan aroma gratifikasi, penyerahan Panther tersebut juga
menabrak sejumlah aturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, dari
28 unit yang dipinjam-pakaikan, pengadaan untuk 13 unit diantaranya
dilakukan tanpa melalui proses lelang alias penunjukkan langsung.

Ironisnya lagi, penyerahan 28 Isuzu Panther tersebut dilakukan ketika PU
Bina Marga dan Pematusan justru kekurangan mobil dinas. Untuk memenuhi
kebutuhan itu, salah satu SKPD 'terbasah' dibawah naungan Walikota Tri
Rhismaharini itu terpaksa rental 14 mobil. Itu dilakukan setiap enam
bulan sekali dengan nilai sewa kendaraan Rp 4 juta/bulan atau Rp 56
Juta/bulan (untuk 14 kendaraan). Karena kontraknya per 6 bulan, Pemkot
Surabaya harus merogoh kocek Rp 308 Juta.

"Ini yang memilukan dan sangat ironis. Bagaimana disaat pemkot sendiri
harus rental belasan mobil, mereka malah meminjamkan 28 mobil ke
Polrestabes," lontar Kordinator Masyarakat Pemantau Pelaksanaan Program
dan Kebijaksanaan Pemprov Jatim Purwadi.

Melihat fakta bahwa pemkot masih rental mobil di luar, menurut Purwadi,
pinjam pakai yang dilakukan pemkot-Polrestabes tersebut jelas melanggar
aturan yang ada. Setidaknya menabrak Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah.

Butir tiga (3) Permendagri mensyarakatkan bahwa pinjam pakai boleh
dilakukan selama tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara
tegas Permendagri malah mensyaratkan bahwa  barang milik daerah yang
akan dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes)  tersebut
sementara waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

"Syarat itu tegas melarang barang yang akan dipinjam pakaikan tidak
sedang dibutuhkan dan tidak mengganggu kelancaran tugas pokok
instansi/SKPD. Faktanya pemkot masih rental untuk memenuhi kebutuhan
mobil dinas," kritik Purwadi.

Dia menyindir, dengan dilakukannya kegiatan pinjam pakai kendaraan mobil
dinas Pemkot Surabaya dan Polrestabes, berarti pengadaan 15 kendaraan
Station Wagon Isuzu Panther  tersebut pada kenyataannya memang tidak
dimanfaatkan oleh SKPD di lingkungan Pemkot Surabaya. Purwadi menuding
realitas tersebut menunjukkan bahwa Rhisma dan jajaran dibawahannya
tidak melaksanakan prinsip-prinsip Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) dalam
melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.

Walikota, lanjut Purwadi masih menggunakan pola orde baru yakni Kinerja
Berbasis Anggaran (KBA). "Bedanya jelas, dalam anggaran berbasis
kinerja, anggaranlah yang disusun sesuai beban target kinerja. Sementara
kinerja berbasis anggaran, maka kinerjalah yang diubah-ubah sesuai
ketersediaan anggaran. Ini nggak boleh dibiarkan, warga Surabaya harus
ikut mengawal dan mengusutnya," pinta aktifis yang dikenal cukup kritis
ini.

Dia lantas mengungkap bahwa contoh nyata Kinerja Berbasis Anggaran
adalah pengadaan 15 kendaraan Station Wagon Isuzu Panther  yang
dilakukan oleh Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya. Pemkot, kata Purwadi
hanya memanfaatkan anggaran yang ada dalam APBD untuk pengadaan 15
kendaraan Isuzu Panther.

Karena menggunakan pola Kinerja Berbasis Anggaran, maka selesai
pengadaan, 15 kendaraan tersebut tidak digunakan (pemkot). Agar
pengadaan tersebut terkesan tidak nganggur, pemkot kemudian mencari
alasan dan menggunakan momen lebaran untuk melaksanakan kegiatan
Perjanjian Pinjam Pakai Kendaraan Mobil Dinas dengan Polrestabes.

Masih menurut Purwadi, karena tidak berbasis kinerja, kegiatan Pinjam
Pakai 28 mobil kendaraan dinas kepada Polrestabes Surabaya sudah pasti
tidak mengganggu kelancaran bagian perlengkapan sebagai bagian dari
Satuan Perangkat Daerah. "Jadi sekali lagi, seharusnya pinjam pakai
tidak perlu dilakukan, karena faktanya Dinas PU Bina Marga dan Pematusan
Kota Surabaya masih kekurangan mobil dinas," Purwadi.

Hal lain yang harus diamati bahwa mobil station wagon yang dipinjamkan
kepada Polrestabes Surabaya memang bukan termasuk barang yang tidak
habis pakai. Tapi kalau digunakan selama 2 tahun dan kemungkinan
diperpanjang, maka nilai ekonomis kendaraan tersebut sudah pasti
mengalami penurunan. Karena itu, ketika 28 mobil kendaraan tersebut akan
dihapuskan dari daftar asset dan dilelangkan, Pemkot Surabaya sudah
pasti akan merugi.

Purwadi menambahkan, Pinjam Pakai kendaraan dinas Pemkot Surabaya antara
Walikota Surabaya dengan Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres Pelabuhan
Tanjung Perak termasuk kerjasama yang di atur dalam UU Kepolisian karena
kerjasama Pinjam Pakai tersebut telah menimbulkan hak dan kewajiban
kedua belah pihak.

Akan tetapi, kerjasama/perjanjian Pinjam Pakai tersebut tidak sah karena
yang menandatangani perjanjian kerjasama pinjam pakai kendaraan dinas
pemkot tersebut adalah Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres Pelabuhan
Tanjung Perak. "Kenapa sya katakan tidak syah, kita telah pelajari dasar
hukumnya semua. Kalau ada yang nggak terima, nanti saya tunjukkan,"
pungkasnya sembari menunjukkan sejumlah pasal dalam UU Kepolisian maupun
tata cara kerjasama kepolisian dengan lembaga pemerintah.

Disebut bermasalah, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Coki Manurung
justru mengaku gembira ketika dalam pelaksanaan pengamanan Kota
Suarabaya di saat lebaran, mendapat atensi dari Pemkot dengan bantuan
pinjam pakai 28 unit Panther.

"Kendaraan tersebut untuk mendukung kekuatan unit Lantas di
Polsek-Polsek. Ini seiring dengan perubahan struktur di tubuh Polri,
setiap Polsek, saat ini sudah memiliki unit Lantas," ujar Coki Manurung.

Senada dengan Coki, Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti
juga mengatakan kalau mobil yang semula berplat nomor merah dan sudah
diganti dengan nomor polisi itu digunakan untuk pengamanan kota di
bidang lalu lintas.

"Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak mempunyai
kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak Pemkot
sendiri. Kalau Tanya ke sini ya salah alamat," tutur Suparti saat
ditemui di kantornya.

Suparti menegaskan, Polrestabes hanyalah pihak peminjam dan tidak ada
kaitannya dengan persoalan di Pemkot. "Ya kalau untuk apa mobil itu
dipinjam atau berapa unit yang dipinjam sih, kita bisa menjawab. Dan
memang di situ kapasitas kami untuk menjawab," pungkas mantan Kapolsek
Asemrowo ini. (hab/ars)

Rep. bambang utomo
Red. Habib

http://kabarmetro.com/read/70/07/09/2011/digugat!-pinjam-pakai28-panther-beraroma-suap.html

Selesaikan Kasus Mobdin Pemkot Surabaya senilai Rp 15,2 M Secara Hukum !!!

Hubungan
Pemkot dengan DPRD Surabaya kembali tak harmonis. Kali ini pemicunya
dewan mencoret anggaran mobil dinas (mobdin) Rp 15,2 miliar yang
diajukan melalui Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2011.
Sebelumnya, dua institusi penting ini beseteru lantaran Walikota Tri
Rismaharini yang ngotot pajak/retribusi reklame dinaikkan. Sikap ngotot
walikota ini hingga akhirnya dewan mengajukan hak interpelasi, bahkan
nyaris berujung impeachment. Akankah hal ini kembali terulang?

Jika
pada persoalan kenaikan pajak/retribusi reklame, dampak langsung hanya
pada pengusaha reklame. Namun, persoalan mobdin ini jelas lain. Sebab,
menyangkut penggunaan dana APBD yang nota
bene uang rakyat. Parahnya lagi, pembelian mobdin itu sudah dilakukan
Pemkot, sebelum anggaran yang diajukan itu disetujui dewan.

Terlepas
dari sikap dewan itu ada kepentingan politik atau tidak, pembelian
mobil-mobil itu terasa mewah di tengah masih banyaknya warga Surabaya
yang masih dalam kategori miskin (dhuafa). Bagaimana tidak mewah
pembelian itu. Dari puluhan mobil yang dibeli, 5 unit diantaranya jenis
jeep 2.500 cc Mistsubishi Pajero Sport senilai Rp 2.068.000.000. Mobil
ini dibeli dengan dalih dipinjampakaikan untuk Muspida.

Begitu
juga dengan pembelian 28 unit mobil Isuzu Panther 2.500 cc untuk
Polsek-Polsek di lingkungan Polrestabes Surabaya seharga Rp
6.314.000.000. Sedang untuk operasional camat-camat, Pemkot membeli 31
unit Panther senilai Rp 6.820.000.000. Total jenderal anggaran yang
dihabiskan Rp 15,2 miliar (Rp 15.202.000.000).

Dana sebesar itu
jika dialokasikan untuk pengentasan warga miskin, tentu akan lebih
bermanfaat. Tapi mengapa Walikota melalui Bagian Perlengkapan lebih
memilih membeli mobil-mobil tersebut? Padahal, mobil operasional yang
ada masih bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Apakah ada
kepentingan Pemkot terhadap institusi di luar Pemkot (Muspida)? Sehingga
sejumlah persoalan hukum di Pemkot, misalnya, tak perlu disidik?
Ataukah ada kepentingan segelintir pejabat dalam pengadaan ini,
mengingat dalam investigasi lembaga swadaya masyarakat, dalam pengadaan
mobil jeep tersebut bukannya ditender, melainkan penunjukan langsung.

Patut
diwaspadai apa yang dilakukan Pemkot ini merupakan gratifikasi model
baru. Ini setelah dana hibah ditengarai menjadi modus bagi pejabat untuk
menerima gratifikasi atau suap, sudah dicium oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Modus ini merupakan cara untuk mengakali pemberian agar
bisa lolos dari pemeriksaan hukum.

Karena itu, cara yang
dilakukan Pemkot itu juga patut untuk diselidiki. Ada
indikasi Pemkot melakukan pelanggaran Perda APBD. Sebab, pengadaan
mobil dinas itu tidak didahuli dengan perubahan Rencana Kerja Anggaran
(RKA) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Bahkan, pengadaan Mobdin
belum disetujui dewan.

Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana yang
sekaligus Ketua Badan Anggaran (Banggar) jelas-jelas menyatakan ada
indikasi pelanggaran atas pengadaan mobdin tersebut. Paling mencolok
menabrak Undang-Undang 17/ 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Menurut Wishnu, banyak item pengadaan Bagian Perlengkapan yang tidak
sesuai. Usulan melalui rencana kerja dan anggaran (RKA) APBD, dokumen
pelaksanaan anggaran (DPA), maupun dokumen pelaksanaan perubahan
anggaran (DPPA) satuan kerja perangkat daerah (SKPD), yakni Bagian
Perlengkapan saling tumpang tindih.

Dalam Undang- Undang 17/2003
pasal 34 ayat (2) disebutkan, Pimpinan Unit Organisasi Kementerian
Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan
penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang
undang tentang APBN/ Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Melihat
ini, Kejaksaan Negeri maupun Polrestabes Surabaya akan diam?
Khawatirnya, persoalan ini hanya selesei secara politis. n
(alimahfudz@yahoo.co.id)

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296235d2294cdab5768704afd775a623096c

Walikota Surabaya Tidak Pro Rakyat!
Gara-gara Mobdin Rp 15,2 M Dicoret, Walikota Boikot Paripurna DPRD, Pembayaran Utang Jamkesda Rp 62 M Terkatung-katung

SURABAYA-
Ini indikasi Walikota Surabaya Tri Rismaharini tidak pro rakyat. Ribuan
warga miskin Surabaya yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis
bakal gigit jari.
Gara-garanya, Walikota Tri Rismaharini memboikot rapat paripurna DPRD
Surabaya, Selasa (29/11). Padahal, paripurna mengagendakan pengesahan
Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2011, yang di dalamnya membahas
anggaran pembayaran dana jaminan kesehatan daerah (jamkesda) pasien non
kuota ke sejumlah rumah sakit Rp 62 miliar. Anehnya lagi, sikap walikota
itu karena DPRD mencoret anggaran pembelian mobil bagi Muspida dan
Camat se Surabaya senilai Rp 15,2 miliar.

Sementara pembelian 5
unit Pajero Sport untuk Muspida, 28 unit mobil Isuzu Panther untuk
Polsek-Polsek dan 31 unit Panther untuk camat se Surabaya, Dewan
menemukan penyimpangan. Yakni, Pemkot sudah merealisasikan pembelian
mobil tersebut, padahal penganggarannya belum disahkan. Selain itu,
belanja mobil dinas (mobdin) itu dinilai tidak sesuai dengan Rencana
Kegiatan Anggaran (RKA).

Pantauan di gedung DPRD Surabaya, hampir
sebagian besar pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya mengikuti
langkah Tri Rismaharini dengan tidak hadir dalam rapat paripurna
tersebut. Ketidakhadiran wali kota tersebut, disampaikan melalui surat
Nomor 005/6036/436.1.2/2011. Inti dari surat tersebut menjelaskan
ketidakhadiran walikota karena belum ada kesepakatan bersama antara
Badan Anggaran (Banggar) DPRD dengan Tim Anggaran Pemkot Surabaya
terhadap materi PAK pada 28 November lalu.

Dalam surat itu,
walikota juga menyatakan bedasarkan UU 32/2004 dan PP 58/2005,
pengesahan terkait anggaran daerah harus disetujui bersama-sama antara
pemerintah daerah dan DPRD.

Tak pelak berdasarkan surat yang
diterima pada pukul 13.00 dan setelah sekali penundaan paripurna,
akhirnya Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana sebagai pimpinan sidang
menyatakan menunda sidang paripurna hingga waktu yang tidak ditentukan.
"Dengan demikian penundaan sidang ini membuat pengesahan PAK 2011 juga
tertunda," ujarnya.

Wishnu sendiri menyatakan sangat menyayangkan
keputusan Walikota menolak hadir dalam sidang paripurna, sehingga
penetapan PAK APDB 2011 gagal dilaksanakan. Padahal menurut kader partai
Demokrat ini, dalam PAK 2011 telah disiapkan anggaran untuk pembayaran
utang Jamkesda non kuota yang sudah ditagih oleh beberapa rumah sakit
milik pemerintah kepada Pemkot Surabaya.

Setelah melalui
pembahasan ketat, lanjut Wishnu, semua komisi di DPRD Surabaya sudah
melakukan efisiensi anggaran sampai dengan Rp190 miliar. Dari total
tersebut, kata Wishnu, dewan sudah menyepakati Rp36 miliar untuk
menambah anggaran Dinas Kesehatan guna membayar utang jamkesda non kuota
di rumah sakit-rumah sakit rujukan.

"Kalau ditambah anggaran
Dinkes yang Rp26 miliar, totalnya sudah ada Rp62 miliar. Sebagian besar
dipergunakan untuk pembayaran Jamkesda non kuota di RSUD dr.Soetomo dan
sisa Rp10 miliar untuk rumah sakit lain," beber Wishnu.

Sikap
menyayangkan juga berasal dari partai pengusungnya, PDIP.
Sekretaris DPC PDIP Baktiono yang juga Ketua Komisi D meminta agar
walikota bersedia menghadiri sidang paripurna pada penetapan jadwal
berikutnya. Menurut Baktiono, PAK perlu segera disahkan mengingat di
dalamnya ada komitmen pembayaran utang Jamkesda non kuota. "Kita sudah
ada komitmen pembayaran Jamkesda non kuota di PAK 2011. Tinggal
pengesahan, dan masyarakat kembali tidak khawatir untuk berobat di rumah
sakit," tegas Baktiono.

Pelanggaran Pidana

Sementara
itu, mengenai ketidaksepakatan Tim Anggaran dengan DPRD Surabaya,
sebagai alasan ketidakhadiran Walikota dalam paripurna pengesahan PAK
2011, Wishnu Wardhana kembali menegaskan Pemkot tidak punya alasan untuk
menolak. DPRD Surabaya, tegas Wishnu, akan tetap mencoret tiga item
pembelian mobil operasional yang dilakukan Pemkot Surabaya karena
melanggar ketentuan perundangan.

"Perdasarkan Permendagri 13/2010
pasal 130, semua pergeseran anggaran ataupun kegiatan dalam APBD harus mendapat persetujuan DPRD," tandas Wishnu.

Wishnu
menyebutkan tiga item pembelian mobil operasional yang menjadi masalah,
yakni pembelian 28 station wagon 2500 cc (Panther) tanpa perencanaan di
Rencana Kegiatan Anggaran (RKA). Pembelian 31 station wagon 2500cc
untuk camat serta pembelian lima unit Jeep Pajero yang tidak sesuai RKA.
"Soal jeep itu yang di RKA jeep 2000cc, sementara yang dibeli Jeep
Pajero 2300cc, ini juga berbeda dari RKA," tegasnya.

Lantaran
indikasi pelanggarannya sudah jelas, Wishnu menegaskan tidak akan
mengajukan interpelasi. Justru ia berharap Komisi Pemberantasan Komisi
(KPK) maupun Kejaksaan turun tangan mengusut dugaan penyelewengan
pembelian mobdin tersebut. "Tunggu apa lagi, pelanggarannya sudah jelas
di depan mata. KPK atau kejaksaan seharusnya mengusut," kata Wishnu.

Hanya
saja, lanjut Wishnu, untuk masalah pidana ini pihaknya
akan konsultasi dengan Mendagri dan Gubernur Jatim. Namun demikian,
lanjutnya, berdasarkan UU 17/2003 tentang keuangan negara, pasal 34
menyebutkan organisasi, SKPD, pemerintah daerah yang melakukan
penyimpangan dari APBD akan dikenakan sangsi pidana dan administrasi.

Klarifikasi Pemkot

Sementara
itu, Kepala Bagian Perlengkapan Noer Oemarijati membantah jika dirinya
menyalahi rencana kerja anggaran (RAK). Pembelian mobil dinas itu sudah
sesuai dengan prosedur yang ada. Baik proses pengajuan hingga pengadaan.

Pihak
pemkot tidak mempermasalahkan dicoretnya anggaran pembelian mobdin
senilai Rp 15,2 miliar. "Kalau memang dicoret ya tidak apa-apa. Lagipula
kita tidak mungkin meminta kembali kendaraan operasional yang telah
kita distribusikan. Itu kan untuk kepentingan orang banyak. Yang untuk
Polrestabes kan untuk patroli keamanan jalan raya.
Sementara kecamatan untuk melayani kepentingan masyarakat," katanya.

Sementara
5 pajero sport yang kini tengah menunggu STNK selesai, akan segera
didistribusikan. "Nanti akan kita distribusikan. Ini masih menunggu
perintah walikota," paparnya.

Sementara itu, Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Hendro Gunawan
mengatakan setelah DPRD menolak dengan mencoret anggaran ini, pemkot
akan melakukan revisi ulang. "Kita (Pemkot) sudah upayakan, tetap akan
melakukan revisi dan kronologis yang benar. Tetapi nantinya juga perlu
dikaji ulang dari sisi hukum," ujarnya. n ton/ov

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962a3cc8b3a618bc3f0dd892461a04df22c

DPRD Surabaya Coret Anggaran Mobdin yang sudah terlanjur di beli Pemkot Surabaya

SURABAYA-
Usaha Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang meminta dukungan DPRD
Surabaya agar menyetujui anggaran pembelian mobil dinas (Mobdin),
akhirnya gatot alias gagal total. Badan Anggaran (Banggar) DPRD Surabaya
secara resmi mencoret pengajuan Pemkot Surabaya untuk pembelian mobil
dinas bagi unsur Muspida dan Camat se Surabaya senilai Rp 15,2 miliar.

Anggaran sebesar itu awalnya akan digunakan Pemkot untuk pengadaan mobil Pajero Sport untuk
Muspida dan Panther untuk kendaraan operasional Polsek-Polsek di
lingkungan Polrestabes Surabaya. Selain itu, anggaran itu juga untuk
pembelian 31 mobil camat. Anehnya, meski belum ada persetujuan Dewan dan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) 2011 belum disahkan, tapi Pemkot sudah berani membeli mobil-mobil
tersebut.

Sementara pencoretan anggaran itu diputuskan dalam
rapat Banggar, Senin (28/11). Dalam rapat yang menghadirkan Tim Anggaran
Pemkot Surabaya itu, Banggar menilai usulan yang diajukan Pemkot
Surabaya itu menabrak Undang-Undang 17/2003 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah. "Ini (pencoretan) hasil rapat Banggar, Banmus (Badan
Musyawarah) dan Tim Anggaran (pemkot). Usulan Bagian Perlengkapan ada
yang mencolok, ada yang di-drop, dan ada yang digeser-geser sendiri,"
tandas Ketua Banggar sekaligus Ketua DPRD Wishnu Wardhana seusai rapat,
kemarin.

Wisnu menambahkan banyak item pengadaan Bagian
Perlengkapan yang tidak sesuai. Usulan melalui rencana kerja dan
anggaran (RKA) APBD, dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), maupun dokumen
pelaksanaan perubahan anggaran (DPPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), yakni Bagian Perlengkapan saling tumpang tindih.

"Antara
RKA, DPA dan DPPA tidak sesuai, terdapat selisih antara jumlah usulan
dengan jumlah pembelanjaan," ungkap mantan Ketua DPC Partai Demokrat
Surabaya ini.

Item pengadaan yang sudah terbeli, kata Wishnu,
menjadi tanggung jawab SKPD, dalam hal ini Bagian Perlengkapan. "Ini
jelas menyimpang dari APBD. RKA merupakan embrio APBD," tandas Wishnu.

Sementara
mobil-mobil yang sudah dibeli tanpa melalui pengusulan anggaran dinilai
Wishnu sebagai tindakkan tidak sportif dan patut disesalkan. Harusnya
pemkot mengutamakan anggaran buat program yang langsung menyentuh warga miskin (gakin). "Utang Pemkot ke RSU dr Soetomo terkait Jamkesda saja belum terbayar. Nilainya Rp52 miliar," ingatnya.

Wishnu
menegaskan pencoretan atas usulan mobil dinas itu sudah final dan
Selasa (29/11) hari ini akan disahkan melalui rapat paripurna pengesahan
P-APBD 2011. "Besok (hari ini) rapat paripurna. Ada dan tak ada pemkot,
tetap akan diagendakan. Ini
domain dewan," tandas Wishnu.

Sekadar diketahui, dalam rapat
kemarin dihadiri seluruh anggota Banggar dan Banmus. Sedangkan dari
pemkot ada ketua tim anggaran eksekutif Sukamto Hadi (Sekkota), Asisten
II Bidang Perekonomian Pembangunan Sekkota Muhlas Udin, Kepala Bappeko
Hendro Gunawan, Kabag Perlengkapan Noer Oemarijati, dan lainnya.
Sayangnya, saat mereka dikonfirmasi, tak satu pun yang mau bicara.

"Aku
emoh komentar," ucap Noer Oemarijati. Hal senada juga dikatakan Muhlas
Udin. "Sik yo..koordinasi maneh (akan koordinasi lagi, red), cetus
Muhlas.

Namun sebelumnya, Noer Oemarijati menyatakan pemberian
pinjam pakai mobdin untuk sejumlah instansi Muspida sudah sesuai
prosedur. Semisal dengan ada dasar hukumnya, yakni PP no 6 Tahun 2006,
PP no 38 tahun 2008 dan Permendagri no 17 tahun 2007 tentang pengelolaan
barang milik daerah.

"Dan pemkot juga tidak asal memberi pinjam pakai. Melainkan adanya pengajuan pinjam pakai
dari sejumlah instansi yang bersangkutan," ujar Noer Oemarijati dikonfirmasi, sehari sebelum rapat Banggar. n ton/ov

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829625f4c385eb3537d62866374c1c0aa04f8

Kasus Mobdin : Gubernur Jatim Salahkan Walikota Surabaya

SURABAYA-
Upaya Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang terus melobi DPRD Surabaya
agar mendukung anggaran pembelian mobil dinas (Mobdin) Muspida senilai
Rp 9 miliar, tak membuat kalangan dewan bergeming. DPRD tetap akan
mencoret anggaran itu dalam rapat pengesahan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2011.
Menariknya, sikap dewan ini mendapat dukungan dari Gubernur Jawa Timur
Soekarwo.

Gubernur menegaskan semua jenis belanja yang dilakukan pemerintah daerah harus sesuai APBD yang telah ditetapkan. Ketentuan itu
sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. "Kalau tidak ada di APBD, tidak boleh. Itu penjelasan saya," tegas
Soekarwo saat menghadiri Bhakti Sosial PDGI (Persatuan Dokter Gigi
Indonesia) di Alun-alun Pacitan, Minggu (27/11).

Seperti
diberitakan, Bagian Perlengkapan melalui PAK 2011 menganggarkan
pengadaan mobil, alat berat dan alat kantor. Jumlahnya terbilang aneh.
Dari semula Rp27 miliar, tiba-tiba meningkat menjadi Rp36 miliar.
Selisih anggaran Rp9 miliar itu akhirnya dipermasalahkan oleh dewan,
karena diduga untuk membeli mobil operasional untuk Muspida Surabaya
sebanyak 33 unit. Rinciannya, 28 unit mobil jenis Isuzu Panther
diserahkan kepada Polrestabes Surabaya untuk kendaraan operasional di
tingkat Polsek. Sedangkan lima unit kendaraan jenis Pajero Sport untuk operasional pimpinan institusi
samping yang termasuk dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan
kepada institusi samping dengan status pinjam pakai.

Namun, pengadaan mobil itu dinilai tidak beres, karena
dibeli sebelum PAK 2011 disahkan. Karena itu pula, Walikota melalui dua
suratnya 900/5801/436.1.2/2011 dan 900/5811/426.3.1/2011 agar DPRD
memberi dukungan pengadaan mobil tersebut.

Sementara sikap dewan
menolak pengadaan mobdin itu sepertinya sudah bulat. Badan Musyawarah
(Banmus) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Surabaya, Senin (28/11) hari
ini, rencananya mengundang Tim Anggaran Pemkot untuk menanyakan kembali
alokasi pengadaan kendaraan operasional tersebut. Jika pemkot dinilai
tidak bisa memberikan jawaban memuaskan, DPRD hampir pasti mendelete
(menghapus) pengajuan anggaran pengadaan kendaraan operasional.

"Kita
tunggu besok (hari ini, red). Kita akan bertemu lagi dengan tim
anggaran pemkot. Jika tetap tidak bisa memberikan penjelasan ke kami,
pasti akan kita coret," kata Ketua Banmus dan Banggar Wishnu Wardhana
(WW) dihubungi Surabaya Pagi, sore
kemarin.

Mantan Ketua DPC Partai Demokrat Kota Surabaya ini
menambahkan, berdasarkan rapat terakhir Banggar di DPRD, pihaknya tetap
memandang Pemkot tidak bisa memberikan penjelasan atas pengajuan
anggaran lewat PAK. WW menyatakan pemkot bersikukuh menyatakan tidak ada
penambahan anggaran, sedangkan Pemkot bersikukuh ada tambahan dana
hampir Rp 9 miliar itu. Tepatnya, Rp 8.807.828.127.

Dalam rapat
tersebut, lanjut Wisnu, Banggar tetap menilai anggaran Rp 8,8 miliar
tidak jelas. "Karena itu kita akan memastikan lagi dalam rapat besok
(hari ini). Jika tidak ada penjelasan, kita akan drop usulan pemkot yang
dimasukkan dalam Bagian Perlengkapan," tegas dia.

Pemkot sendiri
dalam surat wali kota nomor 900/5811/436.3.1/2011 menyatakan anggaran
di Bagian Perlengkapan adalah Rp 72,126 miliar untuk belanja langsung
dan Rp 4,665 miliar untuk belanja tidak langsung. Anggaran itu sudah
direalisasikan Rp 40,176 miliar yang terdiri Rp 36,758 untuk
belanja langsung dan Rp 3,417 miliar untuk belanja tidak langsung.

Sedangkan
versi DPRD, menyatakan anggaran itu Rp 27 miliar. "Kok bisa jadi Rp 36
miliar, ini darimana?" ungkap wisnu heran. Dasar dia adalah APBD 2011.
Kata WW, jika tidak ada penambahan maka semestinya antara data PAK yang
diajukan pemkot sama persis dengan APBD 2011. "Wong ini ada kenaikan Rp
8,8 miliar kok," cetusnya kemudian.

Ia mengindikasikan kenaikan
itu untuk membiayai pembelian kendaraan 28 mobil Panther dan Pajero
Sport lima unit. Menurut WW, hal tersebut tidak dibenarkan. "Kalau
terjadi pergeseran, harus melalui perubahan anggaran dulu. Tidak bisa
membeli dulu, kemudian anggarannya dimasukkan belakangan," tambahnya.

Anggap Sesuai Prosedur

Tudingan
dewan terkait adanya permainan pada perubahan anggaran keuangan (PAK)
untuk membiayai pembelian mobil dinas (mobdin) yang dipinjam pakaikan ke
sejumlah instansi
membuat sejumlah pejabat pemkot sepakat untuk irit bicara. Berdalih
masih ada pasien, Asistem II Bidang Administrasi Pembangunan Mukhlas
Udin tak ingin memberikan banyak komentar. Melalui pesan singkatnya, ia
mengaku belum bisa berkomentar banyak terkait persoalan tersebut. "Maaf
saya masih ada pasien. Komentarnya besok saja," ujar pejabat yang juga
seorang dokter ini.

Senada, Kepala Bagian Perlengkapan Noer
Oemarijati bersikukuh enggan berkomentar banyak terkait semua hal yang
menyangkut mobil dinas (Mobdin). Ia hanya mengatakan jika pemberian
pinjam pakai mobdin untuk sejumlah instansi muspida sudah sesuai
prosedur. Semisal dengan ada dasar hukumnya, yakni PP no 6 Tahun 2006,
PP no 38 tahun 2008 dan Permendagri no 17 tahun 2007 tentang pengelolaan
barang milik daerah.

"Dan pemkot juga tidak asal memberi pinjam
pakai. Melainkan adanya pengajuan pinjam pakai dari sejumlah instansi
yang bersangkutan," ujar Noer Oemarijati
dikonfirmasi terpisah. n ton/arf/ov

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296210a074d916e4ba1f98e65cf7e68a0b18

Walikota Surabaya Ngotot Mobdin Rp 9 M, akan Diadukan ke BPK dan KPK oleh DPRD Surabaya

SURABAYA-
DPRD Surabaya jelas-jelas menolak pengadaan 59 unit mobil jenis Isuzu
Panther dan mobil Pajero Sport senilai Rp 9 miliar. Namun, Walikota
Surabaya Tri Rismaharini tetap ngotot agar dewan tetap menyetujui
penambahan anggaran tersebut melalui PAK (Perubahan Anggaran Keuangan)
2011. Sikap walikota itu terungkap dari dua surat yang ditujukan ke
Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana.

Ada beberapa surat dengan
tanggal yang sama, antara lain no 900/5801/436.1.2/2011 dengan isi
permohonan dukungan anggaran untuk pengadaan 5 unit kendaraan
operasional untuk Muspida kota Surabaya dan dana hibah untuk Polrestabes
Surabaya yang besarnya Rp
3.250.483.801.

Surat kedua bernomer 900/5811/426.3.1/2011 dengan isi permohonan agar
anggaran untuk bagian perlengkapan kota Surabaya yang terpotong sebesar
Rp 8.807.828.127,- atas keputusan pimpinan rapat badan anggaran
dikembalikan sebagaimana yang diajukan.

Menanggapi surat walikota
tersebut, Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana tidak bergeming. Bahkan
dengan lantang mantan ketua DPC Partai Demokrat Kota Surabaya ini
mengaku tetap tidak akan menyetujui dan mengabulkan surat walikota
tersebut. "Bagaimana mungkin saya mau menyetujui, wong tahapan dan
mekanismenya tidak dilalui sesuai aturan, " ujar Wishnu, Jumat (25/11).

Wisnu
menambahkan, jika pembelian tersebut dilakukan sesuai dengan mekanisme
yang benar, maka pihaknya akan menyetujui. Namun karena dari awal
mekanisme yang dilakukan Pemkot tidak benar, maka pihaknya tidak mau
mengambil risiko hukum di kemudian hari.

Masih menurut Wisnu,
dalam waktu dekat, pihaknya akan
melaporkan pelanggaran ini ke Badan Pemeriksa Keungan (BPK), karena
pengadaan mobil tersebut menabrak rambu aturan yang ada. "Kalau soal
pidananya bukan wewenang kita ( dewan-red). Kkita ingin mencari tahu ada
kerugian negara atau tidak, " paparnya.

Ketika disinggung apakah
dalam paripurna pengesahan PAK nantinya anggaran tersebut tetap
dicoret, Wisnu mengatakan, secara otomatis DPRD akan mencoret anggaran
tersebut dalam sidang paripurna pengesahan PAK. "Sidang akan kita gelar
tanggal 29 November mendatang, " tegasnya.

Sementara
itu, Ketua Fraksi PDIP DPRD Surabaya Saifudin Juhri mengatakan,
ketidakmampuan Kepala Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya Noer Oemariati
dalam menjawab pertanyaan sejumlah anggota dewan perihal penambahan
anggaran Rp 9 miliar membuat pihaknya ingin menanyakan langsung perihal
tersebut kepada walikota Surabaya.

Ketika disinggung apakah hal
itu berarti DPRD akan menggunakan haknya untuk melakukan
interpelasi, anggota Komisi C ini mengatakan, interpelasi (hak bertanya
) merupakan hak melekat yang dimiliki oleh setiap anggota DPRD
Surabaya. "Opsi itu bukan sesuatu yang haram untuk dilakukan, "
pungkasnya.( Ton)

Seperti diberitakan, Bagian Perlengkapan
melalui PAK 2011 menganggarkan pengadaan mobil, alat berat dan alat
kantor. Jumlahnya terbilang aneh. Dari semula Rp27 miliar, tiba-tiba
meningkat menjadi Rp36 miliar. Selisih anggaran Rp9 miliar itu akhirnya
dipermasalahkan oleh dewan, karena diduga untuk membeli mobil
operasional untuk Muspida Surabaya sebanyak 33 unit. Rinciannya, 28 unit
mobil jenis Isuzu Panther diserahkan kepada Polrestabes Surabaya untuk
kendaraan operasional di tingkat Polsek. Sedangkan lima unit kendaraan
jenis Pajero untuk operasional pimpinan institusi samping yang termasuk
dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan kepada institusi
samping dengan status pinjam pakai. n
ton

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829622ed2fea1de3ad82286cc3d4a337c9023

Banser ANSOR Surabaya : Walikota Surabaya Layak Dipidanakan terkait  Pembelian 59 Mobil Senilai Rp 9 M

SURABAYA
– Pengadaan 59 unit mobil jenis Isuzu Panther dan mobil Pajero Sport
oleh Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya senilai Rp 9 miliar, bakal
berujung ke masalah hukum. Proses pengadaannya dinilai menabrak aturan
yang ada. Walikota Tri Rismaharini dan Kabag Perlengkapan Noer Oemariati
pun bisa dipidanakan.

Tak heran jika pengadaan puluhan mobil yang dipinjampakaikan ke Polrestabes dan seluruh Camat di lingkungan Pemkot Surabaya itu bukan saja menjadi perhatian sekaligus memantik reaksi kalangan DPRD.
Beberapa elemen masyarakat tak ketinggalan menyoroti dan terus memantau
perkembangan masalah yang kini membuat geger Kota Pahlawan.

Sekretaris

Satkorcab Banser Surabaya Hasyim Asy'ari mengatakan aparat hukum skala
Surabaya maupun Jawa Timur diminta segera menindaklanjuti masalah ini.
"Tengara pelanggaran hukum sudah di depan mata. Mobil dibeli dulu dan anggaran baru diajukan melalui PAK (Perubahan
Anggaran Keuangan) APBD 2011. Apa itu dibenarkan?," ungkap Hasyim
Asy'ari saat dihubungi Surabaya Pagi, Kamis (24/11).

Indikasi kuat lain pengadaan tak sesuai prosedur berupa keberadaan surat Walikota Tri Rismaharini, tertanggal 22 November, yang ditujukan kepada Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana. Perihal dua
surat yang juga diterima 22 November itu tentang permohonan dukungan
anggaran operasional untuk Polrestabes dan Muspida.

"Ini kan
aneh, mobil dibeli dulu tapi anggaran baru diajukan, dan bahkan pihak
pemkot sampai minta dukungan dari dewan karena khawatir pengajuan
anggaran tidak disetujui," ujar alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Menurut
Hasyim, yang harus
menjadi fokus perhatian adalah dari mana dan dengan anggaran apa Bagian
Perlengkapan membeli puluhan mobil tersebut. Anggaran apa yang
dijadikan sebagai dana talangan pengadaan. "Memang pemberian pinjam
pakai kendaraan ke instansi samping itu perlu untuk mendukung pengamanan
kota demi keberhasilan pemerintahan di Surabaya. Tapi kalau itu ada
tujuan yang lain dan diberikan pada saat yang kurang tepat, maka
sebaiknya Pemkot memberi penjelasan ke masyarakat," harap dia.

Seperti
diberitakan, Bagian Perlengkapan melalui PAK 2011 menganggarkan
pengadaan mobil, alat berat dan alat kantor. Jumlahnya terbilang aneh.
Dari semula Rp27 miliar, tiba-tiba meningkat menjadi Rp36 miliar.
Selisih anggaran Rp9 miliar itu akhirnya dipermasalahkan oleh dewan,
karena diduga untuk membeli mobil operasional untuk Muspida Surabaya
sebanyak 33 unit. Rinciannya, 28 unit mobil jenis Isuzu Panther
diserahkan kepada Polrestabes Surabaya untuk kendaraan operasional di
tingkat Polsek. Sedangkan lima unit kendaraan jenis Pajero untuk operasional pimpinan institusi
samping yang termasuk dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan
kepada institusi samping dengan status pinjam pakai.

"Jangan sampai aparat hukum tidak memproses masalah ini lantaran sudah menerima kendaraan, kendati hanya dipinjampakaikan," pinta Hasyim.

Ketua
DPRD Wisnu Wardhana menegaskan yang dipersolkan dewan adalah mekanisme
pembelian kendaraan tersebut. Sebab di dalam APBD 2011 yang telah
disahkan tidak pernah dicantumkan, namun pemkot tetap saja membeli.
"Dewan tidak menyetujui karena jika kita oke maka kita harus
mempertanggungjawabkan konsekuensinya," kata Wisnu.

Dengan tanpa
ada persetujuan dewan, Wisnu menyatakan segala perbuatan yang telah
diambil Pemkot tentunya akan menimbulkan konsekuensi. Ia mencontohkan
dalam dokumen disebutkan belanja station wagon 1500 cc tetapi
kenyataannya kendaraan yang dibeli 2500 cc.
Perubahan itu, kata Wisnu, tentu juga mempengaruhi harga.

"Melanggar
aturan itu ada konskekuensinya. Jangan sampai karena kelalaian harus
menanggung konsekuensi. Jadi jangan nabrak aturan. Mereka (pejabat
Pemkot) mestinya kan sudah pengalaman," cetus Wisnu.

Penunjukan Langsung

Sementara
itu, Masyarakat Pemantau Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan
Pemerintah ( MP3KP ) Eusbius Purwadi menuding bahwa pengadaan barang
berupa mobil jenis JEEP 2000 cc oleh Bagian Perlengkapan kota Surabaya
terindikasi kuat melanggar UU Perbendaharaan no 1 Tahun 2004 dan
Keuangan Negara no 17 Tahun 2003. Bahkan, pengadaan itu mengarah ke penyimpangan yang menimbulkan potensi kerugian negara.

Ia
menjelaskan proyek pengadaan barang mobil jenis JEEP 2000 CC
menggunakan sistem penunjukan langsung (PL) dengan pelaksana PT
Mayangsari Berlian Motor (MBM) beralamat di Jl Gajah Mada no 224 A
Jember. Anehnya, hasil penelusuran di lapangan, alamat yang dimaksud
sebagai tempat PT Mayangsari Berlian Motor di kota Jember bukan dealer
mobil. Tetapi, tempat bengkel mobil jenis Mitsubisi.

Jika mengacu
Perpres 54 tahun 2010 pasal 13, maka Pemkot Surabaya telah menabrak
aturan itu. Sebab, di dalamnya jelas tertulis bahwa pejabat pembuat
komitmen dilarang mengadakankan ikatan perjanjian atau menanda tangani
kontrak dengan penyedia barang dan jasa, apabila belum tersedia anggaran
atau tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkan
dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai
dari APBN atau APBD.

"Pemkot Surabaya tidak memperhatikan
kaidah-kaidah yang menyangkut keuangan negara, terkait kasus pemebelian
Jeep oleh bagian perlengkapan ini," jelas Purwadi.

Dari kasus
ini, selain Noer Oemiyati selaku Kabag Perlengkapan kota Surabaya,
sejumlah nama lain yang terlibat proses penunjukan langsung
pengadaan mobil jenis Jeep adalah Denny Irfandi, Robben Rico, Syamsul
Hadi, Moh Reifkie Arijanto, dan Krisna Dwi Hariyadi. Mereka turut
bertanda tangan dalam surat keputusannya.

Sementara itu, Kabag
Perlengkapan Noer Oemariati ketika dihubungi melalui telepon selulernya
terdengar nada sambung namun tidak diangkat. Ketika dikonfirmasi via
SMS, hingga tadi malam tak ada jawaban. Isi SMS, "Bu saya dari Surabaya
Pagi mau konfirmasi perihal pengadaan mobil jenis panther dan pajero
sport." Padahal, SMS tersebut dengan laporan terkirim.

Berdasarkan
pantauan Surabaya Pagi, mobil jenis Isuzu Panther warna hitam yang
dipakai oleh semua camat terlihat memadati gedung DPRD, Rabu (23/11)
lalu, ketika ada acara sosialisasi 3 Perda yang dilakukan Badan
Legislasi DPRD Surabaya. n ton

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962537b99a2a04f4a08186474dcf006b260

Walikota Surabaya Harus Bertanggung Jawab, Soal Mark-Up Anggaran Mobil yang Mestinya Rp 27 M Diajukan Rp 36 M

Kamis, 24 November 2011

SURABAYA-
Kebijakan Walikota Surabya Tri Rismaharini kembali menuai kontroversi.
Pengadaan mobil yang anggarannya tiba-tiba membengkak dari Rp 27 miliar
menjadi Rp 36 miliar, dinilai sarat penyelewengan. Bahkan, diindikasi
adanya tindak pidana korupsi. Pasalnya, selain adanya perubahan
peruntukan, pengadaan mobil yang diajukan melalui Perubahan Anggaran
Keuangan (PAK) 2011 tidak melalui prosedur yang semestinya. Belum
disetujui oleh DPRD Surabaya, tapi Pemkot sudah membeli mobil-mobil
tersebut.

"Kami sudah 2,5 tahun duduk di dewan. Jadi tidak bisa
dibodohi lagi dengan cara-cara Pemkot yang menyusupkan anggaran," ungkap
anggota Komisi
C DPRD Surabaya Agus Santoso dikonfirmasi, Rabu (23/11). "Ini awal
penyelewengan," tandas politisi Partai Demokrat itu.

Agus
menjelaskan penyusupan anggaran oleh Bagian Perlengkapan melalui PAK
2011. Di dalam penganggaran mobil, alat berat dan alat kantor meningkat
dari Rp27 miliar menjadi Rp36 miliar. Selisih anggaran Rp9 miliar itu
akhirnya dipermasalahkan oleh dewan, karena diduga digunakan Pemkot
untuk membeli mobil operasional untuk Muspida Surabaya sebanyak 33 unit.
Rinciannya, 28 unit mobil jenis Isuzu Panther diserahkan kepada
Polrestabes Surabaya untuk kendaraan operasional di tingkat Polsek.
Sedangkan lima unit kendaraan jenis Pajero untuk operasional pimpinan institusi samping
yang termasuk dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan kepada
institusi samping dengan status pinjam pakai.

"Tapi anehnya
melalui usulan sarana prasarana 2012, Bagian Perlengkapan kembali
mengajukan lima unit Pajero. Ini apa-apaan? Kami
tidak bisa dibodohi lagi. Ini yang membuat Pak WW (Ketua DPRD Wishnu
Wardhana) akhirnya memutuskan mencoret anggaran Rp9 miliar itu karena
dinilai tidak jelas," ungkap Agus.

Hal sama diungkapkan anggota
Badan Anggaran (Banggar) Syaifudin Zuhri. Ia mengungkapkan kesepakatan
sebelumnya antara Pemkot dengan Banggar disebutkan tambahan anggaran
APBD 2011 melalui PAK adalah Rp27 miliar. Namun, lanjut Syaifudin, dalam
naskah PAK yang akan ditetapkan Selasa lalu, Pemkot menuliskan Rp36
miliar, selisih Rp9 miliar dari kesepakatan semula. Atas hal ini, lanjut
ketua Fraksi PDIP ini, Banggar memanggil jajaran Pemkot untuk rapat
banggar sebelum rapat paripurna.

"Dalam rapat tersebut Pemkot
tetap bersikukuh Rp36 miliar, namun tidak bisa menjelaskan penggunaanya.
Pihak legislatif sendiri tetap pada keputusan awal pada angka Rp27
miliar mengingat tidak ada waktu lagi untuk melakukan pembahsan ulang,"
papar Syaifudin.

Karena tidak ada
kesepakatan, tambahnya, Pemkot akhirnya melakukan walk out dari rapat
dengan alasan untuk berkoordinasi. Akibat tidak adanya penjelasan dari
Pemkot mengenai tambahan anggaran Rp 9 miliar, banyak yang
menghubungkannya dengan masalah pembelian kendaraan operasional angkutan
darat yang dinilai legislatif melanggar aturan.

Kasus pembelian
kendaraan ini, lanjut Syaifudin, memang mencuat bersamaan dengan
kengototan Pemkot untuk menambah anggaran PAK 2011. Jika dihitung
menjadi Rp36 miliar. 'Memang kalau dihitung Pemkot telah melakukang
pembelian kendaraan baru dengan nilai hampir Rp9 miliar," tambahnya.

Memang Pemkot sebelumnya diketahui telah melakukan pembelian kendaraan operasional
yang tidak sesuai Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) 2011 dan tanpa melalui PAK. Tercatat ada tiga item rencana pembelian kendaraan operasional
yang dipertanyakan Banggar, yaitu 28 unit kendaraan kelas Panther yang sudah dipergunakan untuk pinjam sewa dengan Polrestabes
Surabaya, 31 kendaraan jenis panther yang digunakan camat dan 5 unit
kendaraan kelas Jeep Pajero.

Tiga item pembelian kendaraan
operasional itu disebut menyalahi rencana kegiatan Anggaran 2011,
bahkan ada yang sebelumnya tidak dianggarkan sama sekali namun diajukan
dalam PAK 2011. Dalam RKA 2011 dianggarkan pembelian pengadaan Alat
Angkutan Darat yang terdiri dari 4 unit Jeep 2000cc senilai Rp1,359
miliar, 31 unit station wagon 1500cc senilai Rp5,413 miliar.

Namun
dalam laporan pembelian muncul pembelian yang berbeda dari RKA 2011,
yaitu pembelian Jeep 2000cc sebanyak lima unit senilai 1,699 miliar,
station wagon 2500cc sebanyak 31 unit seharga Rp6,820 miliar, dan
pembelian 28 station wagon 2500cc rotary seharga Rp6,314 miliar. Dalam
laporan kepada Banggar kemarin Pemkot menyebut 31 unit station wagon
2500 cc dipergunakan untuk kendaraan operasional camat,
sedangkan lima Jeep 2000cc untuk operasional Pemkot.

Sementara
penggunaan 28 unit station wagon 2500cc tidak dijelaskan, namun sebagian
legislaatif menyebut kendaraan ini untuk dipinjampakaikan pada
Polrestabes Surabaya sejak empat bulan lalu.

Diindikasi Korupsi

Dugaan
korupsi menyeruak dalam pengadaan mobil operasional buat camat, Polsek
dan unsur Muspida. Pasalnya pembelian tersebut mengalami cacat prosedur
karena tanpa persetujuan DPRD Surabaya. Pengamat hukum Unair I Wayan
Titib mengatakan, setiap penggunaan anggaran harus mendapatkan
persetujuan dari DPRD. Sebab, UU Pemerintah Daerah mengharuskan hal
tersebut. "Kalau tidak ada persetujuan DPRD ya cacat prosedur, patut
diduga ada unsur korupsi di situ," ungkap Wayan dihubungi secara
terpisah.

Wayan menjelaskan dalam nomenklatur anggaran sudah
tertuang jelas jenis mobilnya, lalu kemudian diubah di tengah
jalan tanpa persetujuan DPRD. Maka sudah kelihatan jelas unsur
perubahan peruntukan. Lantaran uang tersebut bersumber dari APBD, maka
patut diduga ada kerugian Negara. "Kan beda harga antara yang 1500 CC dengan yang 2500 CC, sementara
nomenklatur anggarannya berbunyi 1500 CC. Jangan-jangan ada konspirasi
antara pihak Pemkot selaku kuasa pengguna anggaran dengan pengusaha yang memenangkan tender tersebut," terang Wayan.

Masih menurut Wayan, tindak pidana korupsi terbesar se Indonesia memang terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Oleh karena itu
lembaga penegak hukum harus melakukan pengawasan ekstra keras terhadap
hal ini. "Masyarakat juga harus melakukan pemantauan," paparnya.

Ketika
disinggung siapa pihak yang paling bertanggung jawab, Wayan mengatakan,
semua tanggungjawab pengadaan ada pada kepala biro perlengkapan Pemkot
Surabaya,. Sebab anak buah hanya menjalankan perintah atasan saja.
"Sistem birokrasi kita hanya
menjalankan perintah atasan saja, jadi yang bertanggungjawab ya pejabat
yang paling tinggi di SKPD tersebut, " terangnya. Namun, lantaran hal
tersebut diketahui Walikota, maka Risma juga harus bertanggung jawab.

Oleh sebab itu, lanjut Wayan, dirinya meminta kepada Kejati dan Polda Jatim untuk turun melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. "Kalau diam saja ya patut diduga ada apa-apa," pungkasnya. n ton

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962ba5356a3581751d821ca221f5246e680

Pinjam Pakai Mobil dengan Polrestabes Surabaya, Pemkot Surabaya Tabrak Aturan Berlapis

Surabaya, (BM) – Berdalih membantu kepolisian untuk operasinal
pengamanan kota sebagai kebuthan yang diprioritaskan, Pemerintah Kota
Surabaya rela melanggar sejumlah aturan, di antaranya Permendagri 17
tahun 2007 dan PP 68 Tahun 2008. Namun Pemkot kekeuh bahwa kebijakan
pinjam pakai 28 unit mobil Station Wagon Isuzu Panther dari kepada
Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) dan Polres Tanjung Surabaya
tak melanggar hukum.

Satu regulasi –di antara beberapa aturan
lain- yang nampak terang telah dilanggar pihak pemkot dalam kerjasama
ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Regulasi ini merupakan
turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Pemkot telah mengabaikan
regulasi yang tertuang dalam Pasal 35 butir 3 (Bagian Empat)
Permendagri. Pasal tersebut berbunyi, pinjam pakai boleh dilakukan
selama tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara tegas
Permendagri malah mensyaratkan bahwa barang milik daerah yang akan
dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes) tersebut sementara
waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

Namun transaksi
kerjasama Pemkot yang meminjam pakaikan 28 mobil panther itu kepada
polrestabes dan polres KP3 telah mengesampingkan kebutuhan operasional
kinerja instansinya sendiri. Sebab, sebelum kerjasama itu dilakukan,
salah satu instansi di jajaran pemkot, Dinas PU Bina Marga dan
Pematusan kekurangan mobil dinas untuk operasional kerja kepala bidang
dan seksi. Bahkan, dinas yang dipimpin Erna Purnawati itu harus rela
menyewa mobil rental dengan harga Rp 4,5 juta untuk satu unitnya.

"Kami terpaksa rental. Bagaimana mereka bisa bekerja dengan baik kalau tidak ada mobil operasional," ujar Erna, Selasa (12/07).

Ironisnya lagi, saat itu Erna menyatakan jajarannya tidak mendapat
jatah mobdin kala Bagian Perlengakapn Pemkot mengadakan lelang mobil
pada 25 Januari 2010 lalu. Begitu pula keinginan untuk membeli sendiri
juga tidak bisa dilakukan karena Erna mengakui tidak ada anggaran untuk
itu. "Kalau tidak ada anggarannya, bagaimana kita bisa memberikan
mobil dinas," sambungnya.

Tak hanya dua regulasi itu, pakar
hukum tata negara Universitas Surabaya (Ubaya) Eko Sugitariu menambah
lagi singgungan kasus kerjasama ilegal ini dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kendati secara rinci, Guru Besar Hukum
Ubaya itu tidak menjelaskan pasal mana yang diduga telah dilanggar
pemkot. "Yang jelas ada disinggung di situ tentang anggaran dan aset
Negara atau daerah. Kasus ini berpotensi melanggar salah satu pasal di
dalamnya," terang Eko yakin.

Pendapat lebih tegas dilontarkan
pakar hukum pidana Universitas Airlangga I Wayan Titip. Dia yakin jika
pinjam pakai mobil Pemkot kepada dua institusi kepolisian itu sudah
tergoong tindak gratifikasi. Menurut Wayan, pasal gratifikasi ini bisa
dikenakan kepada pemkot jika tidak membatalkan perjanjian pinjam pakai
itu.

"Perjanjian ini harus dibatalkan. Karena awalnya
melanggar Permendagri. Namun jika sudah masuk proses hukum, sangkaan
gratifikasi bisa juga dikenakan dalam kasus ini," tukas Wayan.

Secara rinci, Wayan menyebut sangkaan gratifikasi itu bisa mengacu pada
UU Tipikor No 20 Tahun 2001, pasal 5,6,12 huruf b dengan ancaman
minimal 4 tahun maksimal 20 tahun.

Apalagi, kata Wayan, proses
kerjasama ini diduga kuat tanpa sepengetahuan DPRD Surabaya. Padahal
apapun kebijakan kerjasama menyangkut aset Negara/daerah harus ata
spersetujuan dewan.

Benar saja, Komisi A DPRD Surabaya yang
membidangi maslaah hukum serentak mengaku tak tahu ketika dikonfirmasi
terkait hal ini. Ketua Komisi A Armudji malah melemparkan pertanyaan
ini ke anggotanya (komisi A). "Saya gak tahu masalah itu mas, coba
tanya saja pada pak Hafid (Hafid Su'aidi) dan bu lut, (Luthfiyah),"
kilah Armudji menghindari pertanyaan wartawan Koran ini.

Karena bertumpuknya dugaan aturan yang dilanggar, kasus ini langsung
mendapat perhatian khusus dari Kejaksaan Tinggi Jati. Seorang petinggi
Kejati yang menolak disebut namanya itu menyatakan potensi pelanggaran
dalam kerjasama ini sangat terbuka. Sebab, menurtnya, perjanjian itu
cenderung dipaksakan hanya dengan dalih yang lazim, yakni menunjang
keamanan kota.

Padahal bagaimanapun, keamanan suatu daerah
sudah menjadi tanggung jawab aparat kepolisian setempat, tak
terkecuali di Surabaya. Tanpa bantuan pinjam pakai mobil dari pemkot
yang mengabaikan kebutuhan internal instansi sendiri, lanjut sumber
ini, kepolisian tetap bertanggung jawab penuh atas keamanan kota.

Karena itu, salah seorang petinggi Kejati ini masih menyelidiki lebih
jauh potensi pelanggaran yang dilakukan kedua pihak dalam kerjasama ini.
"Indikasi pelanggaran-pelanggaran yang sudah ada akan kami selidiki
lebih dalam lagi," ungkapnya.

Di bagian lain, Kabag Humas Nanis
Chairani sendiri tak berani menjelaskan panjang lebar. Terkait dugaan
melanggar aturan tersebut, mantan Camat Krembangan itu menyatakan
bahwa kebijakan tersebut sudah dipertimbangkan matang, termasuk soal
dasar hukumnya.

Lebih jelasnya, lagi-lagi Nanis tak berani
menjawab. "Lebih jelas soal hukum, langsung tanyakan ke Bu Walikota
(Tri Rismaharini) dan bagian perlengkapan yang lebih memahami
prosesnya," ungkapnya.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan,
Walikota Tri Rismaharini maupun Kabag Perlengkapan Noer Oemarajati
belum bisa memberikan penjelasan terkait persoalan ini.

Meski
sebelumnya, Oemarajati pernah mengatakan, penyerahan 28 Unit Kendaraan
operasional Pemkot kepada Polrestabes Surabaya dan Polres Pelabuhan
Tanjung Perak dalam rangka pinjam pakai selama dua tahun. Saat itu,
pihaknya juga mengakui bahwa peminjaman kendaraan itu masih bisa
diperpanjang. Menurut Oemarajati, pinjam pakai tersebut adalah bagian
dari upaya pemkot meningkatkan pengamanan kota. (bmb/aji/arw/hab)

http://kabarmetro.com/read/100/21/09...-berlapis.html  

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
______________________________________________________________________
http://www.numesir.org untuk informasi tentang Cabang Istimewa NU Mesir dan KMNU2000, atau info-info seputar Cairo dan Timur Tengah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kami berharap Anda selalu bersama kami, tapi jika karena suatu hal Anda harus meninggalkan forum ini silakan kirim email ke:
kmnu2000-unsubscribe@yahoogroups.com
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar