Jumat, 23 Desember 2011

[PERS-Indonesia] Tragedi Mesuji Terulang di Sumbawa

 

2.12.2011 14:12

Tragedi Mesuji Terulang di Sumbawa

(foto:dok/ist)

JAKARTA - Aksi kekerasan terhadap petani kembali terjadi. Kali ini menimpa ratusan petani di Kampung Pekasa, Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Puncaknya terjadi Rabu (21/12) sore. Polisi, TNI, serta polisi hutan mengintimidasi petani dengan melepaskan tembakan berkali-kali. Petugas juga menangkap kepala adat setempat. Hingga Kamis (22/12) pagi ini ratusan warga termasuk petani lari ke hutan.

Sekretaris Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumbawa Febrian Anindhita yang dihubungi SH, Kamis pagi ini mengatakan, hingga pagi ini, masyarakat di sini belum berani kembali ke desanya.

Mereka lari ke hutan dan berpencar setelah diintimidasi dengan senjata. Suara peluru melepaskan tembakan berkali-kali juga membuat warga syok dan ketakutan. Intimidasi itu disebut-sebut berdasarkan perintah Dinas Kehutanan NTB.

Febrian menuturkan, dalam peristiwa yang terjadi Rabu sore sekitar pukul 15.00 Wita hingga malam memang tidak ada korban jiwa. Namun, kepala adat Kampung Pekasa ditangkap polisi untuk dimintai keterangan. Hingga kini yang bersangkutan belum kembali ke rumah.

"Mereka (Tim Gabungan polisi, TNI, dan polisi hutan) membawa kepala adat kami, setelah sebelumnya melakukan intimidasi," imbuh Febri mengutip pernyataan warga.

Sebelumnya, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan menyebutkan, kasus Mesuji terulang di Kampung Pekasa, Kabupaten Sumbawa, NTB. Kampung ini merupakan wilayah adat sejak ratusan tahun lalu. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan pada 1980-an, wilayah ini ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung.

Mengenai kejadian itu, dia menjelaskan, sore itu Dinas Kehutanan NTB datang mengerahkan aparat Brimob dan polisi hutan menggusur Kampung Pekasa dengan cara membakar seluruh rumah dan menangkap warganya. Rumah yang dibakar berjumlah 50.

"Peristiwa terjadi Rabu sekitar pukul 15.00 waktu setempat sampai malam hari. Warga ketakutan sehingga banyak yang memilih masuk hutan," katanya.

Ia mengatakan, kasus ini merupakan contoh bahwa hukum Indonesia tidak berpihak kepada masyarakat adat. Kasus ini harus diinvestigasi Komnas HAM sebagai pihak independen.

Kawasan adat ini sudah ada ratusan tahun lalu tetapi tiba-tiba pada 1980-an Menteri Kehutanan (Menhut) menetapkan wilayah itu sebagai hutan lindung.

Aksi Petani Meningkat

Menurut catatan SH, aksi petani terkait sengketa tanah terus bermunculan sepekan ini. Sebut saja yang terjadi di depan Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta pada Senin (19/12).

Seratus petani dari Kabupaten Meranti, Pulau Padang, Riau, berunjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin. Sebagai simbol penderitaan, sekitar 37 warga Meranti bahkan menjahit mulutnya untuk meminta perhatian pemerintah agar membantu perbaikan nasib mereka.

Mereka menuntut pemerintah mencabut SK Kehutanan Nomor 327 tentang pemberian hak penguasaan hutan tanaman industri kepada perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Para petani menganggap operasional RAPP telah merusak hutan. Bahkan mereka memperkirakan operasional tersebut dapat menenggelamkan Pulau Padang. Selain itu, masyarakat yang menggantungkan hidup pada produksi hutan di wilayah tersebut juga terancam kehilangan mata pencarian.

Di Bima, ratusan warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, NTB, hingga Selasa (20/12) masih bertahan menduduki dan memblokade Pelabuhan Sape Bima. Aksi pendudukan dilakukan sejak Senin.

Mereka bahkan nekat bertahan di pelabuhan sampai Bupati Bima Ferry Zulkarnain ST mencabut SK 188 yang memberi izin eksplorasi tambang emas di wilayah mereka. Menurut warga, kehadiran investor tambang emas telah cukup merusak mata pencarian warga yang rata-rata sebagai petani.

Ratusan warga itu menginap di pintu keluar-masuknya kendaraan di pelabuhan. Mereka membawa sejumlah senjata tajam. Akibat aksi blokade itu, aktivitas di Pelabuhan Sape Bima dari Senin hingga kini lumpuh total.

Kapal dan puluhan kendaraan terpaksa mengantre menunggu aksi massa bubar. Pihak Angkutan Sungai, Danau, dan Pelabuhan Sape, serta aparat kepolisian masih kewalahan mengatur lalu lintas di sekitar pelabuhan.

Terakhir, ratusan petani dari lima desa, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, yang tergabung dalam Serikat Tani Kubu Raya (STKR), menggelar demonstrasi menolak masuknya perkebunan sawit. Aksi digelar di halaman Markas Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Selasa.

Mereka berasal dari lima desa, yakni Desa Seruat, Dabung, Olak-olak Kubu, Mengkalan, dan Pelita yang tergabung dalam STKR. Petani menolak masuknya pengembangan perkebunan sawit oleh PT Sintang Raya karena telah merampas lahan pertanian dan tanah-tanah petani.

Ratusan petani itu rela menempuh perjalanan berjam-jam, yakni dari Kecamatan Kubu menempuh perjalanan air sekitar tiga jam dan perjalanan darat menggunakan lima truk dari Dermaga Rasau Jaya, kemudian menuju Mapolda Kalbar sekitar 1,5 jam. (CR-27/Ant)

__._,_.___
Recent Activity:
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Milis Pers Indonesia
Powered by : http://www.GagasMedia.com
GagasMedia.Com Komunitas Penulis Indonesia
Publish Tulisan Anda Disini !

Khusus Iklan Jual-Beli HP/PDA
Ratusan Game/Software HP Gratis
http://www.mallponsel.com

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar