Kamis, 01 Desember 2011

[PersIndonesia] Ketua DPRD Desak KPK Periksa Walikota Surabaya terkait Pembelian Mobdin Rp 15,2 M

 

Ketua DPRD Desak KPK Periksa Walikota Surabaya terkait Pembelian Mobdin Rp 15,2 M

SURABAYA- Geger antara DPRD dan Pemkot Surabaya kian memanas. Sikap Walikota Tri Rismaharini yang 'memboikot' rapat paripurna, membuat geram anggota dewan. Bahkan, Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Risma, terkait dugaan penyelewengan pembelian mobil dinas (mobdin) Rp 15,2 miliar untuk Muspida, Polrestabes dan camat se Surabaya.

Wishnu menegaskan pengadaan mobil dinas tanpa persetujuan dewan terlerbih dahulu jelas-ejlas menyalahi aturan perundang-undangan. "Kami minta KPK mulai turun memeriksa kasus penyalahgunaan anggaran di Pemkot Surabaya ini. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Semarang dengan bukti dua juta per amplop, kasus Surabaya lebih besar. Selain itu pemberitaan sudah sangat luas diterima masyarakat," kata Wishnu ditemui di gedung DPRD Surabaya, Kamis(1/12).

Pembelian mobil-mobil itu 5 unit jenis jeep 2.500 cc Mistsubishi Pajero Sport senilai Rp 2.068.000.000. Mobil ini dibeli dengan dalih dipinjampakaikan untuk Muspida. Kemudian, pembelian 28 unit mobil Isuzu Panther 2.500 cc untuk Polsek-Polsek di lingkungan Polrestabes Surabaya seharga Rp 6.314.000.000. Sedang untuk operasional camat-camat, Pemkot membeli 31 unit Panther 2.500 cc senilai Rp 6.820.000.000. Total jenderal anggaran yang dihabiskan Rp 15,2 miliar (Rp 15.202.000.000).

Menurut kader Partai Demokrat ini, DPRD Surabaya sudah sangat yakin bahwa pembelian sejumlah mobil dinas operasional oleh Pemkot Surabaya yang prosedural. Sebab, tidak tercantum dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA). Menurut Wishnu, ini tindakan penyalahgunaan anggaran. Kata Wishnu, kesimpulan ini setelah dirinya konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri.

"Selasa kemarin (30 November 2011, red) pimpinan sudah melakukan konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri mengenai dugaan penyalahgunaan anggaran, khusunya tentang pembelian mobil operasional," terang Wishnu.

Dalam konsultasi itu, lanjut Wishnu, pihak Direktorat Anggaran Daerah membenarkan adanya dugaan penyalahgunaan anggaran. Terutama mengenai pembelian mobil operasional, yang ditemukan oleh DPRD Surabaya dalam pelaksanaan APBD kota Surabaya 2011. Selain itu, lanjut Wishnu, tindakan DPRD menolak anggaran pembelian mobil operasional dalam PAK 2011 dibenarkan sesuai undang-undang.

Mengenai sikap Pemkot Surabaya yang tetap menyatakan pembelian puluhan mobdin sudah sesuai prosedur karena anggarannya sudah dicantumkan dalam APBD 2011, Wishnu kembali mengingatkan Pemkot untuk membuka kembali undang-undang. Kata Wishnu, Permendagri pasal 460 ayat 5 menyebutkan semua pergeseran anggaran harus melalui rapat perubahan anggaran daerah. Ini dikuatkan UU no 17 tahun 2003 yang menjelaskan setiap pergeseran jenis, organisasi, kegiatan dan obyek itu harus melalui perubahan anggaran pendapatan daerah.

"Kan sudah jelas Permendagri pasal 460 ayat 5 jika melanggar maka akan langsung kena sanksi pidana dan administrasi. Ini sudah jelas," tandas Wishnu.

Jika pemkot merasa benar, Wishnu menantang walikota untuk dialog terbuka untuk membuktikan siapa yang benar. Ia menyatakan tidak akan membuka jalur kompromi. "Jika mobil 1500 cc diganti 2500 cc ini kan jenisnya sudah berubah, maka tahapannya ya harus dilalui melalui rapat perubahan anggaran," beber Wishnu menunjukkan salah satu bentuk pelanggaran dalam pembelian mobdin tersebut.

Sebelumnya, Kabag Bina Program Pemkot Surabaya Agus Imam Sonhaji menyatakan sesuai Permendagri 13/2006 pasal 160, pergeseran anggaran dalam satu rekening yang sama tidak harus melalui persetujuan dewan. Itu merupakan domaian pemkot. Yang penting nilai rupiah pada mata anggaran tersebut tidak berubah. Menurutnya, pada ABPD 2011 hanya dijelaskan jumlah rupiah di pos tertentu dalam SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Mobdin ada di bos belanja modal bagian perlengkapan.

Menanggapi ini, pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) I Wayan Titib Sulaksana mencurigai banyak bawahan walikota yang "bermain", sehingga merusak citra wali kota.
"Ini yang merugikan Risma. Harusnya anak buahnya benar-benar dijaga dalam memimpin SKPD," katanya.

Wayan juga menyesalkan kalau ada bawahan walikota yang ikut bermain proyek. Padahal citra birokrasi harus bersih dan benar-benar mengedepankan pelayanan masyarakat. "Prinsip bersih itu yang harus dikedepankan," pungkasnya. n ton/ov

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962afdc4fea215122ce451e748fa84c820a

Pinjam Pakai Mobdin Polrestabes, Walikota Surabaya dan Kabag Perlengkapan Dilaporkan ke Kejati

Rabu, 23 November 2011 16:02:49 WIB
Reporter : Nyuciek Asih

Surabaya (beritajatim.com) - Komunitas masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Pemantau Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan Pemerintah (MP3KP) melaporkan walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Kepala Bagian (Kabag) Perlengkapan Nur Oemijati ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Rabu (23/11/2011).

Koordinator MP3KP sekaligus ketua Komunitas Peduli Anti Korups Eusebius Purwadi menyatakan, laporan kali ini terkait Indikasi Dugaan Penyimpangan Pengelolaan 28 Unit Mobil Dinas Milik Pemkot Surabaya Yang Dikelola Oleh Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya.
 
Dalam laporan tersebut dijelaskan, kronologis kejadian dimana pada Tahun Anggaran 2011, Pemerintah Kota Surabaya mempunyai Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur. Untuk melaksanakan program tersebut, Satuan Kerja Perangkat Daerah (Bagian Perlengkapan) mempunyai kegiatan Pengadaan dan Pemeliharaan Sarana-Prasarana Perkantoran dengan alokasi dana Rp36.639.194.579.

Salah satu output dari kegiatan tersebut adalah pengadaan kendaraan dinas atau operasional 87 unit dan sudah dilakukan pelelangan terbuka. "Dari 87 unit kendaraan tersebut, sebanyak 28 unit kendaraan dinas Pemkot Surabaya diserahkan kepada Polrestabes Surabaya dan Polsek Tanjung Perak melalui Perjanjian Pinjam-Pakai" ujar Purwadi di Kejati Jatim,Rabu (23/11/2011).

Alasan Pemkot Surabaya melakukan perjanjian pinjam pakai berdasarkan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Bahwa 28 unit kendaraan dinas tersebut sementara waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD di lingkungan Pemkot Surabaya.
 
Akan tetapi, dalam Rancangan PAK APBD 2011, Bagian Perlengkapan mengajukan pengadaan kendaraan dinas  sebanyak 100 unit dalam rangka pelaksanaan program peningkatan sarana dan prasarana aparatur. Artinya, terjadi penambahan unit dari 87 unit menjadi 100 unit. "Pengajuan penambahan 13 unit kendaraan dinas merupakan bentuk penyimpangan penyusunan anggaran. Karena pengajun ini tidak berdasarkan kebutuhan SKPD di lingkungan Pemkot Surabaya," tegas Purwadi.
 
Dengan demikian lanjutnya, penambahan 13 Unit kendaraan dinas melalui Rancangan PAK APBD 2011 bertentangan dengan alasan penyerahan 28 unit kendaraan dinas kepada Polrestabes Surabaya dan Polsek Tanjung Perak.

Oleh karena itu, penambahan 13 unit kendaraan dinas dalam Rancangan PAK APBD 2011 tidak sesuai dengan penyusunan kebutuhan dan anggaran yang di atur dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

"Dengan demikian, Walikota Surabaya sebagai pemegang kekuasaan barang milik daerah, tidak  mampu mengendalikan atau mendorong setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai pengguna barang dalam merencanakan dan menyusun kebutuhan kendaraan dinas  dalam Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) sebagai bahan dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD)," tukasnya. [uci/ted]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum%20&%20Kriminal/2011-11-23/118651/Walikota_Surabaya_dan_Kabag_Perlengkapan_Dilaporkan_ke_Kejati

Pinjam Pakai Mobdin, WALIKOTA SURABAYA LOBI MENDAGRI

SURABAYA (BM) - Idealisme Walikota Surabaya Tri Rismaharini mulai diragukan. Diam-diam, ternyata walikota perempuan pertama di Surabaya itu dikabarkan melobi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meredam gejolak pinjam pakai 28 unit panther ke Polrestabes Surabaya.

Ini terbongkar menyusul temuan wartawan Berita Metro dari beberapa pejabat penting di institusi pimpinan Gamawan Fauzi tersebut. Kepada wartawan koran ini, beberapa pejabat yang juga sumber Berita Metro tersebut membocorkan bahwa Risma –sapaan akrab Tri Rismahrini- telah berupaya meminta 'perlindungan' kepada Kemendgrai untuk membackup kebijakannya yang oleh para aktifis Surabaya dinilai sangat kontroversial itu.

"Ya memang ada itu (lobi). Tapi apakah Bu Risma yang datang langsung atau hanya sekedar lewat telepon kita nggak tahu. Yang jelas kita dengar itu," kata pejabat ini. Sumber ini mengaku tahu dari pejabat lain di Kemendgari yang menceritakan hasil pembicaraan dengan Risma tersebut. Saat ditanya kapan upaya lobi tersebut dilakukan, sumber ini mengaku tidak tahu pasti.

Mendapat bocoran informasi ini, Berita Metro coba melakukan konfirmasi dengan Mendagri Gamawan Fauzi. Tapi upaya tersebut gagal. Meski demikian, wartawan koran ini masih berhsail menemui Kepala Pusat Penerangan Kemendgari Roydonni Moelek.

Ditemui di ruang kerjanya, Roydonni Moelek membenarkan bahwa dirinya telah diajak bicara oleh Risma terkait kemelut pinjam pakai 28 unit Panther tersebut. "Bu Risma sudah bicarakan persoalan itu (pinjam pakai) ke kita," kata Moelek kepada wartawan koran ini.

Hanya pihaknya tidak menjelaskan apakah pembicaraan terkait pinjam pakai mobil dinas dengan Risma tersebut dilakukan lewat tatap muka atau hanya melalui saluran telepon. Meski demikian, pengakuan ini memperkuat adanya sinyal ketidakberesan pinjam pakai sekaligus memperkuat adanya dugaan deal dibalik pemberian pinjam pakaipemkot ke Polrestabes.

Bagaimana usai dilobi Risma? Hasil wawancara dengan Moelek semakin menegaskan bahwa Kemendagri terkesan membela kebijakan pemkot yang nyata-nyata banyak menabarak aturan tersebut.

Moelek justru berdalih bahwa pinjam pakai mobil dinas tersebut syah dilakukan selama policy atau kebijakan tersebut tidak merugikan anggaran negara (anggaran Pemkot Surabaya). "Yang penting tidak merugikan Negara," bela pria yang rambutnya mulai memutih ini.

Tak hanya itu, kebijakan tersebut lanjut Moelek juga boleh dilakukan dengan alasan bahwa pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara/daerah (PP. No. 6 Tahun 2006 Pasal 1 (3)). "Siapa yang bertanggung jawab dan berwenang di daerah (Surabaya), Bu Walikota kan,"  terang pejabat berkacamata ini.

Kesan membela Risma tersebut tersebut juga terlihat saat Moelek menyatakan bahwa kebijakan Risma meminjam-pakaikan 28 unit Panther hanya dinilai sebagai sebuah kebijakan kebetulan. "Kebetulan kibajkan ini yg dia pilih, kira-kira begitu" pungkasnya.

Kemendgari boleh saja membela Risma, tapi faktanya kebijakan tersebut telah mencederai perturan dan Undang-Undang di negeri ini. Peraturan yang dilanggar itu antara lain, Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2006.

Pada BAB I ketentuan Umum pasal 1 (8), dinyatakan bahwa pemanfaatan adalah

pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serahguna/bangun guna dengan tidak mengubah status kepemilikan.

Jika dicermatai, redaksi dalam pasal tersebut terdapat penggalan tidak (sedang) dipergunakan dan pada penghujung kalimat terdapat redaksi tidak mengubah status kepemilikan. Faktanya, untuk menutupi kebutuhan dinas yang dipimpinnya, Risma malah memilih rental 14 mobil ke pihak luar dengan nilai sewa Rp 4 juta perbulan. Jika ditotal, pemkot harus merogoh kocek Rp 308 juta untuk membayar 14 unit mobil yang dirental tersebut.

"Kalau Risma rental 14 mobil untuk menutupi kebutuhan PU Bina Marga, itu artinya pemkot masih butuh. Padahal, dalam (PP) No 6 Tahun 2006 BAB I ketentuan Umum pasal 1 (8) secara tegas dinyatakan pinjam pakai tersebut boleh dilakukan asal tidak sedang dibutuhkan," kata Kordinator Lembaga Pemantau Pelaksanaan Kebijakan Jatim, Purwadi.

Selain itu, pinjam pakai tersebut juga dinilai melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Butir tiga (3) Permendagri mensyarakatkan bahwa pinjam pakai boleh dilakukan selama tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara tegas Permendagri malah mensyaratkan bahwa  barang milik daerah yang akan dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes)  tersebut sementara waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

Masih menurut Purwadi, pelanggaran lain yang dilakukan pemkot dan Polrestabes adalah mengganti pelat nomor mobil yang dipinjam-pakaikan tersebut. Pelat nomor yang semula merah itu sekarang berganti pelat polisi. "PP tersebut melarang peminjam mengganti kepemilikan, faktanya Polrestabes malah mengubah pelat nomor. Harus dicatat, pelat merah itu artinya barang tersebut aset pemkot, bukan asetnya Polrestabes. Berani-beraninya (Polrestabes) mengubah barang yang bukan miliknya. Masak gini dibela Mendagri," kritiknya.

Karena itu, pihaknya mencurigai jika Kemendagri malah terkesan membela Risma. Pihaknya mendesak agar DPR RI memelototi apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk mengawasi, mengapa setelah dilobi Risma, tiba-tiba Kemendagri mengabaikan peraturannya sendiri.

Terpisah, kepada Berita Metro, Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti pernah mengakui adanya pergantian pelat nomor mobdin yang dipnjam pakaikan oleh pemkot tersebut. Suparti mengatakan jika mobil yang semula berplat nomor merah dan sudah diganti dengan nomor polisi itu digunakan untuk pengamanan kota di bidang lalu lintas.

Pihaknya tidak ingin mencampuri urusan pemkot  jika kebijakan tersebut bermasalah. "Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak mempunyai kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini salah alamat," kata Suparti saat ditemui di kantornya.

Mantan Kapolsek Asemrowo ini menegaskan bahwa sebagai peminjam, Polrestabes tidak ada kaitannya dengan persoalan di Pemkot. "Ya kalau untuk apa mobil itu dipinjam atau berapa unit yang dipinjam sih, kita bisa menjawab. Itu sesuai kapasitas dan kewenangan kami ," imbuhnya.

Sekedar mengingatkan, pemberian 28 Unit Station Wagon - Isuzu Panther – oleh Pemkot Surabaya kepada Polrestabes yang dikemas pinjam pakai menuai gugatan. Sejumlah aktifis menduga pola pinjam pakai tersebut  diduga kuat merupakan bagian dari upaya suap yang dilakukan pemkot ke Polrestabes.

Selain memunculkan aroma gratifikasi, penyerahan Panther tersebut juga menabrak sejumlah aturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, dari 28 unit yang dipinjam-pakaikan, pengadaan untuk 13 unit diantaranya dilakukan tanpa melalui proses lelang alias penunjukkan langsung. Ironisnya lagi, penyerahan 28 Isuzu Panther tersebut dilakukan ketika PU Bina Marga dan Pematusan justru kekurangan mobil dinas. (rbh/hab)

Rep. Ari Widura
Red. Habib

http://kabarmetro.com/read/113/05/10/2011/risma-lobi-mendagri.html

Pinjam Pakai Mobdin : Polrestabes Ganti Plat Nomor 28 Panther Ubah Kepemilikan Pemkot

Surabaya, (BM) - Kecu­rigaan ada motiv lain di balik pinjam-pakei 28 Unit Station Wa­gon - Isuzu Panther – oleh Pemkot Surabaya kepada Polrestabes menguat. Ini me­nyu­sul fakta baru bahwa ter­nyata seluruh mobil yang disodorkan pemkot tersebut kini sudah berganti plat nomor. Mobil yang semula berplat nomor merah itu, sekarang berganti plat polisi.

Padahal berdasarkan Per­men­dagri nomor 17 tahun 2007, pinjam pakai tersebut boleh dilakukan sepanjang tidak mengubah kepemilikan. Salah satu butir dari Permendgari tersebut mensyaratkan pe­min­jam bertanggung jawab atas ke­utuhan dan keselamatan barang. Bu­tir lainnya, menegaskan bahwa pengembalian barang milik daerah yang dipinjam pakaikan harus dalam keadaan baik dan lengkap.

"Aturannya sudah jelas. Peminjam tidak boleh mengu­bah status kepemilikan barang. Mo­bil (Panther) itu kan milik dan asetnya pemkot yang semula berplat merah. Kalau benar Pol­restabes hanya meminjam, me­ngapa berani mengganti plat no­mor," kata Kordinator Ma­syarakat Pemantau Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan Pemprov Jatim Purwadi.

Langkah Polrestabes terse­but telah mencerminkan kebi­jakan tidak adil di tengah-tengah masyarakat. Polrestabes memberikan contoh tidak baik terhadap masyarakat Surabaya. Menurut Purwadi, sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini banyak pemilik kendaraan harus berurusan dengan polisi hanya karena mengubah plat kendarannya. "Jangankan mengubah, memo­difikasi saja masih diti­lang. Ini mengganti Mas, ba­yangin," lontarnya.

Yang lebih aneh, karena status Polrestabes sebagai pemin­Langkah Polrestabes tersebut telah mencerminkan kebijakan tidak adil di tengah-tengah masyarakat. Polrestabes mem­be­rikan contoh tidak baik terha­dap masyarakat Surabaya. Menurut Purwadi, sudah men­ja­di rahasia umum bahwa sela­ma ini banyak pemilik kendaraan harus berurusan dengan polisi hanya karena mengubah plat kendarannya.  "Jangankan mengubah, memodifikasi saja masih ditilang. Ini mengganti Mas, bayangin," lontarnya.

 Yang lebih aneh, karena status Polrestabes sebagai pemin­jam, tidak seharusnya mereka me­ngubah barang yang dipin­jam. Karena jelas, dalam per­atu­rannya, peminjam   wajib menjaga ke­utu­han barang (milik daerah) yang dipinjam tersebut.

Melihat gejala yang tidak baik ini, Purwadi justru mencu­rigai adanya motivasi lain dibalik penyerahan 28 unit Panther tersebut. Hanya ketika didesak motiv lain yang dimak­sud, aktifis berdarah Batak ini masih merahasiakan. "Nanti saja kita sampaikan. Ini masih ditelusuri," elaknya.

Mengapa plat nomor merah tersebut diganti? Kasat Lantas Polrestabes Surabaya AKBP Asep Akbar Hikmana menga­takan pergantian plat nomor mobil tersebut memang me­miliki aturan yang harus dipe­nuhi. Sementara untuk urusan perawatan termasuk pajak adalah kewenangan dari Pem­kot Surabaya.

"Soal menggati plat nomor itu kan harus didaftarkan terlebih dahulu ke bagian logistic Polrestabes Surabaya. Nah kalau sudah diganti, pema­ha­man saya ya sudah didaftarkan ke sana," kata Asep saat dihu­bungi Berita Metri via pon­selnya kemarin.

Bukankah itu melanggar aturan? Menjawab ini, Asep mengakui bahwa itu seharusnya tidak boleh dilakukan, kecuali ada klausul di dalam perjanjian pinjam pakei tersebut. "Soal apakah ada klausul atau tidak, pemkot yang lebih tahu," elaknya.

Asep juga mengaku, bahwa yang memiliki kewenangan sepenuhnya soal mobil tersebut adalah pihak Pemkot Surabaya. Karena yang memegang per­janjian pinjam pakai kendaraan tersebut juga pemkot. "Mobil tersebut kan digunakan untuk pengamanan di wilayah hukum Kota Surabaya. Kebetulan waktu itu pemkot hanya bisa memberi bantuan dengan memin­jam­kan mobil dinas. Dari situ pem­kot sendiri yang membuat aturan berikut beberapa per­janjian yang harus dipenuhi," tutur dia lagi.

Soal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang mengatur syarat-syarat tentang "pinjam pakai" kendaraan mobdin kepada pihak lain, Asep mengaku belum mempelajari sepenuhnya hal tersebut.

"Ya memang kalau mengacu pada aturan itu, memang tidak boleh. Tapi ketika Pemkot membuat klausul-klausul baru soal status itu, ya saya tidak tahu. Kalau melihat kondisinya sekarang, berarti mobil tersebut sudah didaftarkan ke bagian logistic Polrestabes Suarabaya dan ada aturan dari Pemkot yang memperbolehkan pergantian plat nomor tersebut," tutup Asep.

Melihat gejala yang tidak baik ini, Purwadi justru men­curigai adanya motivasi lain dibalik penyerahan 28 unit Panther tersebut. Hanya ketika didesak motiv lain yang dimaksud, aktifis berdarah Batak ini masih merahasiakan. "Nanti saja kita sampaikan. Ini masih ditelusuri," elaknya.

Mengapa plat nomor merah tersebut diganti? Kasat Lantas Polrestabes Surabaya AKBP Asep Akbar Hikmana menga­takan pergantian plat nomor mobil tersebut memang memiliki aturan yang harus dipenuhi. Sementara untuk urusan perawatan termasuk pajak adalah kewenangan dari Pemkot Surabaya.

"Soal menggati plat nomor itu kan harus didaftarkan terlebih dahulu ke bagian logistic Polrestabes Surabaya. Nah kalau sudah diganti, pemahaman saya ya sudah didaftarkan ke sana," kata Asep saat dihubungi Berita Metri via ponselnya kemarin.

Bukankah itu melanggar aturan? Menjawab ini, Asep mengakui bahwa itu seharusnya tidak boleh dilakukan, kecuali ada klausul di dalam perjanjian pinjam pakei tersebut. "Soal apakah ada klausul atau tidak, pemkot yang lebih tahu," elaknya.

 Asep juga mengaku, bahwa yang memiliki kewenangan sepenuhnya soal mobil tersebut adalah pihak Pemkot Surabaya. Karena yang memegang per­janjian pinjam pakai kendaraan tersebut juga pemkot. "Mobil tersebut kan digunakan untuk pengamanan di wilayah hukum Kota Surabaya. Kebetulan waktu itu pemkot hanya bisa memberi bantuan dengan meminjamkan mobil dinas. Dari situ pemkot sendiri yang membuat aturan berikut beberapa perjanjian yang harus dipenuhi," tutur dia lagi.

Soal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang mengatur syarat-syarat tentang "pinjam pakai" kendaraan mobdin kepada pihak lain, Asep mengaku belum mempelajari sepenuhnya hal tersebut.

"Ya memang kalau mengacu pada aturan itu, memang tidak boleh. Tapi ketika Pemkot membuat klausul-klausul baru soal status itu, ya saya tidak tahu. Kalau melihat kondisinya sekarang, berarti mobil tersebut sudah didaftarkan ke bagian logistik Polrestabes Suarabaya dan ada aturan dari Pemkot yang memperbolehkan pergantian plat nomor tersebut," tutup Asep.

Rep. bambang utomo
Red. Ari Widura

http://kabarmetro.com/read/85/14/09/2011/polrestabes-ganti-plat-nomor-28-panther.html

PAKAR BERBICARA Pinjam Pakai MOBDIN : Batalkan Perjanjian Pinjam Pakai!

Menurut Prof. Dr. Eko Sagitario SH CN MHum kasus pinjam-pakai 28 mobil Isuzu Panther yang merupakan aset Pemkot bisa saja dilakukan. Tapi, menurutnya, mobil yang dipinjamkan tersebut seharusnya tidak mengalami perubahan apapun. Padahal, realitanya mobil milik pemkot yang dipinjam-pakaikan kepada Polrestabes Surabaya sudah mengalami pergantian plat nomor.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Surabaya ini menilai jika mobil tersebut merupakan aset pemkot, maka tidak boleh ada pergantian plat nomor. Sebab, pergantian plat nomor juga berkaitan dengan pergantian pemilik. "Ini jelas menyalahi aturan yang ada kalau mobil yang dipinjamkan oleh pemkot kemudian diganti plat nomornya oleh pihak kepolisian."

Di sisi lain, Eko juga menyoroti bahwa 'pemberian' mobil-mobil tersebut seyogyanya diketahui oleh lembaga legislatif, dalam hal ini adalah DPRD Surabaya. Sebab, menurutnya, pengadaan mobil-mobil itu tentu berkaitan dengan APBD yang notabene merupakan uang negara. "Kasus ini sudah bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara," tukas Eko.(aji)

Selain Eko, dosen Hukum Pidana Univesitas Airlangga, I Wayan Titib Sulaksana menilai, kesepakatan pinjam-pakai 28 Isuzu Panther antara pemkot dan polrestabes ini sangat sarat dengan aroma gratifikasi.

"Kalau sampai dua tahun, itu bukan pinjam namanya, dan patut diduga ada gratifikasi, apalagi jumlahnya mencapai 28 unit dan Polda harus ditanya kenapa hal itu sampai terjadi" ujar wayan ketika dihubungi Berita Metro melalui telepon selular, Rabu (21/9).

Menurut Wayan, jika benar benar terbukti ada gratifikasi dalam perjanjian itu, maka pihak yang terlibat harus diproses dan diusut secara tuntas. karena sudah masuk ke tindak pidana korupsi, dan bisa dikenakan UU Tipikor No 20 tahun 2001 pasal 5, 6 dan 12 huruf B dengan ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Ketika disinggung mengenai pergantian plat nomor mobil yang dilakukan Polrestabes, Wayan mengaku kaget dengan kabar tersebut. Namun menurutnya, selama mobil tersebut masih menjadi milik Pemkot Surabaya, maka pergantian plat nomor mobil sangat tidak dibenarkan.

"Tidak ada aturan yang membolehkan ganti plat terhadap aset pemkot yang dipinjamkan, sebab yang menaggung biaya pemeliharaan masih menjadi tanggung jawab pemkot, ini aset rakyat jadi harus dikembalikan," tutup Wayan. (bmb/aji)

Rep. bambang utomo
Red. Ari Widura

http://kabarmetro.com/read/102/21/09/2011/batalkan-perjanjian-pinjam-pakai!.html

Pinjam Pakai MOBDIN : Pemkot Surabaya Tabrak Aturan Berlapis

Surabaya, (BM) – Berdalih membantu kepolisian untuk  operasinal pengamanan kota sebagai kebuthan yang diprioritaskan, Pemerintah Kota Surabaya rela melanggar sejumlah aturan, di antaranya Permendagri 17 tahun 2007 dan PP 68 Tahun 2008. Namun Pemkot kekeuh bahwa kebijakan pinjam pakai 28 unit mobil Station Wagon Isuzu Panther dari kepada Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) dan Polres Tanjung Surabaya tak melanggar hukum.

Satu regulasi –di antara beberapa aturan lain- yang nampak terang telah dilanggar pihak pemkot dalam kerjasama ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Regulasi ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Pemkot telah mengabaikan regulasi yang tertuang dalam Pasal 35 butir 3 (Bagian Empat) Permendagri. Pasal tersebut berbunyi, pinjam pakai boleh dilakukan selama tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara tegas Permendagri malah mensyaratkan bahwa  barang milik daerah yang akan dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes)  tersebut sementara waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

Namun transaksi kerjasama Pemkot yang meminjam pakaikan 28 mobil panther itu kepada polrestabes dan polres KP3 telah mengesampingkan kebutuhan operasional kinerja instansinya sendiri. Sebab, sebelum kerjasama itu dilakukan, salah satu instansi di jajaran pemkot, Dinas PU Bina Marga dan Pematusan kekurangan mobil dinas untuk operasional kerja kepala bidang dan seksi. Bahkan, dinas yang dipimpin Erna Purnawati itu harus rela menyewa mobil rental dengan harga Rp 4,5 juta untuk satu unitnya. 

"Kami terpaksa rental. Bagaimana mereka bisa bekerja dengan baik kalau tidak ada mobil operasional," ujar Erna, Selasa (12/07).

Ironisnya lagi, saat itu Erna menyatakan jajarannya tidak mendapat jatah mobdin kala Bagian Perlengakapn Pemkot mengadakan lelang mobil pada 25 Januari 2010 lalu. Begitu pula keinginan untuk membeli sendiri juga tidak bisa dilakukan karena Erna mengakui tidak ada anggaran untuk itu. "Kalau tidak ada anggarannya, bagaimana kita bisa memberikan mobil dinas," sambungnya.

Tak hanya dua regulasi itu, pakar hukum tata negara Universitas Surabaya (Ubaya) Eko Sugitariu menambah lagi singgungan kasus kerjasama ilegal ini dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kendati secara rinci, Guru Besar Hukum Ubaya itu tidak menjelaskan pasal mana yang diduga telah dilanggar pemkot. "Yang jelas ada disinggung di situ tentang anggaran dan aset Negara atau daerah. Kasus ini berpotensi melanggar salah satu pasal di dalamnya," terang Eko yakin.

Pendapat lebih tegas dilontarkan pakar hukum pidana Universitas Airlangga I Wayan Titip. Dia yakin jika pinjam pakai mobil Pemkot kepada dua institusi kepolisian itu sudah tergoong tindak gratifikasi. Menurut Wayan, pasal gratifikasi ini bisa dikenakan kepada pemkot jika tidak membatalkan perjanjian pinjam pakai itu.

 "Perjanjian ini harus dibatalkan. Karena awalnya melanggar Permendagri. Namun jika sudah masuk proses hukum, sangkaan gratifikasi bisa juga dikenakan dalam kasus ini," tukas Wayan.

Secara rinci, Wayan menyebut sangkaan gratifikasi itu bisa mengacu pada UU Tipikor No 20 Tahun 2001, pasal 5,6,12 huruf b dengan ancaman minimal 4 tahun maksimal 20 tahun.

Apalagi, kata Wayan, proses kerjasama ini diduga kuat tanpa sepengetahuan DPRD Surabaya. Padahal apapun kebijakan kerjasama menyangkut aset Negara/daerah harus ata spersetujuan dewan.

Benar saja, Komisi A DPRD Surabaya yang membidangi maslaah hukum serentak mengaku tak tahu ketika dikonfirmasi terkait hal ini. Ketua Komisi A Armudji malah melemparkan pertanyaan ini ke anggotanya (komisi A). "Saya gak tahu masalah itu mas, coba tanya saja pada pak Hafid (Hafid Su'aidi) dan bu lut, (Luthfiyah)," kilah Armudji menghindari pertanyaan wartawan Koran ini.

Karena bertumpuknya dugaan aturan yang dilanggar, kasus ini langsung mendapat perhatian khusus dari Kejaksaan Tinggi Jati. Seorang petinggi Kejati yang menolak disebut namanya itu menyatakan potensi pelanggaran dalam kerjasama ini sangat terbuka. Sebab, menurtnya,  perjanjian itu cenderung dipaksakan hanya dengan dalih yang lazim, yakni menunjang keamanan kota.

Padahal bagaimanapun, keamanan suatu daerah sudah menjadi  tanggung jawab aparat kepolisian setempat, tak terkecuali di Surabaya. Tanpa bantuan pinjam pakai mobil  dari pemkot yang mengabaikan kebutuhan internal instansi sendiri, lanjut sumber ini,  kepolisian tetap bertanggung jawab penuh atas keamanan kota.

Karena itu, salah seorang petinggi Kejati ini masih menyelidiki lebih jauh potensi pelanggaran yang dilakukan kedua pihak dalam kerjasama ini. "Indikasi pelanggaran-pelanggaran yang sudah ada akan kami selidiki lebih dalam lagi," ungkapnya.

Di bagian lain, Kabag Humas Nanis Chairani sendiri tak berani menjelaskan panjang lebar. Terkait dugaan melanggar aturan tersebut, mantan Camat Krembangan itu  menyatakan bahwa kebijakan tersebut sudah dipertimbangkan matang, termasuk soal dasar hukumnya.

Lebih jelasnya, lagi-lagi Nanis tak berani menjawab. "Lebih jelas soal hukum, langsung tanyakan ke Bu Walikota (Tri Rismaharini) dan bagian perlengkapan yang lebih memahami prosesnya," ungkapnya.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Walikota Tri Rismaharini maupun Kabag Perlengkapan Noer Oemarajati belum bisa memberikan penjelasan terkait persoalan ini.

Meski sebelumnya, Oemarajati pernah mengatakan, penyerahan 28 Unit Kendaraan operasional Pemkot kepada Polrestabes Surabaya dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak dalam rangka pinjam pakai selama dua tahun. Saat itu, pihaknya juga mengakui bahwa peminjaman kendaraan itu masih bisa diperpanjang. Menurut Oemarajati, pinjam pakai tersebut adalah bagian dari upaya pemkot meningkatkan pengamanan kota.  (bmb/aji/arw/hab)

http://kabarmetro.com/read/100/21/09/2011/pemkot-tabrak-aturan-berlapis.html

Pinjam Pakai MOBDIN : Coki Langkahi Timur Pradopo

Surabaya, (BM) – Transaksi pinjam pakai 28 unit mobil dinas Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kepada Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) dan Polres Tanjung Perak (KP3) terus memunculkan banyak indikasi ilegal. Banyak aturan diduga dilanggar tidak hanya oleh Pemkot, namun juga Polrestabes sebagai pihak peminjam. Hanya demi mendapat tambahan 28 mobil –dalih untuk menunjang operasional personel kepolisian mengamankan kota-, Kapolrestabes Surabaya Komisaris Besar Polisi Coki Manurung dinilai telah berani melangkahi wewenang Kapolri Jenderal Timur Pradopo.

Tindakan Coki melampaui wewenang atasannya itu bisa ditengarai dari sejumlah aturan yang dilanggar oleh mantan Dir Narkoba Polda Jatim ini dalam melaksanakan kesepakatan pinjam pakai 28 mobil Station Wagon Isuzu Panther. Di antaranya  menabrak aturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hubungan dan Kerja Sama Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam pasal 19 UU Kepolisian menyebutkan bahwa Kapolri menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian  dan  Kapolri memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab. Sementara Pasal 7 PP No. 68/2008 menyebutkan, Pelaksanaan kerja sama dibuat dalam bentuk tertulis yang menimbulkan hak dan kewajiban dan dapat dituangkan dalam kerja sama induk dan/atau kerja sama teknis. Adapun Kerja sama induk adalah kerja sama para pihak yang akan dijadikan sebagai landasan bagi kerja sama yang bersifat lebih teknis. Kerja sama teknis adalah jabaran dari kerjasama induk yang bersifat lebih teknis.

Dari penjelasan dua pasal yang tertuang dalam dua regulasi berbeda saja, bisa dilihat bahwa Kapolrestabes telah melangkahi wewenang Kapolri dalam transaksi pinjam pakai ini. Sebab dalam kesepakatan tersebut, pengesahan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman hanya ditandatangani oleh Kombes Pol Coki Manurung. Tidak didahului dengan perjanjian induk yang ditandatangani oleh Kapolri.

Kepala Bagian Humas Pemkot Nanis Chairani membenarkan hal ini. Dia menyatakan, perjanjian pinjam pakai itu memang langsung disahkan oleh Walikota Tri Rismaharini dan Kapolrestabes Surabaya Coki Manurung. Nanis juga mengakui jika tidka pernah ada perjanjian induk antara Pemkot dengan Kapolri. "Tidak pernah (perjanjian induk, red) dengan Kapolri. Masa harus begitu? Ya kelamaan kan kalau harus perjanjian dulu dengan Kapolri. Sementara keamanan Surabaya tidak bisa menunggu," papar Nanis.

Pernyataan Kabag Humas ini mempertegas adanya aturan hukum yang ditabrak baik oleh polrestabes maupun pemkot. Sekadar diketahui, kesepakatan pinjam pakai mobil yang ditandatangani  dua kepala instansi tersebut lebih bersifat teknis. Berdasar Pasal 7 PP No 68/2008, perjanjian yang bersifat teknis ini seharusnya dilandasi dengan perjanjian induk yang ditandatangani Kapolri sendiri.

Tindakan Kapolrestabes yang dinilai melangkahi wewenang Kapolri ini ditegaskan lagi oleh pakar hukum Universitas Airlangga I Wayan Titip. Dia menilai, Coki telah melanggar tertib administrasi sebagaimana diatur dalam UU Polri maupun PP 68 tahun 2008. "Kalau itu tanpa sepengatahuan Kapolri, jelas salah. Lain lagi kalau sudah ada pendelegasian dari Kapolri," tegas Wayan.

Sebelumnya, Kordinator Masyarakat Pemantau Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan Pemprov Jatim Purwadi juga memperjelas pelanggaran ini. Kerjasama/perjanjian Pinjam Pakai tersebut, kata Purwadi,  tidak sah karena yang menandatangani perjanjian kerjasama pinjam pakai kendaraan dinas pemkot tersebut adalah Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak. "UU Polri dan PP 68/2008 itu sudah tegas mengatur perjanjian induk dan teknis. Nah, apa yang dilakukan kedua pihak itu (Pemkot dan Polrestabes, red) adalah perjanjian teknis. (perjanjian, red) induknya tidak pernah dibuat," beber Purwadi.

Purwadi menambahkan, kerjasama itu juga diatur langsung dalam UU Polri –berada di bawah tanggungjawab Kapolri- karena telah menimbulkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Untuk itu, Kapolri sebagai pucuk pimpinan tertinggi Korps Bhayangkara wajib mengetahui perjanjian itu. "Untuk itulah aturan perjanjian induk diberlakukan untuk melandasi perjanjian teknis yang menjadi turunannya atau mengikutinya," tandasnya.

Pelanggaran bertumpuk yang dilakukan kedua pihak terkait kerjasama ini juga menuai sorotan tajam dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Seorang sumber petinggi di Kejati berani menyebut jika kerjasama itu telah menabrak banyak aturan.

Dia mengungkapkan, perjanjian itu cenderung dipaksakan hanya dengan dalih yang lazim, yakni menunjang keamanan kota. Padahal bagaimanapun, keamanan suatu daerah sudah menjadi  tanggung jawab aparat kepolisian setempat, tak terkecuali di Surabaya. Tanpa bantuan pinjam pakai mobil  dari pemkot yang mengabaikan kebutuhan internal instansi sendiri, lanjut sumber ini,  kepolisian tetap bertanggung jawab penuh atas keamanan kota.

Karena itu, salah seorang petinggi Kejati ini masih menyelidiki lebih jauh potensi pelanggaran yang dilakukan kedua pihak dalam kerjasama ini. Tak hanya itu, dia juga mencium adanya praktik bisnis security (keamanan) yang dilakukan pihak kepolisian. Karena sumber tersebut menyatakan praktik ilegal ini sudah banyak terjadi di berbagai daerah.

Bisnis security yang dimaksud sumber ini yakni pihak kepolisian diduga memainkan pihak-pihak berkepentingan  di daerah tersebut. Dengan cara, pihak berkepentingan itu harus member konstribusi lebih kepada kepolisian jika ingin daerahnya benar-benar aman. "Ini yang bakal kami usut lebih dalam. Selain pelanggaran-pelanggaran yang sudah ada," ungkapnya.

 Pihak Polrestabes sendiri juga pernah menyatakan keraguannya atas keabsahan perjanjian kerjasama itu. Meski lebih jauh mereka tidak berani memastikan dengan dalih pihaknya hanya sebagai peminjam atau penerima pinjaman dari Pemkot.

"Yang berhak menjawab kan pihak Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini ya salah alamat," tutur Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti beberapa waktu lalu.

Ubah Plat Nomor, Polrestabes Tumpuk Pelanggaran

Belum tuntas polemik terkait dugaan pelanggaran hukum dalam kerjasama pinjam pakai 28 mobil, Polrestabes kembali menunjukkan arogansinya. Korps kepolisian di bawah kendali Kombes Pol Coki Manurung ini berani mengubah plat nomor ke-28 mobil aset pemkot itu menjadi plat nomor polisi. Seolah, mobil tersebut menjadi hak milik Polrestabes dan Polres Tanjung Perak Surabaya.

Padahal transaksi mobil tersebut sudah jelas dikatakan hanya pinjam pakai, bukan hibah. Apakah ada tendensi hibah? Kepala Humas Pemkot Surabaya Nanis Chairani menegaskan jika mobil tersebut jelas bukan hibah. Secara jelas, Nanis menyatakan bahwa perjanjiannya adalah pinjam pakai dengan jangka waktu dua tahun dan kemungkinan bisa diperpanjang. "Itu bukan hibah, tapi pinjam pakai. Sudah jelas," katanya.

Menariknya, Pemkot justru tidak tahu dengan tindakan polrestabes mengganti plat nomor mobil yang dipinjampakaikan tersebut.  Sebaliknya, instansi yang dipimpin Tri Rismaharini ini mempertanyakan motivasi polrestabes mengubah plat nomor mobil yang bukan hak milik polisi tersebut menjadi plat nomor milik kepolisian. Sebab, saat serah terima mobil aset pemkot tersebut masih berplat merah.

"Lho, masa plat nomor diganti? Kami tidak tahu kalau diganti.Yang pasti, saat penyerahan masih plat merah. Itu bukan hak milik (hibah, red), tapi pinjam pakai," tandas Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya Nanis Chairani.

Tindakan polrestabes mengganti plat nomor mobil pinjam pakai itu dinilai melanggar aturan UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Peraturan Kapolri, plat nomor harus sesuai dengan kepemilikan surat tanda kendaraan bermotor. Sementara pihak pemkot tidak pernah menghibahkan 28 mobil itu kepada polrestabes. "Ya itu (28 mobil Isuzu Panther, red) statusnya pinjam pakai. Tapi kalau soal aturannya saya kurang tahu," tegas Nanis.

Pernyataan Guru Besar Hukum Ubaya Eko Sagitariu makin mempertegas pelanggaran dalam penggantian plat nomor ini. Menurut dia, diatur bagaimanapun, tidak ada celah bagi pihak lain termasuk kepolisian untuk mengklaim barang yang bukan hak miliknya. "Itu (penggantian plat nomor, red) kan sama saja dengan mengklaim kepemilikan aset pemkot. Bagaimanapun itu tidak boleh," ujarnya.

Anehnya, Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti yang membenarkan penggantian plat nomor merah itu menjadi plat nomor kepolisian seperti seniornya AKBP Ase, dia melimpahkan persoalan ini ke pihak pemkot. "Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak mempunyai kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini ya salah alamat," tutur Suparti saat ditemui di kantornya.

Di bagian lain, Kasat Lantas Polrestabes Surabaya AKBP Asep Akbar Hikmana sendiri secara tersirat mensinyalir adanya pelanggaran dalam pinjam pakai maupun penggantian plat nomor itu. Namun dia tak berani memastikan pelanggaran itu. Asep berdalih, penggantian plat nomor polisi 28 mobil itu karena sudah didaftarkan ke bagian logistik polrestabes. Kendati penggantian tersebut tidak diperbolehkan karena bukan barang hak milik kepolisian.

Asep juga mengakui kalau memang pergantian kepemilikan plat nomor polisi pada 28 unit mobil Isuzu Panther jenis Station Wagon tersebut memang melanggar aturan. Namun dia mengaku belum memahami secara detai klausul aturan tersebut.

"Kalau memang ada aturan yang mengatur masalah itu (ganti plat nomor polisi) ya memang saya akui melanggar. Untuk bisa tahu lebih jelas, bisa ditanyakan langsung ke pihak Pemkot Surabaya karena klausul MoU dibawa pemkot," ujar Asep beberapa waktu lalu.

Argumen Asep ini mengacu pada aturan khusus yang memang membolehkan merubah plat merah menjadi plat hitam, dengan satu catatan menggunakan "label" bantuan swadaya (BS). "Untuk bisa tahu lebih jelas, bisa ditanyakan langsung ke pihak Pemkot Surabaya," kata Asep.

Alibinya, pergantian plat nomor (merah menjadi plat hitam) juga sering dilakukan terhadap mobil dinas pejabat maupun DPRD. Dia mencontohkan, di Gedung DPRD Jatim misalnya, beberapa mobil dinas juga memiliki dua surat tanda nomor kendaraan (STNK). Pada mobdin tersebut, tertempel dua plat nomor, yang di balik plat warna hitam, masih menempel plat merah.

"Memang ada aturan yang memperbolehkan kita mengganti plat nomor tersebut. Cuma pada plat nomor tersebut masih melekat istilahnya bantuan swadaya. Jadi ketika mobil tersebut ditarik kembali, plat aslinya masih ada," ujar seorang sumber di lingkungan Dewan Jatim yang tak mau menyebut namanya.

Sayangnya, argumen AKBP Asep maupun sumber tersebut lemah lantaran tidak bisa menunjukkan aturan khusus yang dimaksud.

Sementara Kabag Humas Pemkot Nanis Chairani sendiri tidak berani menerangkan secara rinci terkait klausul MoU perjanjian pinjam pakai antara Pemkot dengan Polrestabes dan Polres Tanjung Perak itu karena dirinya mengaku tidak banyak tahu soal aturan hukum yang berlaku. "Langsung ditanyakan kepada Bu Walikota saja atau bagian perlengkapan," katanya.

Seperti diketahui sebelumnya, aktivitas pinjam pakai 28 mobdin yang dilakukan Pemkot Surabaya kepada Polrestabes Surabaya dan Polres KP3 itu dilakukan dalam rangka pengamanan Kota Surabaya jelang Lebaran Hari Raya Idul Fitri 2011.

Namun, belakangan diketahui kalau 28 mobil jenis Stasiun Wagon --26 unit untuk Polrestabes Surabaya dan dua unit untuk Polres KP3—itu sudah berganti plat nomor, dari palat merah menjadi plat polisi. (aji/ars/arw/hab)

 http://kabarmetro.com/read/99/21/09/2011/coki-langkahi-timur-pradopo.html

Pinjam Pakai MOBDIN : Usut Pengadaan 13 Panther

Surabaya, (BM) - Bukan hanya menabrak aturan, penyerahan 28 mobil panther ke Polrestabes ternyata juga memunculkan dugaan tindak pidana lainnya. Itu tercium dari pengadaan 13 Kendaraan Station Wagon Isuzu Panther yang diduga kuat tidak dilelangkan oleh Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya.

Sejauh ini, kata Purwadi Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya hanya melakukan lelang untuk Pengadaan Station Wagon 2.500 CC sebanyak 15 Unit. Kegiatan tersebut dilakukan pada 25 Januari 2010. Saat itu, pemenang lelang adalah PT Astra International Tbk-Isuzu (NPWP: 01.302.584.6-611.004) dengan nilai penawaran Rp.3.296.250.000 (94,12% dari HPS).

Faktanya, berdalih untuk pengamanan lebaran, pada 26 Agustus 2011 Walikota Surabaya Tri Rismaharini secara simbolis menyerahkan 28 Unit Station Wagon Isuzu Panther kepada Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Coki Manurung dan Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKBP Jayadi.

Dengan jumlah tersebut, Purwadi mencurigai bahwa pengadaan 13 unit Panther lainnya tersebut dilakukan tanpa proses lelang.  "Darimana Bagian Perlengkapan memperoleh 13 kendaraan lainnya. Ini harus diusut," pinta Purwadi.

Sementara itu, Kepala Bagian Perlengkapan, Noer Oemarajati pernah mengatakan, penyerahan 28 Unit Kendaraan operasional Pemkot kepada Polrestabes Surabaya dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak dalam rangka pinjam pakai selama dua tahun. Saat itu, pihaknya juga mengakui bahwa peminjaman kendaraan itu masih bisa diperpanjang. Menurut Oemarajati, pinjam pakai tersebut adalah bagian dari upaya pemkot meningkatkan pengamanan kota. "Itu jelas bahwa pinjam pakai tersebut bukan sekedar momen lebaran seperti yang dikatakan walikota tapi memang sengaja dipinjamkan selama 2 tahun," pungkasnya.

Sementara itu, Walikota Surabaya melalui Kabag Humas Pemkot Surabaya, Nanis Chairani  mengaku tidak tahu mengenai pengadaan 13 mobil panther yang dilakukan tanpa proses lelang. Pihaknya hanya mengaku tahu bahwa Walikota Surabaya Tri Rismaharini secara simbolis menyerahkan mobil Station Wagon Isuzu Panther pada Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Coki Manurung dan Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKBP Jayadi pada tanggal 26 Agustus 2011.

"Masalah pengadaanya tanya langsung ke Bu Nur (Nur Oemarijati). Dia yang lebih tahu, saya tahunya hanya penyerehan 28 unit Panther itu," jelas Nanis. Pihaknya membantah jika peminjaman mobil yang dilakukan oleh Pemkot ke Polrestabes tersebut melanggar peraturan.

"Peminjaman yang dilakukan ini sudah diperhitungkan masak masak. Nggak ada aturan yang dilanggar Mas, kami justru ingin membantu (Polrestabes) sebagai sarana transportasi pengamanan selama lebaran," sangkal wanita berkacamata ini.

Bagaimana dengan kekurangan  mobil dinas yang ada di PU Bina Marga, Nanis beranggapan jika kesepakatan pinjam pakai tersebut tidak bisa dijadikan alasan bahwa keputusan Pemkot meminjamkan 28 mobil unit tersebut dijadikan dasar bahwa Pemerintah Kota Surabaya  tidak peduli pada instansinya. Sebab hal itu sudah sesuai dengan prioritas.(hab/bmb)

Rep. bambang utomo

http://kabarmetro.com/read/71/07/09/2011/usut-pengadaan-13-panther-.html

Digugat! Pinjam Pakai28 Panther Beraroma Suap

SURABAYA, (BM) - Pemberian 28 Unit Station Wagon - Isuzu Panther – oleh Pemkot Surabaya kepada Polrestabes yang dikemas pinjam pakai menunai gugatan. Sejumlah aktifis menduga pola pinjam pakai tersebut  diduga kuat merupakan bagian dari upaya suap yang dilakukan pemkot ke polrestabes.

Selain memunculkan aroma gratifikasi, penyerahan Panther tersebut juga menabrak sejumlah aturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, dari 28 unit yang dipinjam-pakaikan, pengadaan untuk 13 unit diantaranya dilakukan tanpa melalui proses lelang alias penunjukkan langsung.

Ironisnya lagi, penyerahan 28 Isuzu Panther tersebut dilakukan ketika PU Bina Marga dan Pematusan justru kekurangan mobil dinas. Untuk memenuhi kebutuhan itu, salah satu SKPD 'terbasah' dibawah naungan Walikota Tri Rhismaharini itu terpaksa rental 14 mobil. Itu dilakukan setiap enam bulan sekali dengan nilai sewa kendaraan Rp 4 juta/bulan atau Rp 56 Juta/bulan (untuk 14 kendaraan). Karena kontraknya per 6 bulan, Pemkot Surabaya harus merogoh kocek Rp 308 Juta.

"Ini yang memilukan dan sangat ironis. Bagaimana disaat pemkot sendiri harus rental belasan mobil, mereka malah meminjamkan 28 mobil ke Polrestabes," lontar Kordinator Masyarakat Pemantau Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan Pemprov Jatim Purwadi.

Melihat fakta bahwa pemkot masih rental mobil di luar, menurut Purwadi, pinjam pakai yang dilakukan pemkot-Polrestabes tersebut jelas melanggar aturan yang ada. Setidaknya menabrak Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Butir tiga (3) Permendagri mensyarakatkan bahwa pinjam pakai boleh dilakukan selama tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara tegas Permendagri malah mensyaratkan bahwa  barang milik daerah yang akan dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes)  tersebut sementara waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

"Syarat itu tegas melarang barang yang akan dipinjam pakaikan tidak sedang dibutuhkan dan tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi/SKPD. Faktanya pemkot masih rental untuk memenuhi kebutuhan mobil dinas," kritik Purwadi.

Dia menyindir, dengan dilakukannya kegiatan pinjam pakai kendaraan mobil dinas Pemkot Surabaya dan Polrestabes, berarti pengadaan 15 kendaraan Station Wagon Isuzu Panther  tersebut pada kenyataannya memang tidak dimanfaatkan oleh SKPD di lingkungan Pemkot Surabaya. Purwadi menuding realitas tersebut menunjukkan bahwa Rhisma dan jajaran dibawahannya tidak melaksanakan prinsip-prinsip Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.

Walikota, lanjut Purwadi masih menggunakan pola orde baru yakni Kinerja Berbasis Anggaran (KBA). "Bedanya jelas, dalam anggaran berbasis kinerja, anggaranlah yang disusun sesuai beban target kinerja. Sementara kinerja berbasis anggaran, maka kinerjalah yang diubah-ubah sesuai ketersediaan anggaran. Ini nggak boleh dibiarkan, warga Surabaya harus ikut mengawal dan mengusutnya," pinta aktifis yang dikenal cukup kritis ini.

Dia lantas mengungkap bahwa contoh nyata Kinerja Berbasis Anggaran adalah pengadaan 15 kendaraan Station Wagon Isuzu Panther  yang dilakukan oleh Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya. Pemkot, kata Purwadi hanya memanfaatkan anggaran yang ada dalam APBD untuk pengadaan 15 kendaraan Isuzu Panther.

Karena menggunakan pola Kinerja Berbasis Anggaran, maka selesai pengadaan, 15 kendaraan tersebut tidak digunakan (pemkot). Agar pengadaan tersebut terkesan tidak nganggur, pemkot kemudian mencari alasan dan menggunakan momen lebaran untuk melaksanakan kegiatan Perjanjian Pinjam Pakai Kendaraan Mobil Dinas dengan Polrestabes.

Masih menurut Purwadi, karena tidak berbasis kinerja, kegiatan Pinjam Pakai 28 mobil kendaraan dinas kepada Polrestabes Surabaya sudah pasti tidak mengganggu kelancaran bagian perlengkapan sebagai bagian dari Satuan Perangkat Daerah. "Jadi sekali lagi, seharusnya pinjam pakai tidak perlu dilakukan, karena faktanya Dinas PU Bina Marga dan Pematusan Kota Surabaya masih kekurangan mobil dinas," Purwadi.

Hal lain yang harus diamati bahwa mobil station wagon yang dipinjamkan kepada Polrestabes Surabaya memang bukan termasuk barang yang tidak habis pakai. Tapi kalau digunakan selama 2 tahun dan kemungkinan diperpanjang, maka nilai ekonomis kendaraan tersebut sudah pasti mengalami penurunan. Karena itu, ketika 28 mobil kendaraan tersebut akan dihapuskan dari daftar asset dan dilelangkan, Pemkot Surabaya sudah pasti akan merugi.

Purwadi menambahkan, Pinjam Pakai kendaraan dinas Pemkot Surabaya antara Walikota Surabaya dengan Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak termasuk kerjasama yang di atur dalam UU Kepolisian karena kerjasama Pinjam Pakai tersebut telah menimbulkan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Akan tetapi, kerjasama/perjanjian Pinjam Pakai tersebut tidak sah karena yang menandatangani perjanjian kerjasama pinjam pakai kendaraan dinas pemkot tersebut adalah Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak. "Kenapa sya katakan tidak syah, kita telah pelajari dasar hukumnya semua. Kalau ada yang nggak terima, nanti saya tunjukkan," pungkasnya sembari menunjukkan sejumlah pasal dalam UU Kepolisian maupun tata cara kerjasama kepolisian dengan lembaga pemerintah.

Disebut bermasalah, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Coki Manurung justru mengaku gembira ketika dalam pelaksanaan pengamanan Kota Suarabaya di saat lebaran, mendapat atensi dari Pemkot dengan bantuan pinjam pakai 28 unit Panther.

"Kendaraan tersebut untuk mendukung kekuatan unit Lantas di Polsek-Polsek. Ini seiring dengan perubahan struktur di tubuh Polri, setiap Polsek, saat ini sudah memiliki unit Lantas," ujar Coki Manurung.

Senada dengan Coki, Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti juga mengatakan kalau mobil yang semula berplat nomor merah dan sudah diganti dengan nomor polisi itu digunakan untuk pengamanan kota di bidang lalu lintas.

"Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak mempunyai kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini ya salah alamat," tutur Suparti saat ditemui di kantornya.

Suparti menegaskan, Polrestabes hanyalah pihak peminjam dan tidak ada kaitannya dengan persoalan di Pemkot. "Ya kalau untuk apa mobil itu dipinjam atau berapa unit yang dipinjam sih, kita bisa menjawab. Dan memang di situ kapasitas kami untuk menjawab," pungkas mantan Kapolsek Asemrowo ini. (hab/ars)

Rep. bambang utomo
Red. Habib

http://kabarmetro.com/read/70/07/09/2011/digugat!-pinjam-pakai28-panther-beraroma-suap.html

Selesaikan Kasus Mobdin Pemkot Surabaya senilai Rp 15,2 M Secara Hukum !!!

Hubungan Pemkot dengan DPRD Surabaya kembali tak harmonis. Kali ini pemicunya dewan mencoret anggaran mobil dinas (mobdin) Rp 15,2 miliar yang diajukan melalui Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2011. Sebelumnya, dua institusi penting ini beseteru lantaran Walikota Tri Rismaharini yang ngotot pajak/retribusi reklame dinaikkan. Sikap ngotot walikota ini hingga akhirnya dewan mengajukan hak interpelasi, bahkan nyaris berujung impeachment. Akankah hal ini kembali terulang?

Jika pada persoalan kenaikan pajak/retribusi reklame, dampak langsung hanya pada pengusaha reklame. Namun, persoalan mobdin ini jelas lain. Sebab, menyangkut penggunaan dana APBD yang nota bene uang rakyat. Parahnya lagi, pembelian mobdin itu sudah dilakukan Pemkot, sebelum anggaran yang diajukan itu disetujui dewan.

Terlepas dari sikap dewan itu ada kepentingan politik atau tidak, pembelian mobil-mobil itu terasa mewah di tengah masih banyaknya warga Surabaya yang masih dalam kategori miskin (dhuafa). Bagaimana tidak mewah pembelian itu. Dari puluhan mobil yang dibeli, 5 unit diantaranya jenis jeep 2.500 cc Mistsubishi Pajero Sport senilai Rp 2.068.000.000. Mobil ini dibeli dengan dalih dipinjampakaikan untuk Muspida.

Begitu juga dengan pembelian 28 unit mobil Isuzu Panther 2.500 cc untuk Polsek-Polsek di lingkungan Polrestabes Surabaya seharga Rp 6.314.000.000. Sedang untuk operasional camat-camat, Pemkot membeli 31 unit Panther senilai Rp 6.820.000.000. Total jenderal anggaran yang dihabiskan Rp 15,2 miliar (Rp 15.202.000.000).

Dana sebesar itu jika dialokasikan untuk pengentasan warga miskin, tentu akan lebih bermanfaat. Tapi mengapa Walikota melalui Bagian Perlengkapan lebih memilih membeli mobil-mobil tersebut? Padahal, mobil operasional yang ada masih bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Apakah ada kepentingan Pemkot terhadap institusi di luar Pemkot (Muspida)? Sehingga sejumlah persoalan hukum di Pemkot, misalnya, tak perlu disidik? Ataukah ada kepentingan segelintir pejabat dalam pengadaan ini, mengingat dalam investigasi lembaga swadaya masyarakat, dalam pengadaan mobil jeep tersebut bukannya ditender, melainkan penunjukan langsung.

Patut diwaspadai apa yang dilakukan Pemkot ini merupakan gratifikasi model baru. Ini setelah dana hibah ditengarai menjadi modus bagi pejabat untuk menerima gratifikasi atau suap, sudah dicium oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Modus ini merupakan cara untuk mengakali pemberian agar bisa lolos dari pemeriksaan hukum.

Karena itu, cara yang dilakukan Pemkot itu juga patut untuk diselidiki. Ada indikasi Pemkot melakukan pelanggaran Perda APBD. Sebab, pengadaan mobil dinas itu tidak didahuli dengan perubahan Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Bahkan, pengadaan Mobdin belum disetujui dewan.

Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana yang sekaligus Ketua Badan Anggaran (Banggar) jelas-jelas menyatakan ada indikasi pelanggaran atas pengadaan mobdin tersebut. Paling mencolok menabrak Undang-Undang 17/ 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Menurut Wishnu, banyak item pengadaan Bagian Perlengkapan yang tidak sesuai. Usulan melalui rencana kerja dan anggaran (RKA) APBD, dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), maupun dokumen pelaksanaan perubahan anggaran (DPPA) satuan kerja perangkat daerah (SKPD), yakni Bagian Perlengkapan saling tumpang tindih.

Dalam Undang- Undang 17/2003 pasal 34 ayat (2) disebutkan, Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang undang tentang APBN/ Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Melihat ini, Kejaksaan Negeri maupun Polrestabes Surabaya akan diam? Khawatirnya, persoalan ini hanya selesei secara politis. n (alimahfudz@yahoo.co.id)

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296235d2294cdab5768704afd775a623096c

Walikota Surabaya Tidak Pro Rakyat!
Gara-gara Mobdin Rp 15,2 M Dicoret, Walikota Boikot Paripurna DPRD, Pembayaran Utang Jamkesda Rp 62 M Terkatung-katung

SURABAYA- Ini indikasi Walikota Surabaya Tri Rismaharini tidak pro rakyat. Ribuan warga miskin Surabaya yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis bakal gigit jari. Gara-garanya, Walikota Tri Rismaharini memboikot rapat paripurna DPRD Surabaya, Selasa (29/11). Padahal, paripurna mengagendakan pengesahan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2011, yang di dalamnya membahas anggaran pembayaran dana jaminan kesehatan daerah (jamkesda) pasien non kuota ke sejumlah rumah sakit Rp 62 miliar. Anehnya lagi, sikap walikota itu karena DPRD mencoret anggaran pembelian mobil bagi Muspida dan Camat se Surabaya senilai Rp 15,2 miliar.

Sementara pembelian 5 unit Pajero Sport untuk Muspida, 28 unit mobil Isuzu Panther untuk Polsek-Polsek dan 31 unit Panther untuk camat se Surabaya, Dewan menemukan penyimpangan. Yakni, Pemkot sudah merealisasikan pembelian mobil tersebut, padahal penganggarannya belum disahkan. Selain itu, belanja mobil dinas (mobdin) itu dinilai tidak sesuai dengan Rencana Kegiatan Anggaran (RKA).

Pantauan di gedung DPRD Surabaya, hampir sebagian besar pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya mengikuti langkah Tri Rismaharini dengan tidak hadir dalam rapat paripurna tersebut. Ketidakhadiran wali kota tersebut, disampaikan melalui surat Nomor 005/6036/436.1.2/2011. Inti dari surat tersebut menjelaskan ketidakhadiran walikota karena belum ada kesepakatan bersama antara Badan Anggaran (Banggar) DPRD dengan Tim Anggaran Pemkot Surabaya terhadap materi PAK pada 28 November lalu.

Dalam surat itu, walikota juga menyatakan bedasarkan UU 32/2004 dan PP 58/2005, pengesahan terkait anggaran daerah harus disetujui bersama-sama antara pemerintah daerah dan DPRD.

Tak pelak berdasarkan surat yang diterima pada pukul 13.00 dan setelah sekali penundaan paripurna, akhirnya Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana sebagai pimpinan sidang menyatakan menunda sidang paripurna hingga waktu yang tidak ditentukan. "Dengan demikian penundaan sidang ini membuat pengesahan PAK 2011 juga tertunda," ujarnya.

Wishnu sendiri menyatakan sangat menyayangkan keputusan Walikota menolak hadir dalam sidang paripurna, sehingga penetapan PAK APDB 2011 gagal dilaksanakan. Padahal menurut kader partai Demokrat ini, dalam PAK 2011 telah disiapkan anggaran untuk pembayaran utang Jamkesda non kuota yang sudah ditagih oleh beberapa rumah sakit milik pemerintah kepada Pemkot Surabaya.

Setelah melalui pembahasan ketat, lanjut Wishnu, semua komisi di DPRD Surabaya sudah melakukan efisiensi anggaran sampai dengan Rp190 miliar. Dari total tersebut, kata Wishnu, dewan sudah menyepakati Rp36 miliar untuk menambah anggaran Dinas Kesehatan guna membayar utang jamkesda non kuota di rumah sakit-rumah sakit rujukan.

"Kalau ditambah anggaran Dinkes yang Rp26 miliar, totalnya sudah ada Rp62 miliar. Sebagian besar dipergunakan untuk pembayaran Jamkesda non kuota di RSUD dr.Soetomo dan sisa Rp10 miliar untuk rumah sakit lain," beber Wishnu.

Sikap menyayangkan juga berasal dari partai pengusungnya, PDIP. Sekretaris DPC PDIP Baktiono yang juga Ketua Komisi D meminta agar walikota bersedia menghadiri sidang paripurna pada penetapan jadwal berikutnya. Menurut Baktiono, PAK perlu segera disahkan mengingat di dalamnya ada komitmen pembayaran utang Jamkesda non kuota. "Kita sudah ada komitmen pembayaran Jamkesda non kuota di PAK 2011. Tinggal pengesahan, dan masyarakat kembali tidak khawatir untuk berobat di rumah sakit," tegas Baktiono.

Pelanggaran Pidana

Sementara itu, mengenai ketidaksepakatan Tim Anggaran dengan DPRD Surabaya, sebagai alasan ketidakhadiran Walikota dalam paripurna pengesahan PAK 2011, Wishnu Wardhana kembali menegaskan Pemkot tidak punya alasan untuk menolak. DPRD Surabaya, tegas Wishnu, akan tetap mencoret tiga item pembelian mobil operasional yang dilakukan Pemkot Surabaya karena melanggar ketentuan perundangan.

"Perdasarkan Permendagri 13/2010 pasal 130, semua pergeseran anggaran ataupun kegiatan dalam APBD harus mendapat persetujuan DPRD," tandas Wishnu.

Wishnu menyebutkan tiga item pembelian mobil operasional yang menjadi masalah, yakni pembelian 28 station wagon 2500 cc (Panther) tanpa perencanaan di Rencana Kegiatan Anggaran (RKA). Pembelian 31 station wagon 2500cc untuk camat serta pembelian lima unit Jeep Pajero yang tidak sesuai RKA. "Soal jeep itu yang di RKA jeep 2000cc, sementara yang dibeli Jeep Pajero 2300cc, ini juga berbeda dari RKA," tegasnya.

Lantaran indikasi pelanggarannya sudah jelas, Wishnu menegaskan tidak akan mengajukan interpelasi. Justru ia berharap Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) maupun Kejaksaan turun tangan mengusut dugaan penyelewengan pembelian mobdin tersebut. "Tunggu apa lagi, pelanggarannya sudah jelas di depan mata. KPK atau kejaksaan seharusnya mengusut," kata Wishnu.

Hanya saja, lanjut Wishnu, untuk masalah pidana ini pihaknya akan konsultasi dengan Mendagri dan Gubernur Jatim. Namun demikian, lanjutnya, berdasarkan UU 17/2003 tentang keuangan negara, pasal 34 menyebutkan organisasi, SKPD, pemerintah daerah yang melakukan penyimpangan dari APBD akan dikenakan sangsi pidana dan administrasi.

Klarifikasi Pemkot


Sementara itu, Kepala Bagian Perlengkapan Noer Oemarijati membantah jika dirinya menyalahi rencana kerja anggaran (RAK). Pembelian mobil dinas itu sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Baik proses pengajuan hingga pengadaan.

Pihak pemkot tidak mempermasalahkan dicoretnya anggaran pembelian mobdin senilai Rp 15,2 miliar. "Kalau memang dicoret ya tidak apa-apa. Lagipula kita tidak mungkin meminta kembali kendaraan operasional yang telah kita distribusikan. Itu kan untuk kepentingan orang banyak. Yang untuk Polrestabes kan untuk patroli keamanan jalan raya. Sementara kecamatan untuk melayani kepentingan masyarakat," katanya.

Sementara 5 pajero sport yang kini tengah menunggu STNK selesai, akan segera didistribusikan. "Nanti akan kita distribusikan. Ini masih menunggu perintah walikota," paparnya.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Hendro Gunawan mengatakan setelah DPRD menolak dengan mencoret anggaran ini, pemkot akan melakukan revisi ulang. "Kita (Pemkot) sudah upayakan, tetap akan melakukan revisi dan kronologis yang benar. Tetapi nantinya juga perlu dikaji ulang dari sisi hukum," ujarnya. n ton/ov

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962a3cc8b3a618bc3f0dd892461a04df22c

DPRD Surabaya Coret Anggaran Mobdin yang sudah terlanjur di beli Pemkot Surabaya

SURABAYA- Usaha Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang meminta dukungan DPRD Surabaya agar menyetujui anggaran pembelian mobil dinas (Mobdin), akhirnya gatot alias gagal total. Badan Anggaran (Banggar) DPRD Surabaya secara resmi mencoret pengajuan Pemkot Surabaya untuk pembelian mobil dinas bagi unsur Muspida dan Camat se Surabaya senilai Rp 15,2 miliar.

Anggaran sebesar itu awalnya akan digunakan Pemkot untuk pengadaan mobil Pajero Sport untuk Muspida dan Panther untuk kendaraan operasional Polsek-Polsek di lingkungan Polrestabes Surabaya. Selain itu, anggaran itu juga untuk pembelian 31 mobil camat. Anehnya, meski belum ada persetujuan Dewan dan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) 2011 belum disahkan, tapi Pemkot sudah berani membeli mobil-mobil tersebut.

Sementara pencoretan anggaran itu diputuskan dalam rapat Banggar, Senin (28/11). Dalam rapat yang menghadirkan Tim Anggaran Pemkot Surabaya itu, Banggar menilai usulan yang diajukan Pemkot Surabaya itu menabrak Undang-Undang 17/2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. "Ini (pencoretan) hasil rapat Banggar, Banmus (Badan Musyawarah) dan Tim Anggaran (pemkot). Usulan Bagian Perlengkapan ada yang mencolok, ada yang di-drop, dan ada yang digeser-geser sendiri," tandas Ketua Banggar sekaligus Ketua DPRD Wishnu Wardhana seusai rapat, kemarin.

Wisnu menambahkan banyak item pengadaan Bagian Perlengkapan yang tidak sesuai. Usulan melalui rencana kerja dan anggaran (RKA) APBD, dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), maupun dokumen pelaksanaan perubahan anggaran (DPPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yakni Bagian Perlengkapan saling tumpang tindih.

"Antara RKA, DPA dan DPPA tidak sesuai, terdapat selisih antara jumlah usulan dengan jumlah pembelanjaan," ungkap mantan Ketua DPC Partai Demokrat Surabaya ini.

Item pengadaan yang sudah terbeli, kata Wishnu, menjadi tanggung jawab SKPD, dalam hal ini Bagian Perlengkapan. "Ini jelas menyimpang dari APBD. RKA merupakan embrio APBD," tandas Wishnu.

Sementara mobil-mobil yang sudah dibeli tanpa melalui pengusulan anggaran dinilai Wishnu sebagai tindakkan tidak sportif dan patut disesalkan. Harusnya pemkot mengutamakan anggaran buat program yang langsung menyentuh warga miskin (gakin). "Utang Pemkot ke RSU dr Soetomo terkait Jamkesda saja belum terbayar. Nilainya Rp52 miliar," ingatnya.

Wishnu menegaskan pencoretan atas usulan mobil dinas itu sudah final dan Selasa (29/11) hari ini akan disahkan melalui rapat paripurna pengesahan P-APBD 2011. "Besok (hari ini) rapat paripurna. Ada dan tak ada pemkot, tetap akan diagendakan. Ini domain dewan," tandas Wishnu.

Sekadar diketahui, dalam rapat kemarin dihadiri seluruh anggota Banggar dan Banmus. Sedangkan dari pemkot ada ketua tim anggaran eksekutif Sukamto Hadi (Sekkota), Asisten II Bidang Perekonomian Pembangunan Sekkota Muhlas Udin, Kepala Bappeko Hendro Gunawan, Kabag Perlengkapan Noer Oemarijati, dan lainnya. Sayangnya, saat mereka dikonfirmasi, tak satu pun yang mau bicara.

"Aku emoh komentar," ucap Noer Oemarijati. Hal senada juga dikatakan Muhlas Udin. "Sik yo..koordinasi maneh (akan koordinasi lagi, red), cetus Muhlas.

Namun sebelumnya, Noer Oemarijati menyatakan pemberian pinjam pakai mobdin untuk sejumlah instansi Muspida sudah sesuai prosedur. Semisal dengan ada dasar hukumnya, yakni PP no 6 Tahun 2006, PP no 38 tahun 2008 dan Permendagri no 17 tahun 2007 tentang pengelolaan barang milik daerah.

"Dan pemkot juga tidak asal memberi pinjam pakai. Melainkan adanya pengajuan pinjam pakai dari sejumlah instansi yang bersangkutan," ujar Noer Oemarijati dikonfirmasi, sehari sebelum rapat Banggar. n ton/ov

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829625f4c385eb3537d62866374c1c0aa04f8

Kasus Mobdin : Gubernur Jatim Salahkan Walikota Surabaya

SURABAYA- Upaya Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang terus melobi DPRD Surabaya agar mendukung anggaran pembelian mobil dinas (Mobdin) Muspida senilai Rp 9 miliar, tak membuat kalangan dewan bergeming. DPRD tetap akan mencoret anggaran itu dalam rapat pengesahan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2011. Menariknya, sikap dewan ini mendapat dukungan dari Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

Gubernur menegaskan semua jenis belanja yang dilakukan pemerintah daerah harus sesuai APBD yang telah ditetapkan. Ketentuan itu sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. "Kalau tidak ada di APBD, tidak boleh. Itu penjelasan saya," tegas Soekarwo saat menghadiri Bhakti Sosial PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) di Alun-alun Pacitan, Minggu (27/11).

Seperti diberitakan, Bagian Perlengkapan melalui PAK 2011 menganggarkan pengadaan mobil, alat berat dan alat kantor. Jumlahnya terbilang aneh. Dari semula Rp27 miliar, tiba-tiba meningkat menjadi Rp36 miliar. Selisih anggaran Rp9 miliar itu akhirnya dipermasalahkan oleh dewan, karena diduga untuk membeli mobil operasional untuk Muspida Surabaya sebanyak 33 unit. Rinciannya, 28 unit mobil jenis Isuzu Panther diserahkan kepada Polrestabes Surabaya untuk kendaraan operasional di tingkat Polsek. Sedangkan lima unit kendaraan jenis Pajero Sport untuk operasional pimpinan institusi samping yang termasuk dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan kepada institusi samping dengan status pinjam pakai.

Namun, pengadaan mobil itu dinilai tidak beres, karena dibeli sebelum PAK 2011 disahkan. Karena itu pula, Walikota melalui dua suratnya 900/5801/436.1.2/2011 dan 900/5811/426.3.1/2011 agar DPRD memberi dukungan pengadaan mobil tersebut.

Sementara sikap dewan menolak pengadaan mobdin itu sepertinya sudah bulat. Badan Musyawarah (Banmus) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Surabaya, Senin (28/11) hari ini, rencananya mengundang Tim Anggaran Pemkot untuk menanyakan kembali alokasi pengadaan kendaraan operasional tersebut. Jika pemkot dinilai tidak bisa memberikan jawaban memuaskan, DPRD hampir pasti mendelete (menghapus) pengajuan anggaran pengadaan kendaraan operasional.

"Kita tunggu besok (hari ini, red). Kita akan bertemu lagi dengan tim anggaran pemkot. Jika tetap tidak bisa memberikan penjelasan ke kami, pasti akan kita coret," kata Ketua Banmus dan Banggar Wishnu Wardhana (WW) dihubungi Surabaya Pagi, sore kemarin.

Mantan Ketua DPC Partai Demokrat Kota Surabaya ini menambahkan, berdasarkan rapat terakhir Banggar di DPRD, pihaknya tetap memandang Pemkot tidak bisa memberikan penjelasan atas pengajuan anggaran lewat PAK. WW menyatakan pemkot bersikukuh menyatakan tidak ada penambahan anggaran, sedangkan Pemkot bersikukuh ada tambahan dana hampir Rp 9 miliar itu. Tepatnya, Rp 8.807.828.127.

Dalam rapat tersebut, lanjut Wisnu, Banggar tetap menilai anggaran Rp 8,8 miliar tidak jelas. "Karena itu kita akan memastikan lagi dalam rapat besok (hari ini). Jika tidak ada penjelasan, kita akan drop usulan pemkot yang dimasukkan dalam Bagian Perlengkapan," tegas dia.

Pemkot sendiri dalam surat wali kota nomor 900/5811/436.3.1/2011 menyatakan anggaran di Bagian Perlengkapan adalah Rp 72,126 miliar untuk belanja langsung dan Rp 4,665 miliar untuk belanja tidak langsung. Anggaran itu sudah direalisasikan Rp 40,176 miliar yang terdiri Rp 36,758 untuk belanja langsung dan Rp 3,417 miliar untuk belanja tidak langsung.

Sedangkan versi DPRD, menyatakan anggaran itu Rp 27 miliar. "Kok bisa jadi Rp 36 miliar, ini darimana?" ungkap wisnu heran. Dasar dia adalah APBD 2011. Kata WW, jika tidak ada penambahan maka semestinya antara data PAK yang diajukan pemkot sama persis dengan APBD 2011. "Wong ini ada kenaikan Rp 8,8 miliar kok," cetusnya kemudian.

Ia mengindikasikan kenaikan itu untuk membiayai pembelian kendaraan 28 mobil Panther dan Pajero Sport lima unit. Menurut WW, hal tersebut tidak dibenarkan. "Kalau terjadi pergeseran, harus melalui perubahan anggaran dulu. Tidak bisa membeli dulu, kemudian anggarannya dimasukkan belakangan," tambahnya.

Anggap Sesuai Prosedur

Tudingan dewan terkait adanya permainan pada perubahan anggaran keuangan (PAK) untuk membiayai pembelian mobil dinas (mobdin) yang dipinjam pakaikan ke sejumlah instansi membuat sejumlah pejabat pemkot sepakat untuk irit bicara. Berdalih masih ada pasien, Asistem II Bidang Administrasi Pembangunan Mukhlas Udin tak ingin memberikan banyak komentar. Melalui pesan singkatnya, ia mengaku belum bisa berkomentar banyak terkait persoalan tersebut. "Maaf saya masih ada pasien. Komentarnya besok saja," ujar pejabat yang juga seorang dokter ini.

Senada, Kepala Bagian Perlengkapan Noer Oemarijati bersikukuh enggan berkomentar banyak terkait semua hal yang menyangkut mobil dinas (Mobdin). Ia hanya mengatakan jika pemberian pinjam pakai mobdin untuk sejumlah instansi muspida sudah sesuai prosedur. Semisal dengan ada dasar hukumnya, yakni PP no 6 Tahun 2006, PP no 38 tahun 2008 dan Permendagri no 17 tahun 2007 tentang pengelolaan barang milik daerah.

"Dan pemkot juga tidak asal memberi pinjam pakai. Melainkan adanya pengajuan pinjam pakai dari sejumlah instansi yang bersangkutan," ujar Noer Oemarijati dikonfirmasi terpisah. n ton/arf/ov

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296210a074d916e4ba1f98e65cf7e68a0b18

Walikota Surabaya Ngotot Mobdin Rp 9 M, akan Diadukan ke BPK dan KPK oleh DPRD Surabaya

SURABAYA- DPRD Surabaya jelas-jelas menolak pengadaan 59 unit mobil jenis Isuzu Panther dan mobil Pajero Sport senilai Rp 9 miliar. Namun, Walikota Surabaya Tri Rismaharini tetap ngotot agar dewan tetap menyetujui penambahan anggaran tersebut melalui PAK (Perubahan Anggaran Keuangan) 2011. Sikap walikota itu terungkap dari dua surat yang ditujukan ke Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana.

Ada beberapa surat dengan tanggal yang sama, antara lain no 900/5801/436.1.2/2011 dengan isi permohonan dukungan anggaran untuk pengadaan 5 unit kendaraan operasional untuk Muspida kota Surabaya dan dana hibah untuk Polrestabes Surabaya yang besarnya Rp 3.250.483.801.

Surat kedua bernomer 900/5811/426.3.1/2011 dengan isi permohonan agar anggaran untuk bagian perlengkapan kota Surabaya yang terpotong sebesar Rp 8.807.828.127,- atas keputusan pimpinan rapat badan anggaran dikembalikan sebagaimana yang diajukan.

Menanggapi surat walikota tersebut, Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana tidak bergeming. Bahkan dengan lantang mantan ketua DPC Partai Demokrat Kota Surabaya ini mengaku tetap tidak akan menyetujui dan mengabulkan surat walikota tersebut. "Bagaimana mungkin saya mau menyetujui, wong tahapan dan mekanismenya tidak dilalui sesuai aturan, " ujar Wishnu, Jumat (25/11).

Wisnu menambahkan, jika pembelian tersebut dilakukan sesuai dengan mekanisme yang benar, maka pihaknya akan menyetujui. Namun karena dari awal mekanisme yang dilakukan Pemkot tidak benar, maka pihaknya tidak mau mengambil risiko hukum di kemudian hari.

Masih menurut Wisnu, dalam waktu dekat, pihaknya akan melaporkan pelanggaran ini ke Badan Pemeriksa Keungan (BPK), karena pengadaan mobil tersebut menabrak rambu aturan yang ada. "Kalau soal pidananya bukan wewenang kita ( dewan-red). Kkita ingin mencari tahu ada kerugian negara atau tidak, " paparnya.

Ketika disinggung apakah dalam paripurna pengesahan PAK nantinya anggaran tersebut tetap dicoret, Wisnu mengatakan, secara otomatis DPRD akan mencoret anggaran tersebut dalam sidang paripurna pengesahan PAK. "Sidang akan kita gelar tanggal 29 November mendatang, " tegasnya.

Sementara itu, Ketua Fraksi PDIP DPRD Surabaya Saifudin Juhri mengatakan, ketidakmampuan Kepala Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya Noer Oemariati dalam menjawab pertanyaan sejumlah anggota dewan perihal penambahan anggaran Rp 9 miliar membuat pihaknya ingin menanyakan langsung perihal tersebut kepada walikota Surabaya.

Ketika disinggung apakah hal itu berarti DPRD akan menggunakan haknya untuk melakukan interpelasi, anggota Komisi C ini mengatakan, interpelasi (hak bertanya ) merupakan hak melekat yang dimiliki oleh setiap anggota DPRD Surabaya. "Opsi itu bukan sesuatu yang haram untuk dilakukan, " pungkasnya.( Ton)

Seperti diberitakan, Bagian Perlengkapan melalui PAK 2011 menganggarkan pengadaan mobil, alat berat dan alat kantor. Jumlahnya terbilang aneh. Dari semula Rp27 miliar, tiba-tiba meningkat menjadi Rp36 miliar. Selisih anggaran Rp9 miliar itu akhirnya dipermasalahkan oleh dewan, karena diduga untuk membeli mobil operasional untuk Muspida Surabaya sebanyak 33 unit. Rinciannya, 28 unit mobil jenis Isuzu Panther diserahkan kepada Polrestabes Surabaya untuk kendaraan operasional di tingkat Polsek. Sedangkan lima unit kendaraan jenis Pajero untuk operasional pimpinan institusi samping yang termasuk dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan kepada institusi samping dengan status pinjam pakai. n ton

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829622ed2fea1de3ad82286cc3d4a337c9023


Banser ANSOR Surabaya : Walikota Surabaya Layak Dipidanakan terkait  Pembelian 59 Mobil Senilai Rp 9 M

SURABAYA – Pengadaan 59 unit mobil jenis Isuzu Panther dan mobil Pajero Sport oleh Bagian Perlengkapan Pemkot Surabaya senilai Rp 9 miliar, bakal berujung ke masalah hukum. Proses pengadaannya dinilai menabrak aturan yang ada. Walikota Tri Rismaharini dan Kabag Perlengkapan Noer Oemariati pun bisa dipidanakan.

Tak heran jika pengadaan puluhan mobil yang dipinjampakaikan ke Polrestabes dan seluruh Camat di lingkungan Pemkot Surabaya itu bukan saja menjadi perhatian sekaligus memantik reaksi kalangan DPRD. Beberapa elemen masyarakat tak ketinggalan menyoroti dan terus memantau perkembangan masalah yang kini membuat geger Kota Pahlawan.

Sekretaris Satkorcab Banser Surabaya Hasyim Asy'ari mengatakan aparat hukum skala Surabaya maupun Jawa Timur diminta segera menindaklanjuti masalah ini. "Tengara pelanggaran hukum sudah di depan mata. Mobil dibeli dulu dan anggaran baru diajukan melalui PAK (Perubahan Anggaran Keuangan) APBD 2011. Apa itu dibenarkan?," ungkap Hasyim Asy'ari saat dihubungi Surabaya Pagi, Kamis (24/11).

Indikasi kuat lain pengadaan tak sesuai prosedur berupa keberadaan surat Walikota Tri Rismaharini, tertanggal 22 November, yang ditujukan kepada Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana. Perihal dua surat yang juga diterima 22 November itu tentang permohonan dukungan anggaran operasional untuk Polrestabes dan Muspida.

"Ini kan aneh, mobil dibeli dulu tapi anggaran baru diajukan, dan bahkan pihak pemkot sampai minta dukungan dari dewan karena khawatir pengajuan anggaran tidak disetujui," ujar alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Menurut Hasyim, yang harus menjadi fokus perhatian adalah dari mana dan dengan anggaran apa Bagian Perlengkapan membeli puluhan mobil tersebut. Anggaran apa yang dijadikan sebagai dana talangan pengadaan. "Memang pemberian pinjam pakai kendaraan ke instansi samping itu perlu untuk mendukung pengamanan kota demi keberhasilan pemerintahan di Surabaya. Tapi kalau itu ada tujuan yang lain dan diberikan pada saat yang kurang tepat, maka sebaiknya Pemkot memberi penjelasan ke masyarakat," harap dia.

Seperti diberitakan, Bagian Perlengkapan melalui PAK 2011 menganggarkan pengadaan mobil, alat berat dan alat kantor. Jumlahnya terbilang aneh. Dari semula Rp27 miliar, tiba-tiba meningkat menjadi Rp36 miliar. Selisih anggaran Rp9 miliar itu akhirnya dipermasalahkan oleh dewan, karena diduga untuk membeli mobil operasional untuk Muspida Surabaya sebanyak 33 unit. Rinciannya, 28 unit mobil jenis Isuzu Panther diserahkan kepada Polrestabes Surabaya untuk kendaraan operasional di tingkat Polsek. Sedangkan lima unit kendaraan jenis Pajero untuk operasional pimpinan institusi samping yang termasuk dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan kepada institusi samping dengan status pinjam pakai.

"Jangan sampai aparat hukum tidak memproses masalah ini lantaran sudah menerima kendaraan, kendati hanya dipinjampakaikan," pinta Hasyim.

Ketua DPRD Wisnu Wardhana menegaskan yang dipersolkan dewan adalah mekanisme pembelian kendaraan tersebut. Sebab di dalam APBD 2011 yang telah disahkan tidak pernah dicantumkan, namun pemkot tetap saja membeli. "Dewan tidak menyetujui karena jika kita oke maka kita harus mempertanggungjawabkan konsekuensinya," kata Wisnu.

Dengan tanpa ada persetujuan dewan, Wisnu menyatakan segala perbuatan yang telah diambil Pemkot tentunya akan menimbulkan konsekuensi. Ia mencontohkan dalam dokumen disebutkan belanja station wagon 1500 cc tetapi kenyataannya kendaraan yang dibeli 2500 cc. Perubahan itu, kata Wisnu, tentu juga mempengaruhi harga.

"Melanggar aturan itu ada konskekuensinya. Jangan sampai karena kelalaian harus menanggung konsekuensi. Jadi jangan nabrak aturan. Mereka (pejabat Pemkot) mestinya kan sudah pengalaman," cetus Wisnu.

Penunjukan Langsung

Sementara itu, Masyarakat Pemantau Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan Pemerintah ( MP3KP ) Eusbius Purwadi menuding bahwa pengadaan barang berupa mobil jenis JEEP 2000 cc oleh Bagian Perlengkapan kota Surabaya terindikasi kuat melanggar UU Perbendaharaan no 1 Tahun 2004 dan Keuangan Negara no 17 Tahun 2003. Bahkan, pengadaan itu mengarah ke penyimpangan yang menimbulkan potensi kerugian negara.

Ia menjelaskan proyek pengadaan barang mobil jenis JEEP 2000 CC menggunakan sistem penunjukan langsung (PL) dengan pelaksana PT Mayangsari Berlian Motor (MBM) beralamat di Jl Gajah Mada no 224 A Jember. Anehnya, hasil penelusuran di lapangan, alamat yang dimaksud sebagai tempat PT Mayangsari Berlian Motor di kota Jember bukan dealer mobil. Tetapi, tempat bengkel mobil jenis Mitsubisi.

Jika mengacu Perpres 54 tahun 2010 pasal 13, maka Pemkot Surabaya telah menabrak aturan itu. Sebab, di dalamnya jelas tertulis bahwa pejabat pembuat komitmen dilarang mengadakankan ikatan perjanjian atau menanda tangani kontrak dengan penyedia barang dan jasa, apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari APBN atau APBD.

"Pemkot Surabaya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang menyangkut keuangan negara, terkait kasus pemebelian Jeep oleh bagian perlengkapan ini," jelas Purwadi.

Dari kasus ini, selain Noer Oemiyati selaku Kabag Perlengkapan kota Surabaya, sejumlah nama lain yang terlibat proses penunjukan langsung pengadaan mobil jenis Jeep adalah Denny Irfandi, Robben Rico, Syamsul Hadi, Moh Reifkie Arijanto, dan Krisna Dwi Hariyadi. Mereka turut bertanda tangan dalam surat keputusannya.

Sementara itu, Kabag Perlengkapan Noer Oemariati ketika dihubungi melalui telepon selulernya terdengar nada sambung namun tidak diangkat. Ketika dikonfirmasi via SMS, hingga tadi malam tak ada jawaban. Isi SMS, "Bu saya dari Surabaya Pagi mau konfirmasi perihal pengadaan mobil jenis panther dan pajero sport." Padahal, SMS tersebut dengan laporan terkirim.

Berdasarkan pantauan Surabaya Pagi, mobil jenis Isuzu Panther warna hitam yang dipakai oleh semua camat terlihat memadati gedung DPRD, Rabu (23/11) lalu, ketika ada acara sosialisasi 3 Perda yang dilakukan Badan Legislasi DPRD Surabaya. n ton

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962537b99a2a04f4a08186474dcf006b260

Walikota Surabaya Harus Bertanggung Jawab, Soal Mark-Up Anggaran Mobil yang Mestinya Rp 27 M Diajukan Rp 36 M

Kamis, 24 November 2011

SURABAYA- Kebijakan Walikota Surabya Tri Rismaharini kembali menuai kontroversi. Pengadaan mobil yang anggarannya tiba-tiba membengkak dari Rp 27 miliar menjadi Rp 36 miliar, dinilai sarat penyelewengan. Bahkan, diindikasi adanya tindak pidana korupsi. Pasalnya, selain adanya perubahan peruntukan, pengadaan mobil yang diajukan melalui Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) 2011 tidak melalui prosedur yang semestinya. Belum disetujui oleh DPRD Surabaya, tapi Pemkot sudah membeli mobil-mobil tersebut.

"Kami sudah 2,5 tahun duduk di dewan. Jadi tidak bisa dibodohi lagi dengan cara-cara Pemkot yang menyusupkan anggaran," ungkap anggota Komisi C DPRD Surabaya Agus Santoso dikonfirmasi, Rabu (23/11). "Ini awal penyelewengan," tandas politisi Partai Demokrat itu.

Agus menjelaskan penyusupan anggaran oleh Bagian Perlengkapan melalui PAK 2011. Di dalam penganggaran mobil, alat berat dan alat kantor meningkat dari Rp27 miliar menjadi Rp36 miliar. Selisih anggaran Rp9 miliar itu akhirnya dipermasalahkan oleh dewan, karena diduga digunakan Pemkot untuk membeli mobil operasional untuk Muspida Surabaya sebanyak 33 unit. Rinciannya, 28 unit mobil jenis Isuzu Panther diserahkan kepada Polrestabes Surabaya untuk kendaraan operasional di tingkat Polsek. Sedangkan lima unit kendaraan jenis Pajero untuk operasional pimpinan institusi samping yang termasuk dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan kepada institusi samping dengan status pinjam pakai.

"Tapi anehnya melalui usulan sarana prasarana 2012, Bagian Perlengkapan kembali mengajukan lima unit Pajero. Ini apa-apaan? Kami tidak bisa dibodohi lagi. Ini yang membuat Pak WW (Ketua DPRD Wishnu Wardhana) akhirnya memutuskan mencoret anggaran Rp9 miliar itu karena dinilai tidak jelas," ungkap Agus.

Hal sama diungkapkan anggota Badan Anggaran (Banggar) Syaifudin Zuhri. Ia mengungkapkan kesepakatan sebelumnya antara Pemkot dengan Banggar disebutkan tambahan anggaran APBD 2011 melalui PAK adalah Rp27 miliar. Namun, lanjut Syaifudin, dalam naskah PAK yang akan ditetapkan Selasa lalu, Pemkot menuliskan Rp36 miliar, selisih Rp9 miliar dari kesepakatan semula. Atas hal ini, lanjut ketua Fraksi PDIP ini, Banggar memanggil jajaran Pemkot untuk rapat banggar sebelum rapat paripurna.

"Dalam rapat tersebut Pemkot tetap bersikukuh Rp36 miliar, namun tidak bisa menjelaskan penggunaanya. Pihak legislatif sendiri tetap pada keputusan awal pada angka Rp27 miliar mengingat tidak ada waktu lagi untuk melakukan pembahsan ulang," papar Syaifudin.

Karena tidak ada kesepakatan, tambahnya, Pemkot akhirnya melakukan walk out dari rapat dengan alasan untuk berkoordinasi. Akibat tidak adanya penjelasan dari Pemkot mengenai tambahan anggaran Rp 9 miliar, banyak yang menghubungkannya dengan masalah pembelian kendaraan operasional angkutan darat yang dinilai legislatif melanggar aturan.

Kasus pembelian kendaraan ini, lanjut Syaifudin, memang mencuat bersamaan dengan kengototan Pemkot untuk menambah anggaran PAK 2011. Jika dihitung menjadi Rp36 miliar. 'Memang kalau dihitung Pemkot telah melakukang pembelian kendaraan baru dengan nilai hampir Rp9 miliar," tambahnya.

Memang Pemkot sebelumnya diketahui telah melakukan pembelian kendaraan operasional yang tidak sesuai Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) 2011 dan tanpa melalui PAK. Tercatat ada tiga item rencana pembelian kendaraan operasional yang dipertanyakan Banggar, yaitu 28 unit kendaraan kelas Panther yang sudah dipergunakan untuk pinjam sewa dengan Polrestabes Surabaya, 31 kendaraan jenis panther yang digunakan camat dan 5 unit kendaraan kelas Jeep Pajero.

Tiga item pembelian kendaraan operasional itu disebut menyalahi rencana kegiatan Anggaran 2011, bahkan ada yang sebelumnya tidak dianggarkan sama sekali namun diajukan dalam PAK 2011. Dalam RKA 2011 dianggarkan pembelian pengadaan Alat Angkutan Darat yang terdiri dari 4 unit Jeep 2000cc senilai Rp1,359 miliar, 31 unit station wagon 1500cc senilai Rp5,413 miliar.

Namun dalam laporan pembelian muncul pembelian yang berbeda dari RKA 2011, yaitu pembelian Jeep 2000cc sebanyak lima unit senilai 1,699 miliar, station wagon 2500cc sebanyak 31 unit seharga Rp6,820 miliar, dan pembelian 28 station wagon 2500cc rotary seharga Rp6,314 miliar. Dalam laporan kepada Banggar kemarin Pemkot menyebut 31 unit station wagon 2500 cc dipergunakan untuk kendaraan operasional camat, sedangkan lima Jeep 2000cc untuk operasional Pemkot.

Sementara penggunaan 28 unit station wagon 2500cc tidak dijelaskan, namun sebagian legislaatif menyebut kendaraan ini untuk dipinjampakaikan pada Polrestabes Surabaya sejak empat bulan lalu.

Diindikasi Korupsi

Dugaan korupsi menyeruak dalam pengadaan mobil operasional buat camat, Polsek dan unsur Muspida. Pasalnya pembelian tersebut mengalami cacat prosedur karena tanpa persetujuan DPRD Surabaya. Pengamat hukum Unair I Wayan Titib mengatakan, setiap penggunaan anggaran harus mendapatkan persetujuan dari DPRD. Sebab, UU Pemerintah Daerah mengharuskan hal tersebut. "Kalau tidak ada persetujuan DPRD ya cacat prosedur, patut diduga ada unsur korupsi di situ," ungkap Wayan dihubungi secara terpisah.

Wayan menjelaskan dalam nomenklatur anggaran sudah tertuang jelas jenis mobilnya, lalu kemudian diubah di tengah jalan tanpa persetujuan DPRD. Maka sudah kelihatan jelas unsur perubahan peruntukan. Lantaran uang tersebut bersumber dari APBD, maka patut diduga ada kerugian Negara. "Kan beda harga antara yang 1500 CC dengan yang 2500 CC, sementara nomenklatur anggarannya berbunyi 1500 CC. Jangan-jangan ada konspirasi antara pihak Pemkot selaku kuasa pengguna anggaran dengan pengusaha yang memenangkan tender tersebut," terang Wayan.

Masih menurut Wayan, tindak pidana korupsi terbesar se Indonesia memang terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Oleh karena itu lembaga penegak hukum harus melakukan pengawasan ekstra keras terhadap hal ini. "Masyarakat juga harus melakukan pemantauan," paparnya.

Ketika disinggung siapa pihak yang paling bertanggung jawab, Wayan mengatakan, semua tanggungjawab pengadaan ada pada kepala biro perlengkapan Pemkot Surabaya,. Sebab anak buah hanya menjalankan perintah atasan saja. "Sistem birokrasi kita hanya menjalankan perintah atasan saja, jadi yang bertanggungjawab ya pejabat yang paling tinggi di SKPD tersebut, " terangnya. Namun, lantaran hal tersebut diketahui Walikota, maka Risma juga harus bertanggung jawab.

Oleh sebab itu, lanjut Wayan, dirinya meminta kepada Kejati dan Polda Jatim untuk turun melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. "Kalau diam saja ya patut diduga ada apa-apa," pungkasnya. n ton

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962ba5356a3581751d821ca221f5246e680


Pinjam Pakai Mobil dengan Polrestabes Surabaya, Pemkot Surabaya Tabrak Aturan Berlapis

Surabaya, (BM) – Berdalih membantu kepolisian untuk operasinal pengamanan kota sebagai kebuthan yang diprioritaskan, Pemerintah Kota Surabaya rela melanggar sejumlah aturan, di antaranya Permendagri 17 tahun 2007 dan PP 68 Tahun 2008. Namun Pemkot kekeuh bahwa kebijakan pinjam pakai 28 unit mobil Station Wagon Isuzu Panther dari kepada Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) dan Polres Tanjung Surabaya tak melanggar hukum.

Satu regulasi –di antara beberapa aturan lain- yang nampak terang telah dilanggar pihak pemkot dalam kerjasama ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Regulasi ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Pemkot telah mengabaikan regulasi yang tertuang dalam Pasal 35 butir 3 (Bagian Empat) Permendagri. Pasal tersebut berbunyi, pinjam pakai boleh dilakukan selama tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara tegas Permendagri malah mensyaratkan bahwa barang milik daerah yang akan dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes) tersebut sementara waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

Namun transaksi kerjasama Pemkot yang meminjam pakaikan 28 mobil panther itu kepada polrestabes dan polres KP3 telah mengesampingkan kebutuhan operasional kinerja instansinya sendiri. Sebab, sebelum kerjasama itu dilakukan, salah satu instansi di jajaran pemkot, Dinas PU Bina Marga dan Pematusan kekurangan mobil dinas untuk operasional kerja kepala bidang dan seksi. Bahkan, dinas yang dipimpin Erna Purnawati itu harus rela menyewa mobil rental dengan harga Rp 4,5 juta untuk satu unitnya.

"Kami terpaksa rental. Bagaimana mereka bisa bekerja dengan baik kalau tidak ada mobil operasional," ujar Erna, Selasa (12/07).

Ironisnya lagi, saat itu Erna menyatakan jajarannya tidak mendapat jatah mobdin kala Bagian Perlengakapn Pemkot mengadakan lelang mobil pada 25 Januari 2010 lalu. Begitu pula keinginan untuk membeli sendiri juga tidak bisa dilakukan karena Erna mengakui tidak ada anggaran untuk itu. "Kalau tidak ada anggarannya, bagaimana kita bisa memberikan mobil dinas," sambungnya.

Tak hanya dua regulasi itu, pakar hukum tata negara Universitas Surabaya (Ubaya) Eko Sugitariu menambah lagi singgungan kasus kerjasama ilegal ini dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kendati secara rinci, Guru Besar Hukum Ubaya itu tidak menjelaskan pasal mana yang diduga telah dilanggar pemkot. "Yang jelas ada disinggung di situ tentang anggaran dan aset Negara atau daerah. Kasus ini berpotensi melanggar salah satu pasal di dalamnya," terang Eko yakin.

Pendapat lebih tegas dilontarkan pakar hukum pidana Universitas Airlangga I Wayan Titip. Dia yakin jika pinjam pakai mobil Pemkot kepada dua institusi kepolisian itu sudah tergoong tindak gratifikasi. Menurut Wayan, pasal gratifikasi ini bisa dikenakan kepada pemkot jika tidak membatalkan perjanjian pinjam pakai itu.

"Perjanjian ini harus dibatalkan. Karena awalnya melanggar Permendagri. Namun jika sudah masuk proses hukum, sangkaan gratifikasi bisa juga dikenakan dalam kasus ini," tukas Wayan.

Secara rinci, Wayan menyebut sangkaan gratifikasi itu bisa mengacu pada UU Tipikor No 20 Tahun 2001, pasal 5,6,12 huruf b dengan ancaman minimal 4 tahun maksimal 20 tahun.

Apalagi, kata Wayan, proses kerjasama ini diduga kuat tanpa sepengetahuan DPRD Surabaya. Padahal apapun kebijakan kerjasama menyangkut aset Negara/daerah harus ata spersetujuan dewan.

Benar saja, Komisi A DPRD Surabaya yang membidangi maslaah hukum serentak mengaku tak tahu ketika dikonfirmasi terkait hal ini. Ketua Komisi A Armudji malah melemparkan pertanyaan ini ke anggotanya (komisi A). "Saya gak tahu masalah itu mas, coba tanya saja pada pak Hafid (Hafid Su'aidi) dan bu lut, (Luthfiyah)," kilah Armudji menghindari pertanyaan wartawan Koran ini.

Karena bertumpuknya dugaan aturan yang dilanggar, kasus ini langsung mendapat perhatian khusus dari Kejaksaan Tinggi Jati. Seorang petinggi Kejati yang menolak disebut namanya itu menyatakan potensi pelanggaran dalam kerjasama ini sangat terbuka. Sebab, menurtnya, perjanjian itu cenderung dipaksakan hanya dengan dalih yang lazim, yakni menunjang keamanan kota.

Padahal bagaimanapun, keamanan suatu daerah sudah menjadi tanggung jawab aparat kepolisian setempat, tak terkecuali di Surabaya. Tanpa bantuan pinjam pakai mobil dari pemkot yang mengabaikan kebutuhan internal instansi sendiri, lanjut sumber ini, kepolisian tetap bertanggung jawab penuh atas keamanan kota.

Karena itu, salah seorang petinggi Kejati ini masih menyelidiki lebih jauh potensi pelanggaran yang dilakukan kedua pihak dalam kerjasama ini. "Indikasi pelanggaran-pelanggaran yang sudah ada akan kami selidiki lebih dalam lagi," ungkapnya.

Di bagian lain, Kabag Humas Nanis Chairani sendiri tak berani menjelaskan panjang lebar. Terkait dugaan melanggar aturan tersebut, mantan Camat Krembangan itu menyatakan bahwa kebijakan tersebut sudah dipertimbangkan matang, termasuk soal dasar hukumnya.

Lebih jelasnya, lagi-lagi Nanis tak berani menjawab. "Lebih jelas soal hukum, langsung tanyakan ke Bu Walikota (Tri Rismaharini) dan bagian perlengkapan yang lebih memahami prosesnya," ungkapnya.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Walikota Tri Rismaharini maupun Kabag Perlengkapan Noer Oemarajati belum bisa memberikan penjelasan terkait persoalan ini.

Meski sebelumnya, Oemarajati pernah mengatakan, penyerahan 28 Unit Kendaraan operasional Pemkot kepada Polrestabes Surabaya dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak dalam rangka pinjam pakai selama dua tahun. Saat itu, pihaknya juga mengakui bahwa peminjaman kendaraan itu masih bisa diperpanjang. Menurut Oemarajati, pinjam pakai tersebut adalah bagian dari upaya pemkot meningkatkan pengamanan kota. (bmb/aji/arw/hab)

http://kabarmetro.com/read/100/21/09...-berlapis.html  




__._,_.___
Recent Activity:
Indonesia Japan Economic Monthly http://jief.biz/news/
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar