Kamis, 22 Desember 2011

Re: [inti-net] Kasus Mesuji, Bukti Gagalnya Pemerintah Tangani Masalah Tanah - Hormati Hak Petani Kecil

 

UNDANG2 AGRARIA adalah JAWABAN dan PENYELESAIAN dari SENGKETA MASALAH LAHAN
PERTANIAN dan KEKERASAN YG BERKELANJUTAN antara PARA PETANI dengan
PERUSHAAN2 DAN ATAU DNG SUBJEKT2 HUKUM YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB .

marc.-


-------Original Message-------

From: SADAR@netvigator.com
Date: 22.12.2011 16:46:55
To: inti-net@yahoogroups.com
Subject: [inti-net] Kasus Mesuji, Bukti Gagalnya Pemerintah Tangani Masalah
Tanah - Hormati Hak Petani Kecil


Kasus Mesuji, Bukti Gagalnya Pemerintah Tangani Masalah Tanah
Selasa, 20 Desember 2011 | 16:53

Ilustrasi pembantaian di Mesuji [pelitaonline]
http://www.suarapembaruan
com/home/kasus-mesuji-bukti-gagalnya-pemerintah-tangani-masalah-tanah/15082

[BANDAR LAMPUNG]Pengamat politik Universitas Lampung (Unila), DR Ari
Damastuti menilai kerusuhan Mesuji terjadi akibat gagalnya pemerinta
menangani persoalan tanah antara masyaraka dan pihak perusahaan, apabila
persoalan ini tidak segera diselesaikan dikhawatirkan akan timbul peristiwa
serupa di daerah lainnya.

"Apalagi persoalan pertanahan di Lampung menempati urutan teratas di tingkat
nasional, karenanya persoalan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan
PT BSMI harus segera diselesaikan hingga ke akar-akarnya, kalau tidak
dikhawatirkan persoalan serupa bisa timbul didaerah-daerah lain di Lampung,"
ujar Ari Damastuti pada SP, Selasa (20/12).

Apalagi, ujarnya, Kapolda Lampung, Brigjen Jodie Rooseto mensinyalir,
belasan perusahaan di Lampung ada yang mempunyai persoalan tanah, semestinya
sekarang, rakyat mendpatkan perlakuan yang sama dengan pemilik modal atau
pengusaha. Mereka diberikan akses yang sama dalam mengelola tanah - tanah
yang nota bene milik Negara.

"Persoalan yang terjadi saat ini, merupakan kegagalan kita Negara dalam
memenuhi hak sosial ekonomi rakyat. Semestinya, akses rakyat terhadap
tanah-tanah bekas hutan yang dikenal sebagai tanah register (dibawah kontrol
Negara melalui kementrian Negara), dimungkinkan bisa dikelola oleh rakyat,
jadi akses rakyat juga sama dengan para pengusaha," ujarnya.

Selain itu, menurut Ari, masih lemahnya hukum agraria kita, khususnya
mekanisme pengawasan, atas tanah-tanah negara. "Kalau hukum agraria kita
tidak lemah, tidak mungkin ada penguasaan tanah Negara oleh orang yang bukan
sebagai pemilik. Fakta di lapangan, telah terjadi okupasi defacto oleh
masyarakat sampai puluhan tahun. Tanah itu tidak berfungsi social dan tidak
ditelantarkan.

Dikatakan dalam UUD kita bahwa bumi, tanah, air, dan seisinya dikelola oleh
Negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maka jangan pernah
menelantarkan tanah. Karena menelantarkan tanah berarti kita tidak
memerlukannya," ujar Ari.

Sementara itu, Dosen Hukum Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Lampung F.X
Sumarja, SH, MH. menyatakan Kemenhut seharusnya bersedia melepaskan kawasan
Register 45 Way Buaya di Mesuji Lampung yang sudah ditempati warga. "Menhut
harus tegas, bisa saja dari seluas itu, sebagian kecil diberikan kepada
masyarakat, meski memang tidak gratis. Dalam program land reform, masyarakat
harus memberikan uang masukan kepada negara," terangnya.

Meskipun demikian, Sumarja menilai warga yang mendiami kawasan Register 45
tersebut tetap salah di mata hukum. Aturannya memang tidak boleh kawasan
register dihuni, makanya Menhut harus cepat mengambil keputusan tentang
status kawasan itu, ingatnya. (NVS)

[BANDAR LAMPUNG] Pengamat politik Universitas Lampung (Unila), DR Ari
Damastuti menilai kerusuhan Mesuji terjadi akibat gagalnya pemerinta
menangani persoalan tanah antara masyaraka dan pihak perusahaan, apabila
persoalan ini tidak segera diselesaikan dikhawatirkan akan timbul peristiwa
serupa di daerah lainnya.

"Apalagi persoalan pertanahan di Lampung menempati urutan teratas di tingkat
nasional, karenanya persoalan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan
PT BSMI harus segera diselesaikan hingga ke akar-akarnya, kalau tidak
dikhawatirkan persoalan serupa bisa timbul didaerah-daerah lain di Lampung,"
ujar Ari Damastuti pada SP, Selasa (20/12).

Apalagi, ujarnya, Kapolda Lampung, Brigjen Jodie Rooseto mensinyalir,
belasan perusahaan di Lampung ada yang mempunyai persoalan tanah, semestinya
sekarang, rakyat mendpatkan perlakuan yang sama dengan pemilik modal atau
pengusaha. Mereka diberikan akses yang sama dalam mengelola tanah - tanah
yang nota bene milik Negara.

"Persoalan yang terjadi saat ini, merupakan kegagalan kita Negara dalam
memenuhi hak sosial ekonomi rakyat. Semestinya, akses rakyat terhadap
tanah-tanah bekas hutan yang dikenal sebagai tanah register (dibawah kontrol
Negara melalui kementrian Negara), dimungkinkan bisa dikelola oleh rakyat,
jadi akses rakyat juga sama dengan para pengusaha," ujarnya.

Selain itu, menurut Ari, masih lemahnya hukum agraria kita, khususnya
mekanisme pengawasan, atas tanah-tanah negara. "Kalau hukum agraria kita
tidak lemah, tidak mungkin ada penguasaan tanah Negara oleh orang yang bukan
sebagai pemilik. Fakta di lapangan, telah terjadi okupasi defacto oleh
masyarakat sampai puluhan tahun. Tanah itu tidak berfungsi social dan tidak
ditelantarkan.

Dikatakan dalam UUD kita bahwa bumi, tanah, air, dan seisinya dikelola oleh
Negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maka jangan pernah
menelantarkan tanah. Karena menelantarkan tanah berarti kita tidak
memerlukannya," ujar Ari.

Sementara itu, Dosen Hukum Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Lampung F.X
Sumarja, SH, MH. menyatakan Kemenhut seharusnya bersedia melepaskan kawasan
Register 45 Way Buaya di Mesuji Lampung yang sudah ditempati warga. "Menhut
harus tegas, bisa saja dari seluas itu, sebagian kecil diberikan kepada
masyarakat, meski memang tidak gratis. Dalam program land reform, masyarakat
harus memberikan uang masukan kepada negara," terangnya.

Meskipun demikian, Sumarja menilai warga yang mendiami kawasan Register 45
tersebut tetap salah di mata hukum. Aturannya memang tidak boleh kawasan
register dihuni, makanya Menhut harus cepat mengambil keputusan tentang
status kawasan itu, ingatnya. (NVS/L-9)

Blog JakartaPost
http://jakartapost.blogspot.com
Feeds :
http://feeds.feedburner.com/JakartaPost-OnlineReviews

http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/hormati-hak-petani-kecil/15053
Hormati Hak Petani Kecil
Selasa, 20 Desember 2011 | 13:05

Tanah memang segalanya. Tak ada satu pun manusia yang bisa lepas dari tanah
yang dipijaknya. Petani menjadikan tanah sebagai sumber utama penghidupan.
Di atas lahan yang diolahnya, petani bisa menyemai bibit padi. Dari tanah
itulah tumbuh tanaman padi yang menghasilkan beras untuk menjadi makanan
pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia.

Karena itu, UU Pokok Agraria yang sudah berusia lebih dari 50 tahun
menempatkan fungsi sosial dalam kepemilikan tanah. Tidak bisa seseorang atau
satu kelompok menguasai lahan yang luas tanpa ada kemanfaatan bagi penduduk
yang hidup di sekitarnya. Ketika seseorang atau sebuah badan hukum menguasai
areal lahan yang luasnya bisa mencapai jutaan hektare, maka rakyat sekitar
yang lebih bermukim di tempat itu akan merasa terancam ketika lahan tempat
tinggalnya ikut tergusur.

Konflik atas kepemilikan lahan menjadi persoalan serius ketika penyelesaian
antara pihak-pihak yang bertikai tidak mendapatkan penyelesaian yang adil.
Masalah itu pula yang memicu terjadinya pembantaian terhadap warga di Mesuji
Lampung serta Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Informasi yang datang dari para aktivis yang mengadvokasi para penduduk di
kedua tempat itu menyebutkan, rakyat setempat sudah lebih dulu ada sebelum
perusahaan-perusahaan di kedua lokasi menempati areal usahanya. Bahkan,
kabarnya, para petani di Mesuji harus mengalami derita berkepanjangan ketika
perkebunan kelapa sawit milik swasta itu mencaplok lahan masyarakat di sana
tanpa memberikan kompensasi yang memadai.

Bahkan untuk menguatkan posisinya sebagai penguasa tanah yang sudah didiami
oleh warga lokal sejak lama, perusahaan itu meminta bantuan aparat keamanan
agar bisa menghalau penduduk setempat. Lebih dari itu, pihak perusahaan pun
bisa menggunakan sekelompok warga sipil sebagai penjaga keamanan swasta guna
kepentingannya. Pengamanan swakarsa atau Pamswakarsa itu bukan bertindak
hanya berdasar pada kesetiakawanan kepada perusahaan. Dalam banyak kasus,
pengamanan partikelir serupa itu bergerak setelah ada pihak yang mendanai.

Di daerah lain, sudah lazim perusahaan perkebunan yang menguasai lahan
begitu luas selalu menyertakan penduduk lokal sebagai plasma. Untuk
perkebunan kelapa sawit, misalnya, masyarakat setempat akan bisa memperoleh
manfaat dari kehadiran perkebunan besar karena mereka juga bisa
mengembangkan tanaman serupa dan hasil panennya disetorkan kepada perusahaan
tersebut.

Dalam kasus Mesuji, sekitar 20 ribu warga di sana harus tinggal di
tenda-tenda pengungsian setelah mereka diusir dari tempat tinggalnya.
Sekitar 850 rumah milik penduduk dihancurkan oleh Pamswakarsa yang dibentuk
oleh perusahaan tersebut.

Penduduk setempat benar-benar mengalami penderitaan dan trauma
berkepanjangan akibat intimidasi dan pembantaian terhadap masyarakat di sana
Bisnis perkebunan, seperti kelapa sawit memang memerlukan lahan cukup luas.
Apabila di areal perkebunan terdapat lahan milik warga maka amat besar
kemungkinan terjadi benturan kepentingan di antara pihak perkebunan dengan
warga sekitar. Konflik pertanahan juga bisa muncul dalam bisnis pertambangan
Bahkan sudah kerap terdengar, areal pertambangan sampai harus membabat
pohon-pohon yang ada dalam hutan lindung.

Prosedur untuk memperoleh lahan bisa didapat dari pengajuan permohonan hak
atas tanah, misalnya hak guna usaha di atas tanah negara. Tidak ada
persoalan yang bisa memicu konflik apabila prosedur yang ditempuh menaati
peraturan perundang-undangan di bidang agraria.

Namun pembebasan tanah terhadap lahan yang lebih dulu dikuasai oleh
masyarakat menjadi masalah serius apabila pihak yang membutuhkan lahan
menggunakan cara-cara yang sarat dengan intimidasi dan memperalat aparat
keamanan. Dalam kasus-kasus pertanahan, kerap kali para petani atau penduduk
lokal menjadi pihak yang kalah dan dikorbankan demi kepentingan bisnis,
entah perkebunan, pertambangan ataupun kawasan pemukiman. Pembebasan tanah
memang salah satu kendala dalam investasi.

Karena itu, keputusan DPR untuk menyetujui RUU Pengadaan Tanah menjadi
undang-undang cukup melegakan dunia usaha karena produk hukum itu bisa
membantu kelancaran investasi. Tapi persoalannya bagaimana pembebasan lahan
tidak merugikan penduduk setempat, tetap berjalan dalam koridor hukum dan
tidak melanggar hak asasi.
Persoalan agraria yang memicu konflik di Mesuji maupun Komering Ilir,
Sumatera Selatan perlu diselesaikan dengan empati kepada rakyat. Kalau
memang tanah itu milik rakyat di sana, maka kepemilikan harus dikembalikan
kepada warga setempat karena bisnis perkebunan tidak langsung bersentuhan
dengan kepentingan umum. Mungkin warga hanya punya tanah yang akan
dibebaskan itu sehingga jika dibebaskan dia tidak memiliki lagi sesuatu yang
bisa menjadi sumber penghidupan. Atau warga setempat bersedia menyerahkan
tanahnya namun dengan uang ganti rugi yang memadai.

Penyelesaian konflik agraria, termasuk tugas yang kini dijalankan ole Tim
Gabungan Pencari Fakta untuk kedua kasus tersebut, sepatutnya menempatkan
kepentingan para petani kecil agar tidak selamanya tercabut dari tanah
tempat mereka hidup.

Blog JakartaPost
http://jakartapost.blogspot.com
Feeds :
http://feeds.feedburner.com/JakartaPost-OnlineReviews

[Non-text portions of this message have been removed]





[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Untuk bergabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
Subscribe our Feeds :
http://feeds.feedburner.com/Tionghoanet

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar