Senin, 12 Desember 2011

[buruh-migran] Rimba Itu Bernama Indonesia

 

 
 
Rimba Itu Bernama Indonesia
 
 
NYAWA manusia tak ada harganya di negeri ini
 
.
Seorang penganggur yang tergiur telepon pintar BlackBerry bisa dengan enteng menusuk remaja di tepi jalan raya. Sekelompok mahasiswa yang merasa helmnya diambil tanpa izin bisa dengan ringan mengeroyok sesamanya di tengah lapangan sepak bola kampus. Dunia kita seakan-akan berubah jadi rimba: tak ada hukum, tak ada polisi--tak ada negara! Kedua tragedi itu terjadi di ibu kota republik ini belum terlalu lama. Di Pluit, Jakarta Utara, seorang remaja 16 tahun, Christopher Melky Tanujaya, tewas ditusuk di dekat halte bus Transjakarta. Selang sehari, Ahmad Yoga Fudholi, mahasiswa 19 tahun, meninggal setelah dipukuli habis-habisan oleh rekan-rekan sekampusnya di Universitas Al-Azhar Indonesia di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
 
Dua peristiwa kekerasan itu memutarbalikkan akal sehat kita. Hanya karena perkara sepele, jiwa melayang. Terlebih lagi, kedua pembunuhan itu terjadi di tempat umum. Ketika kejahatan menampakkan muka dengan leluasa, dan para begundal tak punya lagi rasa takut, berlebihankah jika kita bertanya: di mana tanggung jawab negara? Pembunuhan Christopher dan Yoga merupakan klimaks dari masa-masa penuh kecemasan di negeri ini. Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya mencatat, setiap tahun rata-rata terjadi 70 kasus pembunuhan di Ibu Kota saja.
 
Korbannya beragam: mulai penjaga kuburan sampai bos pemilik pabrik. Kita belum lupa, Agustus lalu, seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara, Livia Pavita Soelistio, 21 tahun, tewas setelah dirampok dan diperkosa di dalam angkutan kota. Kejadian itu membuat banyak orang waswas menggunakan transportasi publik.
 
Mudah dipahami jika sedikit demi sedikit kita mulai kehilangan kepercayaan pada sistem keamanan yang diselenggarakan negara. Setelah kasus pembunuhan Livia, angka penjualan pistol kejut listrik (stun gun) dan penyemprot merica (pepper spray) di pusat pertokoan Glodok meningkat tajam. Publik ragu terhadap kemampuan pemerintah memberikan rasa aman dan, karena itu, harus "mengamankan"serta mempersenjatai diri sendiri.
 
Perkara ini bukan cuma soal sistem keamanan yang gagal.Tak perlu repot-repot menggelar seminar untuk meninjau kembali sistem kepolisian kita.Toh, sudah lama aparatur keamanan memperkenalkan model polisi masyarakat atau community oriented policing. Cuma, tampaknya rencana itu baru bergaung sebatas cita-cita.
 
Hal yang lebih mendasar adalah alpanya kesadaran para penyelenggara negara bahwa keamanan merupakan bagian dari hak asasi warga negara. Keamanan bukan hanya untuk mereka yang sanggup membayar. Pada saat kita ketakutan untuk sekadar keluar malam atau naik angkutan umum, dan harus bepergian dengan stun gun di dalam tas, ketika itulah peran negara hilang dari tata kehidupan sosial kita yang paling sederhana.
 
Tentu kerja cepat polisi menangkap pembunuh Christopher,Yoga, Livia, dan korban pembunuhan lain patut diacungi jempol. Tapi, lebih dari itu, tindakan pencegahan pasti jauh lebih mustahak. Tindakan itu tentu membutuhkan perencanaan yang menyeluruh dan melibatkan para pemangku keamanan. Jangan pula ada alasan kekurangan dana sebagai kendala, karena nyawa warga negara sesungguhnya merupakan sesuatu yang tak bisa disetarakan dengan harga apa pun.
 
Powered by Pressmart Media Ltd
 
 
 

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar