Selasa, 27 Desember 2011

[inti-net] Di Bima, Polisi Hamburkan Peluru Tajam - Polisi Bertindak Brutal di Sape - SMN Abaikan Konsultasi Publik - Peringatan Komnas HAM Tak Didengar

 

Di Bima, Polisi Hamburkan Peluru Tajam

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan bahwa polisi menggunakan peluru tajam, di samping peluru karet, untuk membubarkan blokade warga di pelabuhan penyeberangan feri Sape, Kecamatan Lambu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu lalu.

Tak hanya itu, "Anggota polisi menembak lurus ke kerumunan massa," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim saat konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin, 26 Desember 2011.

Menurut Ifdal, informasi itu diperoleh Komnas HAM dari laporan masyarakat dan video rekaman. "Ini akan kami coba lihat di lapangan," katanya.

Bentrokan antara warga dan polisi pada Sabtu lalu menyebabkan tiga orang tewas bernama Arif Rahman, 19 tahun, Syaiful, 17 tahun, dan Arifuddin A. Rahman. Arif Rahman tertembak di lengan tembus ke ketiak dan Syaiful tertembak di dada tembus ke belakang. Adapun Arifuddin belum diketahui penyebabnya.

Nurcholis mengatakan Komisi Nasional juga mendapat laporan sebanyak 19 warga menderita luka-luka, sebagian di antaranya dalam kondisi kritis. "Ada juga dikabarkan yang hilang, namun masih perlu diklarifikasi di lapangan," kata dia.

Bentrokan antara warga dan polisi itu bermula ketika warga dari berbagai kelompok memblokir Pelabuhan Sape di Bima. Mereka memprotes Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, yang memberikan izin penambangan emas PT Sumber Mineral Nusantara dengan terbitnya Surat Keputusan Nomor 188/45/357/004 Tahun 2010.

Polisi pun berusaha membubarkan paksa demonstrasi itu, namun warga menolaknya. Bentrokan akhirnya tidak terhindarkan.

Unjuk rasa itu sendiri berlangsung sejak lima hari sebelum peristiwa berdarah itu. Di samping meminta pencabutan izin tambang, warga juga meminta rekannya yang ditahan polisi agar dibebaskan.

Warga semakin marah setelah mendapat perlakuan represif dari petugas keamanan. Massa kemudian merusak kantor Polsek Lumbu serta membakar rumah dinas kapolsek, empat unit asrama polisi, dan gedung BTN. Mereka juga merusak kantor unit pelaksana teknis daerah kehutanan, kantor dinas pemuda dan olahraga, tiga bangunan BTN, gedung kantor urusan agama, dan 25 unit perumahan masyarakat.

Dalam bentrokan ini, Kepolisian Resor Bima menetapkan 47 orang tersangka.

Di samping pelanggaran prosedur, kata Ifdal, Komnas HAM menyimpulkan bahwa insiden Bima itu merupakan pelanggaran HAM. "Namun kami belum dapat menyimpulkan apakah masuk kategori pelanggaran HAM berat atau tidak." Indikasi adanya pelanggaran HAM itu karena ada warga yang meninggal, luka-luka, menjadi korban kekerasan petugas, dan intimidasi.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan polisi terpaksa melakukan pembubaran karena massa telah melanggar dan mengganggu tempat umum.

RUSMAN PARAQBUEQ | INDRA WIJAYA | RAJU FEBRIAN

Kesaksian Warga
Polisi Bertindak Brutal di Sape
Samuel Oktora | Agus Mulyadi | Rabu, 28 Desember 2011 | 07:47 WIB

MATARAM, KOMPAS.com - Sejumlah warga yang menjadi saksi mata dalam aksi kekerasan di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (24/12/2011) pekan lalu mengungkapkan, aparat kepolisian bertindak brutal dengan menggunakan senjata.

"Kejadiannya sekitar pukul 08.00. Tak ada tembakan peringatan, tiba-tiba massa yang berunjuk rasa sudah diberondong tembakan. Warga yang angkat tangan malah terus ditembaki," kata Mochtar Muslimin, warga Desa Rato, Kecamatan Lambu, Bima, Selasa (27/12/2011).

Mohamad Nur, warga Desa Bugis, Kecamatan Sape, yang juga seorang nelayan mengaku dirinya juga terkena peluru nyasar hingga dua kali di kakinya. Kebrutalan polisi itu telah menewaskan 3 warga Sumi, dan belasan orang luka-luka, salah satunya akibat terkena peluru nyasar.

Tragedi berdarah tersebut terjadi, setelah aparat kepolisian melakukan pembubaran paksa warga Sumi yang berunjuk rasa menutup Pelabuhan Sape pada 19-23 Desember 2011.

Mereka menutup Pelabuhan Sape sebagai bentuk kejengkelan, karena aspirasi mereka yang ditujukan ke bupati dan DPRD Bima selama ini tidak diperhatikan. Mereka menolak eksplorasi tambang oleh PT Sumber Mineral Nusantara, dan meminta bupati segera mencabut izin eksplorasi itu.

Blog JakartaPost
http://jakartapost.blogspot.com
Feeds :
http://feeds.feedburner.com/JakartaPost-OnlineReviews

http://www.suarapembaruan.com/home/smn-abaikan-konsultasi-publik/15300#Scene_1

SMN Abaikan Konsultasi Publik
Rabu, 28 Desember 2011 | 8:59

Koordinator Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Ridaya Laodengkowe (kanan) bersama mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie (kiri) pada Semiloka "Peran dan Posisi Masyarakat Sipil dalam Kehidupan Bernegara yang Demokratis" di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Kamis (20/10/2011). (Foto: Okozone)

Berita Terkait

a.. Bupati dan Polisi Ternyata Abaikan Prediksi Komnas HAM
[JAKARTA] Kasus unjukrasa di Bima menolak izin pertambangan di daerah itu yang akhirnya menelan korban tiga orang tewas terjadi karena pengeluaran izin usaha pertambangan (IUP) yang dikantongi PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) atas area pertambangan yang meliputi kecamatan Lambu, Sape, dan Langgudu tidak melalui konsultasi publik.

Padahal konsultasi publik yang didasari prinsip-prinsip free prior dan informed consent (FPIC) adalah elemen fundamental untuk memenuhi prinsip-prinsip pertambangan yang bertanggung jawab yang juga telah di-endorse oleh International Council on Mining and Methal (ICMM).

Demikian dikatakan Koordinator Nasional Koalisi PUBLISH WHAT YOU PAY Indonesia (Koalisi untuk transparansi dan akuntabilitas tatakelola sumberdaya ekstraktif), Ridaya Laodengkowe, kepada SP di Jakarta, Selasa (27/12) malam.

Menurut Ridaya, kalau saja perusahaan dan pemerintah daerah menempuh konsultasi publik yang didasari free prior dan informed consent (FPIC), keberatan-keberatan warga sekitar lokasi dapat dijawab. Dan tentu saja kalau tidak bisa dijawab pihak perusahaan dan pemerintah daerah harus rela untuk tidak dilanjutkan. "Umumnya pada proyek-proyek yang menjalankan pendekatan ini proyek dapat dilanjutkan meskipun dengan persyaratan yang ketat dan memakan waktu cukup lama," kata mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) ini.

Alasan kedua, kata Ridaya, ada indikasi kuat polisi tidak netral, bias, berpihak pada perusahaan dan pemerintah daerah di mana yang terakhir ini sebenarnya melayani kepentingan perusahaan, bukan kepentingan warga. Alih-alih menempuh jalan damai dengan, misalnya dengan mendorong dialog konstruktif antara warga dan pemerintah daerah, polisi malah membiarkan eskalasi aksi terjadi seperti itu. Kemudian polisi mencari alas an untuk melakukan represi secara brutal.

"Saya mencurigai ada pasokan dana dari perusahaan kepada aparat kepolisian untuk kepentingan operasi," kata mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM, Yogyakarta ini.

Ketika ditanya apakah izin pertambangan seperti di Bima itu bisa dicabut, Ridaya mengatakan, menurut Undang-undang Mineral dan Batubara Nomor 4 tahun 2009, ada beberapa prasyarat untuk pencabutan izin, sehingga bisa saja Pemerintah daerah yang dalam hal ini Bupati Bima mencabut IUP. Dan kalaupun pencabutan ijin dianggap beresiko, Bupati bisa saja mengeluarkan surat yang memerintahkan penghentian aktivitas eksplorasi mengingat keberatan-keberatan substansial dari warga. Jadi sebenarnya ada jalan yang bisa ditempuh Pemerintah Daerah atau Bupati Bima dalam hal ini, kalau saja dia mau mendengar aspirasi warga untuk menghindari jatuhnya korban jiwa seperti sekarang.

"Sekarang sudah jatuh korban, saya kira tidak ada pilihan lain bagi Bupati Bima selain mengeluarkan surat penghentian sementara segala aktivitas yang berkaitan dengan operasi sampai keberatan-keberatan wagra dipenuhi atau terjawab," ujarnya lebih lanjut.

Ketika ditanya langkah apa saja supaya pertambangan dan perkebunan tak ditentang warga, Ridaya menjawab, tak ada pilihan bagi perusahan dan pemda sekarang ini selain melakukan konsultasi publik yang didasari prinsip-prinsip free prior and informed consent (FPIC).

Perlu dicatat, tegas Ridaya, Indonesia sudah di alam demokrasi. Taka ada lagi cerita pemerintah dan perusahaan dapat memaksakan kepentingan atau keinginan mereka dengan mengabaikan hak-hak rakyat. "Rakyat semakin melek politik, melek informasi, dan bebas menyampaikan pendapat dan gugatan. Adalah tindakan melanggar arus sejarah dengan model-model pemaksaan dan pengambaian keberatan warga," kata dia.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah dengan membentuk Komisi Penyelesaian Konflik Agraria. Ini didasarkan bahwa tanah-tanah yang disengketakan adalah obyek agrarian di mana semua pihak punya kepentingan. Membiarkan polisi menangani protes-protes warga saya kira sama dengan menyuru org membersihkan tumpahan minyak tanpa menghentikan sumber tumbahan. Lagi pula sudah terbukti Polri sangat terbelakang, dan cenderung biadab, bila sudah berhadapan dengan massa aksi.

"Karena itu, agar masalahnya dapat dilokalisasi sebaiknya pemerintah harus merespon tawaran lama dari masyarakat sipil untuk membentuk dan mengaktifkan fungsi Komisi Independen untuk Penyelesaiaan Konflik-konflik Agraria," tegas Ridaya. [E-8]

http://indofinancialnews.blogspot.com/
http://indonesiaupdates.blogspot.com/
http://chinese-clubs.blogspot.com/

Kekerasan Di Bima
Peringatan Komnas HAM Tak Didengar
Samuel Oktora | Agus Mulyadi | Rabu, 28 Desember 2011 | 08:02 WIB

MATARAM, KOMPAS.com - Jauh sebelum kasus kekerasan di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu (24/12/2011), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah mengingatkan, lewat rekomendasi yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Bima, dan jajaran Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat.
"Pada bulan September 2011, Komnas HAM sudah memberikan rekomendasi ke bupati supaya kegiatan eksplorasi tambang dihentikan sementara. Rekomendasi juga diberikan kepada Kapolda NTB, agar melakukan komunikasi dan koordinasi dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh muda guna menghindari konflik horizontal. Tapi rupanya rekomendasi kami tidak didengar," kata anggota Komnas HAM, Ridha Saleh, Selasa (27/12/2011), ketika meninjau Desa Sumi, di Kecamatan Lambu, Bima.

Ridha bersama Kepala Bagian Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Sriyana, turun ke Sape untuk melakukan penyelidikan dan pengumpulan fakta terkait pelanggaran HAM dalam kasus tersebut.

Sebelumnya warga Sumi telah meminta izin eksplorasi tambang PT Sumber Mineral Nusantara dicabut, tapi ternyata tak juga diindahkan Pemkab Bima. Mereka akhirnya memblokade Pelabuhan Sape 19-23 Desember 2011. Aparat kepolisian lalu membubarkan massa secara paksa . Kejadian tersebut justru berakibat fatal, 3 warga Sumi tewas, dan belasan orang lainnya luka-luka.

"Kami juga akan mengeluarkan surat untuk kapolri, jangan lagi ada warga yang diintimidasi, karena semua warga negara Indonesia harus mendapat pelindungan keamanan, sesuai dengan amanat undang-undang," kata Ridha.

http://indofinancialnews.blogspot.com/
http://indonesiaupdates.blogspot.com/
http://chinese-clubs.blogspot.com/

__._,_.___
Recent Activity:
Untuk bergabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
Subscribe our Feeds :
http://feeds.feedburner.com/Tionghoanet

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar