Selasa, 14 Agustus 2012

[inti-net] Presiden dan Disharmoni Polri-KPK

 

Presiden dan Dis-harmoni Polri-KPK

by Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
bambangsoesatyo@yahoo.com

HANYA presiden RI yang berwenang mengatasi disharmoni Polri-KPK saat
ini. Maka, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY ) tidak boleh
melakukan pembiaran. Sebab, hanya SBY yang bisa membuktikan kepemimpinan
di negara ini tidak vakum. Caranya, jangan biarkan persoalan ini
berlarut-larut.

Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan, SBY pada akhirnya harus mengambil posisi yang
jelas, dan juga sikap yang jelas-tegas untuk menyelesaikan sengketa
kewenangan antara Polri dan KPK dalam menangani proses hukum kasus
dugaan korupsi pengadaan simulator ujian SIM kendaraan bermotor di
Korlantas Mabes Polri. Menghadapi masalah ini, presiden idealnya tidak
mengambil posisi di area abu-abu .

Silang pendapat antara Polri
versus KPK kian meruncing, dan cenderung kian memanas. Sebagian besar
rakyat Indonesia tidak happy dengan suasana seperti sekarang, karena
yang muncul adalah kesan keadaan yang kian karut marut. Sebagai
presiden, sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan, SBY
harus hadir di tengah suasana karut marut itu, tampil menggunakan semua
wewenang yang ada padanya untuk mengakhiri sengketa kewenangan itu. SBY
harus bisa memastikan bahwa baik Polri maupun KPK tidak boleh sibuk
mengurusi dirinya sendiri. Di luar institusi Polri maupun KPK, ada
begitu banyak persoalan dan kasus hukum yang harus ditangani. Maka,
segera mengakhiri sengketa kewenangan itu menjadi sebuah keharusan.

Bagi masyarakat kebanyakan, persoalan yang membelit Polri dan KPK
sekarang ini adalah urusan institusi apa mengerjakan apa. Pembagian
tugas itu memang sudah ditetapkan oleh undang-undang sebagai payung
hukum setiap institusi. Tak dapat dipungkiri bahwa untuk hal-hal atau
kasus yang spesifik, akan timbul masalah atau benturan kewenangan,
misalnya karena misinterpretasi. Boleh jadi, itulah yang
melatarbelakangi sengketa kewenangan antara Polri dengan KPK dalam kasus
dugaan korupsi di Korlantas Mabes Polri itu. Masalah atau benturan itu
wajar-wajar saja, dan seharusnya segera diselesaikan di ruang tertutup
oleh institusi-institusi yang berkepentingan.

Namun, jika
masalah atau benturan kewenangan itu diledakan di ruang publik,
persoalannya menjadi tidak sederhana. Masalahnya otomatis tereskalasi,
dan bisa melebar menjadi 'persoalan menjaga wibawa dan martabat
institusi'. Perkembangan penanganan kasus dugaan korupsi di Korlantas
Mabes Polri cenderung sudah menggiring baik Polri maupun KPK lebih pada
menjaga wibawa dan martabat institusi. Saat ini, kesan itulah yang
mengemuka di ruang publik. Lalu, muncul pertanyaan, bagaimana kasus
dugaan korupsinya sendiri bisa ditangani jika baik Polri maupun KPK
masih terperangkap dalam sengketa kewenangan?

Bagi kalangan
yang selalu berpikir negatif, sengketa kewenangan itu tentu menjadi
tontonan. Memang demikian keadaannya. Tetapi, bagi masyarakat banyak
yang peduli kepastian, tontonan sengketa kewenangan antara Polri dan KPK
saat ini bukan hanya tidak menarik, tetapi juga tidak lucu. Bayangkan,
Indonesia modern yang negara hukum masih masih menyimpan persoalan
seperti ini? Apa kata dunia?

Karena Indonesia dewasa ini tidak
dalam kondisi vakum kepemimpinan, maka sang pemimpin harus muncul,
tampil di tengah rakyatnya, dan memberi penegasan bahwa persoalan
sengketa kewenangan akan diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya,
serta memberi jaminan bahwa kasus dugaan korupsi di Korlantas Mabes
Polri bisa dituntaskan. Jika ada keberanian dan kemauan bersikap tegas
berdasarkan akumulasi wewenang yang ada padanya, disharmoni atau
sengketa kewenangan antara Polri dengan KPK bisa diselesaikan dalam
hitungan jam. Kalau presiden berketatapan institusi apa yang berwenang
menangani kasus itu, ketetapan presiden itu bukanlah sebuah intervensi
hukum.

Konsultasi dan Rekomendasi Presiden sangat bisa
mengakhiri disharmoni antara Polri dengan KPK. Dan, hanya presiden yang
bisa mengakhiri disharmoni itu. Tidak ada yang lain. Selain karena
akumulasi kewenangan, presiden juga dikelilingi sejumlah pembantu ahli,
termasuk ahli hukum pidana maupun hukum tata negara. Presiden bisa
meminta pertimbangan atau rekomendasi dari para ahli hukum di kantor
presiden. Selain itu, kalau pun presiden masih diselimuti keraguan, bisa
saja berkonsultasi atau meminta saran dari institusi lain yang kapabel,
seperti Mahkamah Agung (MA) atau mahkamah konstitusi (MK). Rekomendasi
para ahli di kantor presiden maupun pertimbangan atau saran dari MK dan
MA pasti akan sangat membantu presiden untuk membuat ketetapan yang
akurat untuk kasus ini. Atau, bisa saja presiden mengundang Kapolri dan
Ketua KPK untuk membahas dan bermufakat memenuhi perundang-undangan yang
berlaku. Bukankah pengangkatan Kapolri dan Ketua KPK juga melibatkan
wewenang presiden? Karena itu, presiden pun harus pro aktif menjaga
disiplin pelaksanaan kewenangan setiap insitusi negara. Dengan demikian,
apa pun alasannya, keengganan presiden menengahi sengketa kewenangan
KPK dan Polri sulit diterima khalayak. Menengahi sengketa kewenangan
antarinstitusi negara sama sekali tidak berkonotasi intervensi proses
hukum.

Dalam menyikapi sejumlah kasus hukum selama ini,
presiden diketahui sering mendapatkan masukan dari orang-orang
kepercayaannya. Karena itu, banyak kalangan justru bertanya; siapa yang
memberi masukan atau saran sehingga kantor presiden membuat pernyataan
bahwa presiden tidak ingin ikut campur dalam sengketa kewenangan Polri
versus KPK karena bisa dituduh melakukan intervensi proses hukum? Tentu saja, yang muncul dalam ingatan banyak orang adalah Denny
Indrayana, sosok kepercayaan presiden yang kini menjabat Wakil Menteri
Hukum dan HAM. Belum jelas, apakah Denny telah memberikan rekomendasi
kepada Presiden atau sama sekali tidak memberi pertimbangan.

Kemungkinan lainnya adalah presiden memang sama sekali sudah tidak
percaya kepada sejumlah ahli yang pernah membantunya. Sebab, setidaknya
sudah dua kali kantor presiden melakukan blunder karena rekomendasi atau
pertimbangan hukum yang tidak akurat. Masih segar dalam ingatan banyak
orang tentang bagaimana proses Hendarman Supandji mundur dari jabatan
jaksa agung, serta keputusan PTUN DKI membatalkan Keputusan Presiden
No.48/P Tahun 2012 per 2 Mei 2012, yang mengesahkan pengangkatan H
Junaidi Hamsyah -- sebelumnya menjabat Wakil Gubernur/Plt Gubernur
Bengkulu -- menjadi gubernur definitif menggantikan Agusrin yang menjadi
terpidana kasus korupsi.

Presiden sesungguhnya tidak perlu
khawatir mengulangi kesalahan. Dalam konteks sengketa kewenangan antara
Polri dengan KPK saat ini, sebuah ketetapan presiden harus dibuat dan
diberlakukan, sekadar untuk menghindari tumpang tindih penanganan kasus
dugaan korupsi di Korlantas Mabes Polri. Mencermati opini publik
terkait masalah ini, bisa disimpulkan bahwa citra institusi Polri sedang
dipertaruhkan. Agar tidak ada pihak yang merasa dipersalahkan, Presiden
perlu mendorong sinergi Polri dan KPK dalam menuntaskan kasus dugaan
korupsi pada proyek pengangadaan simulator ujian SIM kendaraan ber motor
di Korlantas Mabes Polri.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Gabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/

Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*

CLICK Here to Claim your Bonus $10 FREE !
http://adv.justbeenpaid.com/?r=kQSQqbUGUh&p=jsstripler5
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar