Kamis, 06 September 2012

[buruh-migran] Kurang Ikhlas Membangun untuk Rakyat Bawah

 

Ref: Mereka bukan saja kurang ikhlas membangun untuk rakyat bawah, tetapi sama sekali tidak ikhlas, karena mana bisa bandit koruptor yang berkuasa mau memperhatikan kesejahteraan rakyat lapisan bawah. Kalau mereka ikhlas berarti rejeki untuk mereka catut, nyolong, korupsi etc berkurang atau samasekali hilang untuk dikantongi.
 
 
27 Agustus 2012 | BP
Diskusi HUT ''Bali Post'' di Singaraja (1)-
 
Kurang Ikhlas Membangun untuk Rakyat Bawah
 
 
Pemprov Bali kurang punya keikhlasan membangun untuk kalangan masyarakat bawah, terutama masyarakat yang ada di daerah terpencil dan jauh dari pusat ibu kota Bali. Sehingga tak seluruh rakyat Bali menikmati hasil pembangunan secara merata. Hal itu terungkap dalam diskusi terbatas serangkaian HUT ke-64 Bali Post di Hotel Bali Taman, Lovina, Singaraja, Sabtu (25/8) lalu.


----


Guru Besar Undiksha, Prof. Dr. I Wayan Santyasa, M.Si. mengatakan, Pemprov tidak kritis dalam menyebarkan pembangunan ke kabupaten-kabupaten di Bali. Awalnya pembangunan dilakukan dengan semangat. Namun kemudian pembangunan tak berlanjut agar sampai pada kepentingan masyarakat di daerah terpencil yang berada di bawah garis kemiskinan. ''Sehingga kesannya kurang ikhlas membangun untuk kalangan bawah,'' katanya.

Ia mencontohkan pembangunan kampus IHDN di Bangli. Awalnya pemerintah semangat membangun kampus IHDN itu di Bangli dengan alasan memeratakan pembangunan ke kabupaten-kabupaten. Namun kampus IHDN di Denpasar masih tetap ada. Mahasiswa dan pengajarnya masih banyak aktivitasnya di Denpasar.

Padahal, kata dia, jika memang ingin memeratakan pembangunan seharusnya pemerintah juga membangun fasilitas lain di sekitar kampus IHDN di Bangli. Misalnya membangun pusat pertokoan, perumahan, dan lain-lain. Dengan begitu mahasiswa dan pengajarnya akan mau pindah ke Bangli. Apalagi, kata Santyasa, hidup di Bangli sebenarnya lebih enak daripada hidup di Denpasar. ''Di Bangli sejuk, tetapi masyarakat tak mau pindah ke situ. Karena pembangunan di daerah itu kurang dilakukan dengan ikhlas,'' katanya.

Hal yang sama juga terjadi di Buleleng. Saat ini, kata Santyasa, di Buleleng akan dibangun bandar udara (bandara) bertaraf internasional. Sebagai salah seorang anggota tim advokasi pembangunan bandara di Buleleng, ia mengatakan pembangunan bandara itu diperjuangkan untuk dibangun di perbatasan Buleleng dan Karangasem, tetapi tetap di daerah Kabupaten Buleleng. Lokasi ini dipilih agar pembangunan dan penyebaran dampak perekonomian lebih merata dan lebih memihak kepada masyarakat kurang mampu.

Di daerah Buleleng Timur itu sangat dekat dengan Tianyar, Kubu, dan daerah lain yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Sehingga dampaknya lebih banyak dan lebih terasa pemerataannya.

Sekali lagi, kata Santyasa, terkait rencana pembangunan bandara ini diperlukan keikhlasan dari pemerintah. Tangan pemerintah harus terus diulurkan. ''Membangun di Bali mesti melihat kalangan bawah. Mengangkat derajat hidup manusia Bali,'' katanya.

Pengamat pendidikan dan masalah sosial Drs. Gede Suyasa, M.Pd. juga bicara soal pembangunan yang saling terkait dan berkelanjutan. Salah satu persoalan yang dihadapi Kabupaten Buleleng adalah akses infrastrutur. Di Buleleng semuanya masih merupakan jalan lama. Tak ada jalan baru. Menurutnya, kalau bandara dibangun tanpa diimbangi dengan pembangunan jalan maka bandara bisa jadi terisolisir. ''Jadi harus ada kesiapan. Jalan dibangun, SDM disiapkan, agar kita tak jadi penonton,'' katanya.

Menurut Suyasa, persoalan di Bali sekarang ini adalah persoalan kemiskinan. Menurutnya, Bali punya pariwisata dan akses internasional. Tetapi kemiskinan tak pernah berakhir. Karena Bali tak punya data base yang kuat tentang orang miskin. ''Datanya setiap saat berubah-ubah. Ada bantuan, orang miskin membeludak,'' katanya.

Untuk menjawab ini, kata Suyasa, maka harus ada data base dengan kriteria yang jelas. Siapa pun yang miskin sudah harus punya identitas kemiskinan. Misalnya di Buleleng ada 47 ribu rumah tangga miskin (RTM). ''Setiap tahun mau menuntaskan berapa, tinggal lihat data base,'' katanya.

Untuk menuntaskan kemiskinan, Suyasa setuju harus ada pemerataan pembangunan. Bicara soal pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, di Buleleng punya pelabuahn alam dengan biaya yang rendah.

Menurutnya, Pelabuhan Benoa itu pelabuhan proyek. Dibuat karena diproyekkan. Tetapi di Buleleng, di beberapa titik, kapal langsung bisa berlabuh. Untuk itu, perairan di Buleleng bisa dimanfaatkan untuk membagi jalur laut antara utara dan selatan.

Namun di sisi lain, SDM juga harus siap. Karena di sisi yang lain di Buleleng juga banyak terjadi kasus siswa putus sekolah atau tak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebanyak 32 persen siswa yang tamat SMP tak bisa melanjutkan ke SMA. Apalagi dari SMA ke perguruan tinggi.

Soal pemerataan pembangunan, Dr. I Gede Budasi, M.Ed. juga bicara soal pembangunan transportasi kelautan di Buleleng yang tak mendapat perhatian dari Pemprov Bali. Menurut Budasi, pembangunan tak merata akibat konsentrasi pusat pemerintahan ada di Bali Selatan yang diikuti pemusatan hal lain, seperti bandara, pelabuhan laut dan lembaga-lembaga pendidikan.

Di Bali Utara tak bisa berkembang, kata dia, karena salah satu penyebabnya karena di Buleleng tak dibangun entri-entri poin yang sebenarnya sudah dimiliki oleh Buleleng. Misalnya di Buleleng terdapat pelabuhan-pelabuhan kecil yang membentang dari barat ke timur. Tetapi pelabuhan itu tak pernah ditata. Pola pikir Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng tidak nyambung. Pemprov tak pernah memikirkan pengembangan transportasi laut, terutama untuk pengembangan pariwiasata. Padahal jalur laut bisa dibangun dari Denpasar, Nusa Penida, Padangbai, terus ke Buleleng, ke Jembrana. (kmb15)

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar