Rabu, 12 September 2012

[inti-net] Adu Strategi Berebut DKI-1

 

Adu Strategi Berebut DKI-1
Thursday, 13 September 2012 00:14
http://www.gatra.com/nasional/1-nasional/17628-adu-strategi-berebut-dki-1

Foke-Nara mengerahkan segala daya-upaya menghadapi pilkada Jakarta putaran kedua. Foke menonjolkan program pro-rakyat, menambah koalisi parpol, dan mengubah strategi. Jokowi-Ahok mengandalkan apa yang mereka istilahkan sebagai koalisi rakyat. Lembaga survei dan pengamat politik tak berani memprediksi pemenangnya. Mengapa? ---

Spanduk itu terkesan sebagai duet Foke-Nara banget. Lihatlah, di situ terpampang foto Fauzi ''Foke'' Bowo, berdampingan dengan foto Nachrowi ''Nara'' Ramli.

Sederet tulisan mencolok melengkapi spanduk yang ditujukan kepada warga Jakarta tersebut. Bunyinya: ''Lebaran di Kampung Betawi Bersatu untuk Jakarta''.

Siapa pun tahu, Foke-Nara merupakan pasangan calon gubernur-wakil gubernur yang akan bertarung pada pilkada DKI Jakarta putaran kedua, 20 September mendatang. Memang pada spanduk itu Fauzi Bowo disebutkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, sedangkan Nachrowi Ramli selaku Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Betawi. Tak ada kalimat yang menyebut mereka sebagai pasangan calon gubernur-wakil gubernur.

Toh, bagi Tim Advokasi Jakarta Baru --satu kesatuan dengan tim advokasi dan hukum pasangan calon gubernur Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama-- spanduk itu patut diduga melanggar hukum. ''Diduga kuat kampanye di luar jadwal,'' kata Koordinator Tim Advokasi Jakarta Baru, Habiburokhman, ketika melaporkan temuannya itu kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta, Rabu pekan lalu.

Tim ini melampirkan laporannya dengan lima bukti foto spanduk itu. Menurut Habiburokhman, pihaknya baru menemukan spanduk-spanduk tersebut pada Rabu itu, antara lain terbentang di Jalan Letjen Suprapto, Jakarta Timur. Dari penelusuran tim diketahui, spanduk itu terpasang sejak Senin 3 September lalu.

Terlepas apakah terbukti melanggar hukum atau tidak, pemasangan spanduk-spanduk itu jelas menunjukkan bahwa kubu Foke-Nara sangat gencar melakukan upaya pencitraan menyongsong pilkada DKI putaran kedua. Spanduk paling banyak tentu saja menonjolkan sosok Foke sendirian selaku gubernur. Isinya menampilkan program-program pro-rakyat yang digulirkannya, seperti pelayanan kesehatan gratis dan pendidikan gratis sampai SMA.

Spanduk-spanduk promosi itu terpampang di sejumlah tempat. Spanduk berbau pendidikan mejeng di sekolah-sekolah, misalnya di SMK Negeri 50, Jatinegara, Jakarta Timur. Sekolah kejuruan ini memajang dua spanduk berukuran besar, sekitar 3 x 1 meter. Satu spanduk berbunyi: ''Terima Kasih Bapak Gubernur. Kami Komunitas SMK Jakarta Siap Melaksanakan Wajib Belajar 12 Tahun.'' Spanduk satu lagi memuat ucapan terima kasih, lengkap dengan foto Foke berpakaian dinas sembari tersenyum sumringah.

Kebetulan atau tidak, sejumlah kebijakan pro-rakyat itu direalisasikan Pemprov DKI pada 1 Juli lalu atau hanya berselang 10 hari menjelang pilkada putaran pertama. Sementara itu, untuk program pelayanan gratis yang sudah lama diterapkan, misalnya pembuatan KTP dan surat keterangan lainnya, Pemprov DKI menjamin gratis 100% alias tak ada pungli. Di loket-loket pelayanan terpampang tulisan ''Gratis'' dengan ukuran besar. Petugasnya pun mendadak telaten dan ramah serta ''anti-pungli''.

Tak berlebihan jika sejak awal timbul kesan kuat bahwa pasangan Foke-Nara bertekad memenangkan pilkada dengan banyak memanfaatkan kewenangannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebagai incumbent, Foke memang diuntungkan karena memungkinkannya menggenjot berbagai kebijakan pro-rakyat guna menarik simpati warga, tanpa perlu takut dituding berkampanye memanfaatkan fasilitas negara.

Sialnya, itu semua ternyata belum cukup untuk mendulang suara seperti yang diharapkan pasangan Foke-Nara. Yakni sekurang-kurangnya 51%, sehingga dapat memenangkan pilkada dalam satu putaran sesuai dengan kampanye yang digembar-gemborkan. Dukungan sejumlah partai politik (parpol), seperti Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Hanura, dan Partai Kebangkitan Bangsa, serta sejumlah parpol non-parlemen, juga nggak ngaruh banyak.

Hasil pemilu menempatkan Foke-Nara di posisi kedua (34,05%), di bawah pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (42,60%) yang berhasil mencitrakan diri sebagai sosok sederhana dan dekat dengan masyarakat Jakarta. Walhasil, pilkada DKI Jakarta 2012 terpaksa berlanjut ke putaran kedua. Kenyataan yang mengejutkan, sekaligus menjungkirbalikkan hasil survei sejumlah lembaga survei yang menjagokan Foke-Nara, ini mau tak mau membuat Foke-Nara dan tim pendukungnya ketar-ketir serta ekstra keras melakukan konsolidasi.

Gaya kampanye Foke-Nara yang jarang menyentuh langsung masyarakat pemilih, khususnya kalangan bawah, terkesan segera berubah. Jauh sebelum putaran kedua berlangsung, Foke mulai terlihat getol mengunjungi dan berdialog dengan masyarakat pingiran Jakarta. Momen bulan Ramadan silam banyak dimanfaatkan Foke untuk lebih berdekat-dekat dengan masyarakat. Foke juga terlihat berusaha merapat ke komunitas Tionghoa dan masyarakat Katolik. Senyumnya pun makin kerap tersungging di balik kumisnya yang tebal.

Foke agaknya menyadari bahwa kebijakan pro-rakyat yang digulirkannya belum begitu bergaung lantaran relatif masih baru dan belum tersosialisasi dengan baik. Untuk itulah, pihaknya menggenjot sosialisasi dengan memperbanyak spanduk, plus pemberitaan di media massa. Pada 1 September lalu, Foke juga meluncurkan fasilitas akses internet gratis, dengan memasang titik-titik Wi-Fi di sejumlah koridor busway.

Dukungan politik diperluas pula, dengan merangkul semua parpol pendukung para calon gubernur yang tereliminasi pada putaran pertama, tanpa menyisakannya buat pasangan lawan. Partai yang dirangkul belakangan itu adalah Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan parpol non-parlemen. Sangat kentara, Foke-Nara mengerahkan segenap daya dan potensi yang ada guna memenangkan pertarungan.

Foke agaknya ingin mengulang suksesnya pada pilkada DKI 2007. Ketika itu, Foke berpasangan dengan Prijanto dan didukung banyak parpol, mengungguli pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang hanya didukung PKS.

***

Kubu Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang populer dengan sebutan Jokowi-Ahok juga giat memantapkan strategi menyongsong pilkada DKI putaran kedua yang sudah di depan mata. Jokowi yang menjabat sebagai Wali Kota Solo, Jawa Tengah, ini bahkan merasa perlu bolak-balik Solo-Jakarta guna mengadakan pertemuan-dengan relawan, pimpinan parpol pendukung, serta menghadiri undangan berbagai pihak. Semua itu dalam rangka mengonsolidasikan kekuatan.

Maklumlah, pasangan yang didukung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra ini banyak diterpa isu negatif. Mulai selebaran gelap berbau SARA dan spanduk liar yang mendiskreditkan mereka sampai upaya hukum resmi yang tujuannya menggoyang pasangan ini. Upaya hukum itu, antara lain, berupa laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi oleh kelompok yang menamakan diri Tim Selamatkan Solo, Selamatkan Jakarta, Selamatkan Indonesia.

Tim ini menuding Jokowi melakukan pembiaran terhadap dugaan korupsi Bantuan Pendidikan Masyarakat Surakarta (BPMKS) tahun 2010. Kelompok lain dengan nama Tim Pembela Masyarakat Surakarta (TPMS) menggugat Jokowi ke Pengadilan Negeri Surakarta. Penggugat --dua warga Solo bernama Paidi dan Ari Setiawan-- menilai Jokowi ingkar janji terhadap warga Solo lantaran ikut bertarung pada pilkada DKI sebelum menuntaskan amanah memimpin Solo.

''Kalau Jokowi mencintai Solo, kenapa meninggalkan Solo? Ini yang membuat warga merasa diingkari,'' kata Sri Hadi Fahrudin, kuasa hukum penggugat, kepada wartawan GATRA Arif Koes Hernawan. Penggugat pun menuntut Jokowi membayar ganti rugi materiil Rp 143,9 milyar dan imateriil Rp 200 milyar. Ganti rugi materiil dihitung atas dasar biaya PPB dan pajak kendaraan yang telah dibayar warga selama dua tahun --bertepatan dengan sisa masa jabatan Jokowi.

Menurut Boy Sadikin, ketua tim kampanye Jokowi-Ahok, tuduhan korupsi dan ingkar janji itu tak mendasar sama sekali sehingga tak memusingkan mereka. Jokowi bahkan menanggapinya dengan santai. ''Saya itu ikut pilkada tiga kali. Dianiaya, dilapori, itu sudah biasa. Soal yang bener-nya kayak apa, ya, tanya yang laporin, dia itu dibayar siapa,'' kata Jokowi kepada GATRA. Jokowi menginstruksikan agar timnya dan para relawan tidak terprovokasi, termasuk oleh aksi teror di Solo yang sempat dikait-kaitkan dengan pilkada DKI.

Terkait dengan strategi pemenangan, menurut Sekjen PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, masih tetap seputar mempertahankan kantong-kantong suara Jokowi-Ahok, dan berupaya meraup dukungan seluasnya. Ketua DPD Gerindra Jakarta, M. Taufik, menambahkan bahwa partai pendukung juga menggarap tempat-tempat Jokowi-Ahok kalah pada putaran pertama, daerah yang angka golputnya tinggi, serta daerah yang dimenangkan pasangan di luar Foke-Nara. ''Mereka ini potensial milih Jokowi-Ahok,'' kata Taufik kepada wartawan GATRA Cavin R. Manuputty.

Meski tak memperoleh tambahan dukungan parpol, kubu Jokowi-Ahok tetap pede karena lebih mengandalkan apa yang mereka sebut ''koalisi rakyat''. Menurut M. Taufik, mengacu pada hasil pilkada putaran pertama, perolehan suara partai terbukti tidak berbanding lurus dengan suara masyarakat. Contohnya, Jokowi-Ahok yang didukung PDI Perjuangan dan Gerindra (pada Pemilu 2009 memperoleh total suara 18%) nyatanya meraup 42,60% suara. Berangkat dari kenyataan ini, meski Foke-Nara didukung tujuh parpol parlemen, M. Taufik yakin, perolehan suara Foke-Nara kelak belum tentu signifikan.

Keyakinan kubu Jokowi-Ahok ini mungkin tak berlebihan. Apalagi, internal sejumlah parpol pendukung Foke-Nara terkesan tak kompak. Kebijakan DPD Golkar Jakarta yang mendukung Foke-Nara, misalnya, tak mendapat restu DPP Golkar. Secara kasatmata, dukungan yang diberikan Golkar tak begitu tampak. Ketua DPD Golkar Jakarta, Priya Ramadhani, dikabarkan kurang sreg dengan Foke-Nara. Tapi Priya membantah. ''Kami tetap komit dan solid mendukung (Foke-Nara),'' katanya kepada wartawan GATRA Anthony Djafar.

Begitu pula di internal PKS. Survei di internal partai ini menyebutkan, dukungan para kader lebih mengarah ke Jokowi, yakni sebanyak 30%, sedangkan dukungan ke Foke hanya 25%. Adapun sisanya menunggu keputusan pimpinan partai. Namun suara resmi yang keluar, kader PKS kompak mendukung Foke. Nantinya tim Foke dan tim PKS bekerja sendiri-sendiri. ''Pemetaan dan pembagian (tugas) dilakukan di awal. Selebihnya, kami minta kebebasan,'' kata juru bicara PKS, Mardani Ali Sera, kepada Rach Alida Bahaweres dari GATRA.

Di antara parpol yang belakangan mendukung Foke-Nara, agaknya hanya PPP yang terkesan cukup solid. Setidaknya, tak ada bisik-bisik yang menyebutkan bahwa dukungan partai ini terpecah. Wakil Sekjen PPP, Ridho Kamaluddin, menegaskan bahwa pihaknya sudah menyusun strategi untuk mengunduh suara, seperti mengerahkan pengurus partai untuk turun ke masyarakat. Ridho optimistis, partainya mampu mendongkrak perolehan suara Foke. Apalagi, katanya pula, sejak putaran pertama, banyak orang PPP yang menjadi relawan Foke-Nara.

***

Siapakah yang bakal merebut kursi DKI-1? Masih sulit memprediksinya, mengingat putaran kedua ini sama sekali tidak diwarnai survei elektabilitas pasangan calon. Meski begitu, Direktur Riset Lingkaran Survei Indonesia, Arman Salam, memperkirakan bahwa Foke-Nara lebih unggul dibandingkan dengan Jokowi-Ahok. Alasannya, ''Incumbent biasanya memanfaatkan posisinya melalui birokrasi. Misalnya dengan merealisasikan program-program pro-rakyat,'' kata Arman.

Soal dukungan parpol, menurut Arman, tak terlalu berpengaruh pada perolehan suara calon yang diusung, kecuali mesin politik partai itu mampu menggalang dukungan. Hal ini diamini Burhanudin Muhtadi, Direktur Komunikasi Lembaga Survei Indonesia. Pengamat politik ini membagi dua teori, paralel dan split. Teori paralel, jika dukungan partai berbanding lurus dengan dukungan massa di bawahnya. Sedangkan teori split, terjadi ketidaksesuaian antara dukungan partai dan massa di bawahnya.

Sejauh ini, dalam pengamatan Burhanuddin, PDI Perjuangan dan Gerindra masuk dalam teori pararel. Kendati begitu, ia tak mau menyampaikan prediksi siapa yang unggul dalam putaran kedua nanti. ''Saya tidak bisa menyampaikan (prediksi) jika tidak didukung data,'' katanya kepada Ade Faizal Alami dari GATRA.

Senada dengan Burhanuddin, M. Qodari juga enggan menyinggung prediksi menyangkut siapa yang bakal memenangkan pilkada DKI, dengan alasan tidak punya data. Yang jelas, kata Qodari, pada pilkada ini Foke sebagai incumbent memiliki beban berat. Dua masalah besar yang menghantui Jakarta selama ini, yakni banjir dan kemacetan, belum bisa ditanggulanginya.

Menurut Qodari, terhadap incumbent, masyarakarat cenderung melihat ke belakang, melihat realitas, bukan janji. Ia yakin, masyarakat Jakarta pasti masih ingat betul tagline yang diangkat Foke pada pilkada DKI 2007, yakni ''Serahkan Pada Ahlinya''. Nyatanya, banjir dan kemacetan masih menjadi masalah besar. ''Kalau masalah-masalah itu sudah diselesaikan, saya kira tagline-nya saat ini adalah 'Saya Memang Ahlinya','' ucap Qodari, agak berseloroh.

Lalu, siapa yang bakal menjadi pemenang pilkada yang hiruk-pikuk itu? Yang pasti, siapa pun pemenangnya, masalah banjir dan kemacetan diperkirakan masih akan tetap menghantui Jakarta. Nasib...!

(Taufik Alwie, Sandika Prihatnala, Bernadetta Febriana, dan Andya Dhyaksa)
Laporan Utama Majalah GATRA edisi 18/45, terbit Kamis 13 September 2012

__._,_.___
Recent Activity:
Gabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/

Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*

CLICK Here to Claim your Bonus $10 FREE !
http://profitclicking.com/?r=kQSQqbUGUh
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar