Jumat, 14 September 2012

[inti-net] Fw: INI SOAL TENUN KEBANGSAAN, TITIK!!! by DR. Anies Baswedan

----- Original Message -----
From: ASAHAN

Sent: Friday, September 14, 2012 1:31 PM
Subject: Re: INI SOAL TENUN KEBANGSAAN, TITIK!!! by DR. Anies Baswedan


Dalam praktek, Pemerintah yang sekarang maupun yang sebelumnya sangat cenderung melindungi kaum mayoritas daripada yang minoritas dengan politIk PEMBIARAN yang sangat menonjol yang bisa dirasakan dan dilihat dengan kasat mata. Contoh yang masih hangat adalah pembiaran Penguasa atas terror yang dilakukan terhadap orang Ahmadiah (sekarang, juga Sji'ah) oleh pihak Islam mayoritas.
Di jaman suharto kaum minoritas dari etnis Tionghoa diteror bahkan hingga super horror yang tak terperikan kejamnya dan bagaimana sikap Pemerintah? Bukan hanya tidak melindungi dan membiarkan secara menyolok bahkan ada elemen-elemen dari Penguasa yang turut melakukan terror dan pemburuan etnis minoritas. Tidak pernah terkesan bahwa Pemerintah lebih memanjakan atau "merendah-rendahkan diri"terhadap kaum minoritas apalagi hingga melindunginya hingga tidak ada kekuatiran bahwa kaum Mayoritas lebih kurang dilindungi daripada kaum Minoritas. Bahkan sebaliknya, kaum Mayortias terlalu banyak menerima pembiaran Pemertintaah bila mereka menyiksa atau menganiaya kaum Minoritas.
Keturunan para korban terror suharto hingga sekarang tidak mendapat perlindungan dari Pemeritntah, tidak mendapatkan hak yang sama dengan golongan Mayoritas lainnya, tidak punya hak politik, tidak punya hak demokrasi apalagi untuk bisa disebut dimanjakan atau diistimewakan oleh Pemerintah.
Semua korban pelanggaran HAM berat maupun setengah berat selalu adalah kaum Minoritas. Apakah Pemereintah punya perhatian atau punya sikap melindungi mereka? Soal pembunuhan Munir hingga sekarang tidak pernah diselesaikan secara adil.
Kita sungguh tidak pernah melihat dan merasakan bahwa Pemerintah bersikap adil tanpa tebang pilih dalam menyikapi persoalan atau konflik antara Mayoritas dan Minoritas.
Dalam soal politik yang menyangkut bangsa dan negara, Pemerintaah juga melakukan pembiaran terhadap kenyataan bahwa hanya suku Mayoritas Jawa yang bisa jadi Presiden (Habibi sebuah perkecualian karna situasi luar biasa, dia wakil Presiden). Bagaimana bisa timbul kesan bahwa Pemerintah lebih cenderung melindungi atau mengistimewakan kaum Minoritas?
Kaum Minoritas tidak minta diistimewakan dan tidak pernah menerima keistimewaan atau pemanjaan dari Pemerintah. Minoritas hanya menuntut hak sama dengan semua golongan lainnya dalam tenunan bangsa termasuk golongan Mayoritas. Kesan seolah Pemerintah lebih melindungi, memanjakan, "merendah-rendah" terhadap kaum Minoritas, sungguh JAUH PANGGANG DARI API. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa baik di bidang politik, agama, kebudayaan bahkan hingga ekonomi, Pemerintah selalu melindungi suku terbesar, aliran agama terbesar, pemilik kebudayaan dari etnis terbesar serta ekonomi kapitalis monopoli Neoliberal.Dan itulah salah satu sebab perjuangan klas di Indonesia akan semakin menajam .
ASAHAN.



----- Original Message -----
From: Hasan M Soedjono
To:
Sent: Wednesday, September 12, 2012 6:00 AM
Subject: Fwd: INI SOAL TENUN KEBANGSAAN, TITIK!!! by DR. Anies Baswedan


Banyak topik yang dikemukakan oleh pak Anies adalah seputar subjek yang kerap kita bahas ti jaman baheula. Tetapi, bagaimana dia mengkombinasi satu tema dengan tema lain adalah hal yang jarang, segar bahkan unik. Misalnya saja, siapa yang tak pernah dengar bahwa penggunaan kekerasan adalah hal yang tidak benar? Atau bahwasanya hukum harus ditegakkan? Tetapi pendapat yang pak Anies sampaikan adalah suatu yang sering (bahkan sengaja?) kita lupakan: "Kekerasan mudah terjadi, justru karena hukum tidak ditegakkan."




Umpamanya lagi, ide bahwa setiap negara harus melindungi kaum minoritas. Kita kan semua tahu. Atau, azas mendasar bahwa negara wajib melindungi warganya. Pastilah! Tetapi berapa kerap kita diingatkan bahwa: "Isunya bukan mengenai hak minoritas dan mayoritas, melainkan mengenai tugas laten dari negara (pemerintah) untuk melindungi warga mana saja yang terancam kekerasan fisik."




Ibarat sajaddah. Tak ada aspek apapun yang unik atau lain mengenai tikar sembahyang mana saja. Atau alat kompas — suatu penunjuk arah ciptaan manusia semenjak satu millennium silam. Tetapi, ide yang menjahit dan memasang kompas secara permanen di sebuah sajaddah? Kalau ITU — believe it or not — adalah suatu penemuan unik yang pernah dilindungi hak paten dunia untuk bertahun-tahun.




Dalam padanan yang serupa, talenta dari pak Anies dalam menyinarkan inspirasi luar biasa ke kita semua, berdasarkan prinsip, azas, serta etika yang justru biasa, sederhana, dan sudah lama kita ketahui, adalah suatu bakat dan anugerah dari Tuhan.




-hms-




Begin forwarded message:


From: Melinda Wiria

Date: September 12, 2012

Subject: INI SOAL TENUN KEBANGSAAN, TITIK!!! by DR. Anies Baswedan

Anies Baswedan delivered this topic in his keynote speech during Alumnas' halal bihalal last night. An excellent speech indeed!

He also said that foreign graduates sometimes complicate rather facilitate problem solving. Therefore, he cautions them - especially those who just came back to Indonesia - to be careful in applying their knowledge/skills to solve problems in Indonesia, as not everything they know is applicable here.
INI SOAL TENUN KEBANGSAAN, TITIK!!!
by Anies Baswedan on Tuesday, September 11, 2012 at 1:16pm
Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!



Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi.



Janji pertama Republik ini adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tapi karena diancam saudara sebangsa, maka Republik ini telah ingkar janji.



Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas oleh saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana. Perlindungan minoritas dibahas amat luas.



Bangsa ini harus tegas: berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara lain.





Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan !



Tenun Kebangsaan itu dirobek dengan diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal.



Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan?



Tidak! Republik ini tidak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya.



Mereka bukan sekadar melanggar hukum tapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan.



Tenun Kebangsaan itu dirajut dengan amat berat dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini amat bhineka. Kebhinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebhinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah !



Tenun kebangsaan ini dirajut dari kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat menghasilkan kekuatan.



Perajutan tenun inipun belum selesai. Ada proses yang terus menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah pada masa berikutnya.



Dalam beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan membedakan "warga negara" dan "penganut sebuah agama".



Perbedaan aliran atau keyakinan tidak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan -bahkan ribuan- tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus, dan belum ada tanda akan selesai minggu depan.



Jadi, di satu sisi, negara tidak perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja berbeda tapi semua adalah warga negara republik yang sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi oleh aturan dan hukum republik yang sama. Di sini negara bisa berperan.



Negara memang tidak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Tetapi negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi dialog antar pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apapun boleh, begitu berubah jadi kekerasan maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya.



Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antar penganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antar warga senegara. Dalam menegakkan hukum, negara harus selalu melihat semua pihak semata-mata sebagai warga negara dan haya berpihak pada aturan di republik ini.



Apalagi aparat keamanan, ia harus hadir untuk melindungi "warga-negara" bukan melindungi "pengikut" keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, maka aparat hadir untuk menangkap "warga-negara" pelaku kekerasan, bukan menangkap "pengikut" keyakinan yang melakukan kekerasan. Pencampuradukan ini salah satu sumber masalah yg harus diurai secara jernih dan dingin.



Menjaga tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik dan perlu. Disini pendidikan berperan penting. Tetapi itu semua tak cukup, dan takkan pernah cukup.



Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Ada saja manusia yang datang untuk merobek. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau "bertarung" menghadapi para perobek itu.






Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah, bahwa bangsa ini gagah mempesona saat mendirikan negara bhineka tapi lunglai saat mempertahankan negara bhineka.



Membiarkan kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas.

Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan ini efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek, hampir pasti tidak bisa memulihkannya. Tenun yg robek selalu ada bekas, selalu ada cacat.

Ada seribu satu pelanggaran hukum di republik ini, tapi gejala merebaknya kekerasan dan perobekan tenun kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk dibereskan. Untuk mensejahterakan bangsa semua orang boleh "turun-tangan", tapi untuk menegakkan hukum hanya aparat yang boleh "turun-tangan". Jadi saat penegak hukum dibekali senjata itu tujuannya bukan untuk tampil gagah saat upacara, tapi untuk dipakai saat melindungi warga negara, saat menegakkan hukum. Negara harus berani dan menang "bertarung" melawan para perobek itu.



Bahkan saat tenun kebangsaan terancam itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tapi tidak ada kebebasan untuk melakukan kekerasan.



Aturan hukumnya ada, aparat penegaknya komplit. Jadi begitu ada warga negara yang pilih untuk melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, maka sikap negara hanya ada satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya saja yang dihukum. Setiap gelintir orang yang terlibat harus dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai. Itu sebagai pesan pada semua: jangan pernah coba-coba merobek tenun kebangsaan!



Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat setiap orang sadar bahwa memilih kekerasan adalah sama dengan memilih untuk diganjar dengan hukuman yang menjerakan. Ada kepastian konsekuensi.



Ingat, Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan Negara yang bhineka. Kita bangga dengan mereka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat kebhinekaan itu secara tanpa syarat? Biarkan kita semua -dan kelak anak cucu kita- bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.



—————————-

Tulisan dimuat di Harian Kompas, 11 September 2012 Halaman 6 dalam Rubrik Opini


------------------------------------

Gabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/

Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*

CLICK Here to Claim your Bonus $10 FREE !
http://profitclicking.com/?r=kQSQqbUGUhYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/inti-net/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/inti-net/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
inti-net-digest@yahoogroups.com
inti-net-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
inti-net-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar