Kamis, 06 September 2012

Re: [M_S] Re: Bls: Analisis Diskusi dg Prof Thomas Djamaludin, 1 September 19.00 Uhamka

 

Bung Pran,


Seperti sudah saya katakan, interpretasi 36:38 itu dua2 nya bener. 1) Gerakan Matahari dalam mengorbit galaxi seperti yg diungkapkan TDj. 2) Gerakan semu Matahari yang seolah2 mengelilingi Bumi akibat rotasi Bumi.

Adapun 36:40, dan Matahari tidak akan dapat mengejar (atau mendapatkan, atau menabrak Bulan, spt yg antum usulkan), justru karena menjelaskan sifat2 hilal pada manzilah terahirnya (36:39). Jadi memang dalam manzilah terahir ini memang Matahari tidak akan dapat mengejar Bulan (dilanjutkan:... seperti malam yang tidak akan mendaapatkan siang). Ini justru untuk menegaskan bahwa "ijtima" adalah akhir dari siklus sinodik Bulan spt yang antum selalu refer. Pada saat ijtima itulah Matahari telah dapat mengejar Bulan (dan malampun akhirnya toh suatu saat menggantikan siang). Message astronomis yang lebih jauhnya adalah: meskipun mereka kelihatannya bertabrakan, tapi mereka berada pada garis edar yang berbeda, jadi tidak betul2 bertabrakan. 

Jadi message astronomis 36: 38-40 itu memang luar biasa karena menjelaskan kedua2 fenomena astronomis yang kompleks sekaligus. 
  1. Pengertian pendefinisian awal bulan qomariyah, dan 
  2. Penjelasan dimensi kedua benda langit tsb yang jauh berbeda. Matahari yang letaknya 15 juta km, sedangkan Bulan hanya < 400 ribu km.

Ok, mungkin TDj masih berpendapat lain mengenai interpretasi ini. Namun, Umm al-Qura, FQNA, ISNA, Muhammadiyah mengadopsi ini sebagai pendefinisian awal bulan Qomariyah (memang Umm al-Qura dan FQNA tidak secara spesifik mengatakan 36: 39-40 inilah yang mengilhami pendefinisian awal bulan Islam ini), namun kriterianya secara eksplisit sama seperti MD yaitu:
  1. Telah terjadi konjungsi (tidak ada minimal waktu - misal 8 jam sebelum Matahari terbenam).
  2. Matahari tenggelam mendahului Bulan tenggelam (tidak ada minimum time-lag antara Matahari dan Bulan tenggelam, atau biasa diterjemahkan secara astronomis sebagai minimum ketinggian hilal - 4 menit time-lag itu kira2 equivalen dengan 1 derajat).
  3. Tidak ada batasan jarak Bulan-Matahari (elongasi).

Jadi meskipun Uum al-Qura dan FQNA tidak secara spesifik menyebutkan kriteria di atas diinspirasi oleh 36:38-40, ya enggak apa2, tapi kenyataannya adalah kriteria di atas adalah persis seperti kriteria WH Muhammadiyah. Jadi memang 36:38-40 itu genuine hasil ijtihad MD.

Persoalanya sekarang, kalau toh TDj masih tidak setuju dengan 36:38-40 sebagai pendefinisian yang akurat untuk awal bulan qamariyah, mengapa tiba2 dia menganulir sama sekali kriteria WH dan mengatakan itu kriteria usang? Umm al-Qura dan FQNA kan "belum" juga menganggap 36:38-40 sebagai spiritnya, tapi kan tetap meyakini WH (namanya mungkin lain) sebagai kriteria awal bulan qomariyah? Pertanyaan selanjutnya, kenapa TDj langsung mengadopsi kriteria imkan-rukyat? dasarnya apa? Sama sekali enggak ada landasan syar'i maupun ilmiahnya. 
  1. Yang syar'i: ketinggian minimum hilal pasti sudah diberikan oleh Rasul seperti ketinggian Matahari untuk sholat dhuha, kalau memang ini yang diinginkan Rasul. Nyatanya kan enggak ada itu.
  2. Yang saintifik: Dalam diskusi lalu saya sudah tunjukkan dengan Stellarium bahwa hilal telah besar sejak Matahari terbit (bahkan sejak sebelum subuh, atau bahkan telah ada pada maghrib 19 Juli) sampai menjelang terbenam (sekitar jam 17:30) pada 20 Juli 2012 lalu. Hilal itu tidak kelihatan oleh mata (i.e. bagi orang ummiy), tapi telah ada dan dapat dibuktikan keberadaanya bagi orang yang mau berfikir. 

Jadi, kalau beliau menempatkan dirinya seperti orang ummiy, tidak percaya ada hilal sepanjang hari tg 20 Juli 2012 lalu, meskipun Doktor dalam Astronomi, ya itu syah2 saja. Bahwa Menteri Agama, MUI, dan pemerintah Indonesia secara umum juga kemudian mempercayai nasihat TDj, itu juga syah2 saja. Tapi kalau itu kemudian dipaksakan pada Muhammadiyah (dan khusunya saya pribadi) untuk menganggap tg 20 Juli 2012 itu adalah 30 Sya'ban,....nah ini yang enggak dapat diterima. Secara syar'i dan ilmiah tidak dapat diterima, dan tidak masuk akal. Ibaratnya biar ditodong pake rudalpun, ya kami tetap yakin hari itu telah 1 Ramadan, dan akan berpuasa.

Saya ingin taat pada ulil amri, tapi saya jauh. . . .jauh . . . .jauh . . . lebih takut pada Allah. Hilal telah besar (meskipun enggak kelihatan), dan itu berarti sudah 1 Ramadan, dan saya harus berpuasa (mungkin itu juga yang diyakini oleh Muhammadiyah?, insya Allah...silahkan Ki Ageng yang mampu menjawab ini sebagai pengurus MD). 

Jadi, saya sangat takut kalau saya tidak berpuasa pada 20 Juli 2012 lalu karena mungkin di yaumul akhir akan ditanya oleh Allah (maaf ini hanya imajinasi saya, karena sekecil apapun akan diminta pertanggungan jawabnya):

Allah: Mengapa kamu tidak berpuasa pada 20 Juli 2012 lalu? 
Saya: Habis, saya enggak lihat hilal. saya baru lihat pada maghrib 20 Juli 2012 nya
Allah: Sekolahmu apa?
Saya: PhD dalam Remote Sensing, dari University College London (Allah pasti sudah tahu ini karena yang menyekolahkan kan Allah juga).
Allah: Masa PhD dalam RS enggak bisa lihat hilal sudah besar?
Saya: ?*&^$#%!@

Jadi ketakutan pada azab Allah itu jauh lebih besar dari rasa takut dan ingin mentaati ulil amri. Kalau kami ngotot dan pengen menyebarkan pengetahuan ini ke lebih banyak umat Islam, itu adalah satu kewajiban karena pada umumnya orang kan tidak paham astronomi meskipun mereka mungkin sangat expert dalam bidang2 lain. Banyak di antara mereka hanya taqlid, ikut ulama, kawan, termasuk pemerintah. Jadi itu obyektif kami memberikan pengertian dan berbagi pengetahuan. Namun, jika keputusan mereka setelah tahu ilmunya tapi kemudian berkata: "ya pokoknya kami ikut ulil amri sajalah", ya enggak apa2. Tapi, kewajiban kami sudah disampaikan. Itu saja.

Justru ini yang belum dijawab oleh TDj. mengapa beliau menganggap hilal tidak ada sepanjang hari 20 Juli 2012 lalu hanya karena tidak kelihatan, padahal beliau Doktor Astronomi? Mengapa juga beliau justru mengajak umat Islam lainnya beramai2 untuk menganggap hari dimana hilal telah besar pada 20 Juli 2012 itu dianggap sebagai 30 Sya'ban? 

Ingat juga kira2 satu jam setelah maghrib 20 Juli lalu itu, hilal kemudian tenggelam ke bawah ufuk...artinya sudah enggak kelihatan. Lalu bagaimana cara memprektekkan berpuasa dg teks harfiyah: "summu lirukyatihi" (berpuasalah ketika melihat hilal), padahal hilalnya cuma kelihatan sekitar 1 jam saja? TDj belum juga jawab ini.

Akan lebih baik TDj itu dihadirkan juga lah dalam milis ini, karena di beberapa milis lain, maaf isinya kok hujatan2 yang kurang santun. Milis ini jauh lebih santun, berkat Mas Widya yang mengawal dan selalu memonitor.

Sekian dulu dan wassalam,
TS




2012/9/6 pranoto hidaya rusmin <pranotohr@yahoo.com.sg>
 

Kalau menurut sy, ketika "an tudrika" dipahami sbg mengejar, ini memang jadi tdk nyambung dg kalimat penutupnya. apakah konsep WH harus didukung dg makan "an tudrika" sbg mengejar?
menurut sy justru tdk. biarkan an tudrika kembali ke mendapatkan, yg berarti ayat tsb memang hanya sebatas pd pengungkapan posisi konjungsi dan msg2 benda langit punya orbitnya.

sdkn, konsep WH dimunculkan dari sains, di mana posisi konjungsi sbg titik akhir dan awalnya.

Silakan ada yg menanggapai Pak Thomas, insyaAllah akan terbuka semuanya.

Salam


From: Amir Udin <ustadz_millennia@yahoo.com>
To: "Muhammadiyah_Society@yahoogroups.com" <Muhammadiyah_Society@yahoogroups.com>
Sent: Thursday, 6 September 2012, 14:36
Subject: Re: [M_S] Re: Bls: Analisis Diskusi dg Prof Thomas Djamaludin, 1 September 19.00 Uhamka

 
Salam

Sekedar info. Usai, dialog di Jakarta dg TDj di UHAMKA tsbt, malam berikutnya Prof. Syamsul dialog lagi, kali ini dengan Lajnah Falakiyah NU. Dialog ini bahkan menghadirkan salah seorang tokoh dari Ummul Qura Arab Saudi. Hal yang memang menakjubkan, tafsir yang melahirkan konsep wujudul-hilal ini memang ternyata lahir dari rahim Muhammadiyah, tokoh dari Ummul Qura itu pun tidak tahu. Menurut Prof. Syamsul pun, ulama-ulama dahulu belum ada yang melahirkan konsep ini. Jadi, ya wajar kalau banyak orang belum bisa menerima. Wajar juga kalau ada yang bilang bid'ah, atau juga hoax, karena susah sekali dicari "link salaf"-nya. So, yang setuju dengan konsep wujudul hilal sabar saja ...

Salam
Amir



From: pranoto hidaya rusmin <pranotohr@yahoo.com.sg>
To: "Muhammadiyah_Society@yahoogroups.com" <Muhammadiyah_Society@yahoogroups.com>; "syamsanw@yahoo.com" <syamsanw@yahoo.com>; Thomas Djamaluddin <t_djamal@yahoo.com>; "t_djamal@bdg.lapan.go.id" <t_djamal@bdg.lapan.go.id>
Sent: Thursday, September 6, 2012 12:59 PM
Subject: [M_S] Re: Bls: Analisis Diskusi dg Prof Thomas Djamaludin, 1 September 19.00 Uhamka

 
From: Thomas Djamaluddin <t_djamal@yahoo.com>


Assalamu'alaikum wr. wb.,

Sumber masalah adalah pembenaran WH berdasarkan QS 36:40 itu tidak tepat.
Silakan baca http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/.

Berikut ini penejalasan tambahan saya di FB:
QS 36:40 yang dijadilkan landasan WH tidak bisa dimaknai sebagai gerak semu, karena pada akhir ayat "wakullu fii falakiyyasbahun" (dan masing beredar di orbitnya) menegaskan tidak mungkinnya matahari mendapati/mengejar bulan bukan karena gerak semu, tetapi karena gerak dirinya (proper motion) yang berbeda, yang sudah dijelaskan di QS 36:38-40. Kita semua tahu, dalam memahami ayat-ayat Al-Quran tidak boleh dipenggal-penggal, harus dilihat konteksnya secara utuh.

WH adalah penyederhanaan dari IR untuk memudahkan perhitungan yang (pada masa pra-komputer) sangat rumit. Dalil Qs 36:40 hanyalah pembenaran yang dikemukakan oleh Pak Saaduddin Jambek sekitar awal 1970-an, termasuk kosep garis tanggal WH, dalam bukunya "Hisab Awal Bulan". Mahasiswa S3 bimbingan saya (sekarang sudah doktor) juga tidak menemukan dalil QS 36:40 dalam berbagai kitab yang dimaknai sebagai WH.

Semoga kita sepakat bahwa tafsir QS 36:40 dalam kitab "al-Tahhir wa al-Tanwir" pun tidak menyebutkan pemaknaan WH. Kalau kita timbang, antara pemaknaan "gerak semu" dan "gerak hakiki/gerak sejati/gerak diri/proper motion", jelas lebih berat ke arah pemaknaan gerak diri, setidaknya salah satu makna yang jelas dari "yasbahun" adalah "beredar" ada pula yang memaknai seperti "berenang/bergerak mengapung". Karena ayat ini terkait dengan ayat kauniyah (fenomena alam), alat bantu sains (dalam hal ini astronomi) tentu sangat membantu pemahaman maknanya. Secara astronomi, ayat-ayat itu (khususnya QS 36:38-40) secara gamblang menjelaskan gerak diri matahari dan bulan serta ketampakannya. QS 36:37 lebih terkait dengan gerak rotasi bumi, yang juga disinggung di QS 36:40. Jadi, tidak ada sama sekali nuansa gerak semu dalam ayat QS 36:40 tersebut yang mengarah pada pemaknaan WH.

Wassalamu'alaikum wr. wb.,

T. Djamal
 
************************************************************************
Alternate e-mail: t_djamal@lapan.go.id, t_djamal@yahoo.com
Website           : www.lapan.go.id
Personal blog   : tdjamaluddin.wordpress.com
************************************************************************

Dari: pranoto hidaya rusmin <pranotohr@yahoo.com.sg>
Kepada: "Muhammadiyah_Society@yahoogroups.com" <Muhammadiyah_Society@yahoogroups.com>; "syamsanw@yahoo.com" <syamsanw@yahoo.com>; "t_djamal@bdg.lapan.go.id" <t_djamal@bdg.lapan.go.id>; "t_djamal@yahoo.com" <t_djamal@yahoo.com>
Dikirim: Rabu, 5 September 2012 21:33
Judul: Analisis Diskusi dg Prof Thomas Djamaludin, 1 September 19.00 Uhamka


Dari pemahaman2 yg sangat panjang tsb.

Menurut sy, inti perbedaan antara IR yang diusung Pak Thomas (dan bbrp astronom lain) dg WH dari MD adalah soal definisi hilal.

kalau hadits rukyatul hilal dijadikan acuannya, hilalnya mesti yg terlihat.
Sdkn, kalau dari Yasin 39-40 & sains, muncul titik NOL nya dari konjungsi.

Masukan dari sy, lebih tepat memahami kata "an tudrika" dlm Yasin 40 itu sbg "mendapatkan", shg jadi koheren dg penutupnya. artinya ayat ini memang mengungkap soal posisi konjungsi dan berakhir pd pemahaman ini.
Sedangkan, kriteria WH yg dibangun dapat dimunculkan dari sains, krn memang scr astronomis siklus sinodik bulan sbg acuan penanggalan diakhiri dan dimulai pd konjungsi.


Lalu sekarang bgmn .....

sy serahkan pada para pakar semuanya.











--
htt://cis-saksono.blogspot.com

__._,_.___
Recent Activity:
----------------------------------------------------------------------
"Muhammadiyah ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah
kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah guru kembali
pada Muhammadiyah. Jadilah dokter, kembali kepada Muhammadiyah. Jadilah
Meester, insinyur dan lain-lain, dan kembalilah kepada Muhammadiyah"
(K.H. Ahmad Dahlan).

----------------------------------------------------------------------
Salurkan ZAKAT, INFAQ dan SHODAQOH anda melalui LAZIS
MUHAMMADIYAH

No. Rekening atas nama LAZIS Muhammadiyah
1. Bank BCA Central Cikini
    (zakat) 8780040077 - (infaq) 8780040051
2. BNI Syariah Cab. Jakarta Selatan
    (zakat) 00.91539400 -   (infaq) 00.91539411
3. Bank Syariah Mandiri (BSM) Cab. Thamrin
    ( Zakat) 009.0033333 -  (Infaq) 009.00666666
4. Bank Niaga Syariah
    (zakat) 520.01.00186.00.0 - (infaq) 520.01.00187.00.6
5. Bank Muamalat Indonesia Arthaloka
    (Zakat) 301.0054715
6. Bank Persyarikatan Pusat
   (zakat) 3001111110 -  (infaq) 3001112210
7. Bank Syariah Platinum Thamrin
    (zakat) 2.700.002888 -  (infaq) 2.700.002929
8. BRI cab. Cut Meutia
    (zakat) 0230-01.001403.30-9 -    (infaq) 0230-01.001404.30-5

Bantuan Kemanusiaan dan Bencana:
BNI Syariah no.rekening: 00.91539444

DONASI MELALUI SMS
a. Jadikan jum'at sebagai momentum kepedulian,
salurkan donasi anda, ketik: LM(spasi)JUMATPEDULI kirim ke 7505

b. Bantuan kemanusiaan  ketik: LM(spasi)ACK kirim ke 7505

Nilai donasi Rp. 5000, semua operator,belum termasuk PPN

email: lazis@muhammadiyah.or.id
website : www.lazismu.org
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar