Rabu, 12 Oktober 2011

[buruh-migran] Emas Papua Terancam Habis

 

Ref: Tidak dapat diragukan lagi bahwa emas di Grasbeg bukan saja terancam habis, tetapi akan habis. Masalahnya hanya soal waktu saja. Makin lama makin cepat habis, mengingat teknologi explotasi modern, maka mungkin saja sebentar lagi tambang ditutup karena emas, tembanga, perak dan molybdenum sudah habis dikeruk. Pertanyaannya apa  saja yang diperoleh rakyat Papua dari tambang emas mereka. Pertanyaan yang sama juga pasti akan ditanya oleh orang Dayak yang hutang mereka digundul dan kekayaan alam mereka dikeruk. Pertanyaan demikian tentu juga bukan saja dipertanyakan oleh orang Papua atau Dayak, tetapi oleh rakyat di berbagai daerah yang melihat kekayaan alam mereka dikeruk habis, tak ada perbaikan hidup malah beban hidup yang kian hari makin bertambah, menuju kemsikinan abadi. Pendapat terakhir ialah Indonesia merdeka bukan meringankan kehidupan rakyat malah memberatkan, apakah ini hadiah istimewa yang harus dipikul?
 
Seabgai cacatan dapat diberitahukan bahwa perusahaan PT Freeport Indonesia adalah pembayar pajak terbanyak ke kas NKRI.
 
 
 
Senin, 10 Oktober 2011 , 08:10:00
 

PIPA BOCOR - Pipa besi yang mengalirkan konsentrat milik PT Freeport Indonesia, mengalami kebocoran bocor di area Mile 31 Timika, Kamis (6/10) sekitar pukul 19.00 WIT. Meskipun kini pipa tersebut sudah diperbaiki, namun ratusan warga masih tampak menyerbu lokasi kebocoran untuk mengambil sisa lumpur yang meluber dari pipa yang diyakininya mengandung emas.
JAKARTA - Masyarakat Indonesia merintih, sementara tambang emas Papua terancam habis. Ini jika Pemerintah Indonesia tak segera merenegosiasi kontrak karya dengan PT Freeport. Karena itu, keberanian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi penentu keberhasilan renegosiasi ini.
''Kalau presiden mampu bersikap tegas atas kontrak karya yang dinilai menyalahi aturan, maka akan berhasil,'' terang Dr Kurtubi, Pengamat Pertambangan dan Perminyakan kepada INDOPOS (Cenderawasih Pos Group), Sabtu (8/10).
Kurtubi menjelaskan, dalam UU 45 tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, ada ambang batas soal royalti yang harus diberikan kepada negara.
Royalti emas di angka 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen. Namun saat ini, royalti yang diterima pemerintah dari Freeport hanya di kisaran 1 persen untuk emas, 1,5–3,5 persen untuk tembaga dan 1,25 persen untuk perak.
Padahal sebagai negara, terang Kurtubi, pemerintah terkesan diam saja dengan pelanggaran atas undang-undang yang berlaku di republik ini. ''Sudah ada dasar hukumnya kok. Tapi kalau pemerintah gak berani, tetap saja akan seperti ini,'' katanya.
Apalagi, terang Kurtubi, penggunaan sistem flat dalam royalti yang disahkan dalam UU sama sekali tidak merugikan perusahaan eksplorasi tambang. Sebab, berapa pun kenaikan hasil tambang di pasaran, maka tidak ada lagi royalti yang harus dibayarkan pemerintah. Seperti saat ini, harga hasil tambang di pasaran naik sekitar 3- 4 persen.
Dari kenaikan itu, pemerintah tidak mendapatkan untung dari harga pasar. Keuntungan murni milik para pengusaha tambang. ''Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tetap membiarkan ada pelanggaran undang-undang soal pembagian royalti,'' cetus Kurtubi.

Pertanyakan Dana CSR

Kisruh soal pemberian royalti PT Freeport ke pemerintah terus melebar. Tidak hanya akan mengedepankan evaluasi pada kerjasama Freeport dan pemerintah. Komisi XI DPR RI juga berencana meminta penjelasan soal berapa besaran dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang sudah digelontorkan Freeport ke warga Papua dan sekitar.  ''Dalam evaluasi kami akan mempertanyakan berapa besar dana CSR yang diberikan PT Freeport,'' kata Achsanul Qosasi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.
Soal dana CSR perlu diketahui mendetail. Sebab, keberadaan perusahaan asing juga harus memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar. Dengan begitu tidak hanya sebatas royalti yang diberikan pada pemerintah. Namun juga kesinambungan dengan warga yang ada di area sekitar penambangan.
''Kami akan minta detail anggaran yang diterima negara dari Freeport. Termasuk juga CSR-nya. Karena kami (Komisi XI) konsen pada goverment income,'' terangnya.
Politisi Partai Demokrat ini menerangkan, untuk mengetahui secara detail anggaran yang didapat dari Freeport ke pemerintah dan masyarakat Papua, sebelum masa sidang tahun ini berakhir, pihaknya mengagendakan pertemuan dengan Menteri Keuangan dan Dirjen Anggaran.
''Pertemuan tersebut akan membahas penerimaan bukan pajak bagi negara. Kami akan minta laporan secara detail soal berapa yang didapat dari Freeport. Kalau memang tidak sesuai, kami akan evaluasi,'' terangnya.
Sementara itu, tidak menguntungkannya kontrak karya PT Freeport Indonesia dengan pemerintah sudah berulangulang diprotes pengamat pertambangan. Kontrak karya itu dianggap terlalu menyesatkan dan menguntungkan pengelola saja.
''Sudah sering diungkapkan kalau kontrak itu tak menguntungkan. Tapi terus saja dijalankan pemerintah,'' ujar Pengamat Pertambangan ITB Pri Agung Rakhmanto kepada INDOPOS, kemarin.
Diakuinya, kontrak karya yang dibuat secara nyata memberikan celah 80 persen keuntungan diambil pengelola. Sedangkan pemerintah hanya mendapatkan 20 persen dari nilai tersebut. Itu didapat melalui royalti dan pajak saja.
Menurutnya, kontrak karya ini memang perlu ditinjau ulang. Meski peluangnya sangat kecil sekali bisa terjadi. Apalagi keberanian pemerintah untuk meninjau ulang kontrak tersebut juga diragukan. ''Saya lebih setuju menantang pemerintah untuk nasionalisasikan saja proyek itu. Biarkan semua pemerintah yang mengambil alih,'' tegasnya.
Tentunya, dia menerangkan nasionalisasi tidaklah mudah. Pemerintah harus berhadapan dengan berbagai tekanan politik Amerika dan sebagainya. Belum lagi terpaan protes dari banyak negara lain terhadap kebijakan tersebut.
Namun, menurut alumnus Perminyakan ITB ini, langkah tersebut lebih rasional dan efektif. Dengan alasan evaluasi kontrak karya tidak mungkin disetujui pengelola, sehingga pemerintah harus mengamibil paksa kegiatan tersebut. ''Begini saja. Kan itu proyek ada di negara kita, aturan kita, kalau tidak nurut, paksa saja,'' terangnya.
Direktur Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi ini pun memastikan tekanan politik Amerika tidak bakal meluas. Sebab, secara umum memiliki ketergantungan terhadap proyek di Freeport tersebut. Artinya, kata dia, ada peluang pemerintah Amerika pun mengendur dengan tekanan dari pemerintah Indonesia. ''Sekarang mau tidak pemerintah begitu. Jangan hanya gertakan,'' ketusnya.
Dia mengakui UU Pertambangan yang ada saat ini sudah cukup baik. Regulasi itu baru diberlaukan pada 2014. Sedangkan saat ini tentu belum bisa dilaksanakan. Regulasi tersebut, terang dia, telah menempatkan pemerintah sebagai penguasa penuh pertambangan di negerinya. Selanjutnya menunggu monitoring dalam pelaksanaan regulasi tersebut. Jangan sampai hanya jadi macan di atas kertas,'' ucap alumnus Colorado School of Mines, Amerika, ini. (kin/rko)
 

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar