Selasa, 11 Oktober 2011

[kmnu2000] Pemkot Surabaya beli mobil 28 unit Panther untuk dipakai Polrestabes dari dana APBD

 

Pinjam Pakai Mobil, Pemkot Surabaya Tabrak Aturan Berlapis
Rabu, 21 September 2011

Surabaya,
(BM) – Berdalih membantu kepolisian untuk  operasinal pengamanan kota
sebagai kebuthan yang diprioritaskan, Pemerintah Kota Surabaya rela
melanggar sejumlah aturan, di antaranya Permendagri 17 tahun 2007 dan PP
68 Tahun 2008. Namun Pemkot kekeuh bahwa kebijakan pinjam pakai 28 unit
mobil Station Wagon Isuzu Panther dari kepada Kepolisian Resor Kota
Besar (Polrestabes) dan Polres Tanjung Surabaya tak melanggar hukum.

Satu
regulasi –di antara beberapa aturan lain- yang nampak terang telah
dilanggar pihak pemkot dalam kerjasama ini adalah Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah. Regulasi ini
merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Pemkot telah mengabaikan
regulasi yang tertuang dalam Pasal 35 butir 3 (Bagian Empat)
Permendagri. Pasal tersebut berbunyi, pinjam pakai boleh dilakukan
selama tidak mengganggu kelancaran tugas pokok instansi atau Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir pertama (1) secara tegas
Permendagri malah mensyaratkan bahwa  barang milik daerah yang akan
dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes)  tersebut sementara
waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

Namun transaksi kerjasama
Pemkot yang meminjam pakaikan 28 mobil panther itu kepada polrestabes
dan polres KP3 telah mengesampingkan kebutuhan operasional kinerja
instansinya sendiri. Sebab, sebelum kerjasama itu dilakukan, salah satu
instansi di jajaran pemkot, Dinas PU Bina Marga dan Pematusan kekurangan
mobil dinas untuk operasional kerja kepala bidang dan seksi.
Bahkan, dinas yang dipimpin Erna Purnawati itu harus rela menyewa mobil
rental dengan harga Rp 4,5 juta untuk satu unitnya.  

"Kami terpaksa rental. Bagaimana mereka bisa bekerja dengan baik kalau tidak ada mobil operasional," ujar Erna, Selasa (12/07).

Ironisnya
lagi, saat itu Erna menyatakan jajarannya tidak mendapat jatah mobdin
kala Bagian Perlengakapn Pemkot mengadakan lelang mobil pada 25 Januari
2010 lalu. Begitu pula keinginan untuk membeli sendiri juga tidak bisa
dilakukan karena Erna mengakui tidak ada anggaran untuk itu. "Kalau
tidak ada anggarannya, bagaimana kita bisa memberikan mobil dinas,"
sambungnya.

Tak hanya dua regulasi itu, pakar hukum tata negara
Universitas Surabaya (Ubaya) Eko Sugitariu menambah lagi singgungan
kasus kerjasama ilegal ini dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Kendati secara rinci, Guru Besar Hukum Ubaya itu
tidak menjelaskan pasal mana yang diduga telah dilanggar
pemkot. "Yang jelas ada disinggung di situ tentang anggaran dan aset
Negara atau daerah. Kasus ini berpotensi melanggar salah satu pasal di
dalamnya," terang Eko yakin.

Pendapat lebih tegas dilontarkan
pakar hukum pidana Universitas Airlangga I Wayan Titip. Dia yakin jika
pinjam pakai mobil Pemkot kepada dua institusi kepolisian itu sudah
tergoong tindak gratifikasi. Menurut Wayan, pasal gratifikasi ini bisa
dikenakan kepada pemkot jika tidak membatalkan perjanjian pinjam pakai
itu.

 "Perjanjian ini harus dibatalkan. Karena awalnya melanggar
Permendagri. Namun jika sudah masuk proses hukum, sangkaan gratifikasi
bisa juga dikenakan dalam kasus ini," tukas Wayan.

Secara rinci,
Wayan menyebut sangkaan gratifikasi itu bisa mengacu pada UU Tipikor No
20 Tahun 2001, pasal 5,6,12 huruf b dengan ancaman minimal 4 tahun
maksimal 20 tahun.

Apalagi, kata Wayan, proses kerjasama ini diduga kuat tanpa sepengetahuan DPRD
Surabaya. Padahal apapun kebijakan kerjasama menyangkut aset Negara/daerah harus ata spersetujuan dewan.

Benar
saja, Komisi A DPRD Surabaya yang membidangi maslaah hukum serentak
mengaku tak tahu ketika dikonfirmasi terkait hal ini. Ketua Komisi A
Armudji malah melemparkan pertanyaan ini ke anggotanya (komisi A). "Saya
gak tahu masalah itu mas, coba tanya saja pada pak Hafid (Hafid
Su'aidi) dan bu lut, (Luthfiyah)," kilah Armudji menghindari pertanyaan
wartawan Koran ini.

Karena bertumpuknya dugaan aturan yang
dilanggar, kasus ini langsung mendapat perhatian khusus dari Kejaksaan
Tinggi Jati. Seorang petinggi Kejati yang menolak disebut namanya itu
menyatakan potensi pelanggaran dalam kerjasama ini sangat terbuka.
Sebab, menurtnya,  perjanjian itu cenderung dipaksakan hanya dengan
dalih yang lazim, yakni menunjang keamanan kota.

Padahal
bagaimanapun, keamanan suatu daerah sudah menjadi  tanggung jawab aparat
kepolisian setempat, tak terkecuali di Surabaya. Tanpa bantuan pinjam
pakai mobil  dari pemkot yang mengabaikan kebutuhan internal instansi
sendiri, lanjut sumber ini,  kepolisian tetap bertanggung jawab penuh
atas keamanan kota.

Karena itu, salah seorang petinggi Kejati ini
masih menyelidiki lebih jauh potensi pelanggaran yang dilakukan kedua
pihak dalam kerjasama ini. "Indikasi pelanggaran-pelanggaran yang sudah
ada akan kami selidiki lebih dalam lagi," ungkapnya.

Di bagian
lain, Kabag Humas Nanis Chairani sendiri tak berani menjelaskan panjang
lebar. Terkait dugaan melanggar aturan tersebut, mantan Camat Krembangan
itu  menyatakan bahwa kebijakan tersebut sudah dipertimbangkan matang,
termasuk soal dasar hukumnya.

Lebih jelasnya, lagi-lagi Nanis tak
berani menjawab. "Lebih jelas soal hukum, langsung tanyakan ke Bu
Walikota (Tri Rismaharini) dan bagian perlengkapan yang lebih memahami
prosesnya,"
ungkapnya.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Walikota Tri
Rismaharini maupun Kabag Perlengkapan Noer Oemarajati belum bisa
memberikan penjelasan terkait persoalan ini.

Meski sebelumnya,
Oemarajati pernah mengatakan, penyerahan 28 Unit Kendaraan operasional
Pemkot kepada Polrestabes Surabaya dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak
dalam rangka pinjam pakai selama dua tahun. Saat itu, pihaknya juga
mengakui bahwa peminjaman kendaraan itu masih bisa diperpanjang. Menurut
Oemarajati, pinjam pakai tersebut adalah bagian dari upaya pemkot
meningkatkan pengamanan kota.  (bmb/aji/arw/hab)

http://kabarmetro.com/read/100/21/09/2011/pemkot-tabrak-aturan-berlapis.html

Batalkan Perjanjian Pinjam Pakai!
Rabu, 21 September 2011

Menurut
Prof. Dr. Eko Sagitario SH CN MHum kasus pinjam-pakai 28 mobil Isuzu
Panther yang merupakan aset Pemkot bisa saja dilakukan.
Tapi, menurutnya, mobil yang dipinjamkan tersebut seharusnya tidak
mengalami perubahan apapun. Padahal, realitanya mobil milik pemkot yang
dipinjam-pakaikan kepada Polrestabes Surabaya sudah mengalami pergantian
plat nomor.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Surabaya
ini menilai jika mobil tersebut merupakan aset pemkot, maka tidak boleh
ada pergantian plat nomor. Sebab, pergantian plat nomor juga berkaitan
dengan pergantian pemilik. "Ini jelas menyalahi aturan yang ada kalau
mobil yang dipinjamkan oleh pemkot kemudian diganti plat nomornya oleh
pihak kepolisian."

Di sisi lain, Eko juga menyoroti bahwa
'pemberian' mobil-mobil tersebut seyogyanya diketahui oleh lembaga
legislatif, dalam hal ini adalah DPRD Surabaya. Sebab, menurutnya,
pengadaan mobil-mobil itu tentu berkaitan dengan APBD yang notabene
merupakan uang negara. "Kasus ini sudah bertentangan dengan UU No. 1
Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara," tukas
Eko.(aji)

Selain Eko, dosen Hukum Pidana Univesitas Airlangga, I
Wayan Titib Sulaksana menilai, kesepakatan pinjam-pakai 28 Isuzu
Panther antara pemkot dan polrestabes ini sangat sarat dengan aroma
gratifikasi.

"Kalau sampai dua tahun, itu bukan pinjam namanya,
dan patut diduga ada gratifikasi, apalagi jumlahnya mencapai 28 unit dan
Polda harus ditanya kenapa hal itu sampai terjadi" ujar wayan ketika
dihubungi Berita Metro melalui telepon selular, Rabu (21/9).

Menurut
Wayan, jika benar benar terbukti ada gratifikasi dalam perjanjian itu,
maka pihak yang terlibat harus diproses dan diusut secara tuntas. karena
sudah masuk ke tindak pidana korupsi, dan bisa dikenakan UU Tipikor No
20 tahun 2001 pasal 5, 6 dan 12 huruf B dengan ancaman minimal 4 tahun
dan maksimal 20 tahun penjara.

Ketika disinggung mengenai
pergantian plat nomor mobil yang dilakukan Polrestabes, Wayan mengaku
kaget dengan kabar tersebut. Namun menurutnya,
selama mobil tersebut masih menjadi milik Pemkot Surabaya, maka
pergantian plat nomor mobil sangat tidak dibenarkan.

"Tidak ada
aturan yang membolehkan ganti plat terhadap aset pemkot yang
dipinjamkan, sebab yang menaggung biaya pemeliharaan masih menjadi
tanggung jawab pemkot, ini aset rakyat jadi harus dikembalikan," tutup
Wayan. (bmb/aji)

http://kabarmetro.com/read/102/21/09/2011/batalkan-perjanjian-pinjam-pakai!.html

Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) dan Polres Tanjung Perak (KP3) Langkahi Kapolri

Surabaya,
(BM) – Transaksi pinjam pakai 28 unit mobil dinas Pemerintah Kota
(Pemkot) Surabaya kepada Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) dan
Polres Tanjung Perak (KP3) terus memunculkan banyak indikasi ilegal.
Banyak aturan diduga dilanggar tidak hanya oleh Pemkot, namun juga
Polrestabes sebagai pihak peminjam. Hanya demi mendapat tambahan 28
mobil
–dalih untuk menunjang operasional personel kepolisian mengamankan
kota-, Kapolrestabes Surabaya Komisaris Besar Polisi Coki Manurung
dinilai telah berani melangkahi wewenang Kapolri Jenderal Timur Pradopo.

Tindakan
Coki melampaui wewenang atasannya itu bisa ditengarai dari sejumlah
aturan yang dilanggar oleh mantan Dir Narkoba Polda Jatim ini dalam
melaksanakan kesepakatan pinjam pakai 28 mobil Station Wagon Isuzu
Panther. Di antaranya  menabrak aturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hubungan dan Kerja
Sama Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam pasal 19 UU
Kepolisian menyebutkan bahwa Kapolri menetapkan, menyelenggarakan, dan
mengendalikan kebijakan teknis kepolisian  dan  Kapolri memimpin
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawab. Sementara Pasal 7 PP No.
68/2008 menyebutkan, Pelaksanaan kerja sama dibuat dalam bentuk
tertulis yang menimbulkan hak dan kewajiban dan dapat dituangkan dalam
kerja sama induk dan/atau kerja sama teknis. Adapun Kerja sama induk
adalah kerja sama para pihak yang akan dijadikan sebagai landasan bagi
kerja sama yang bersifat lebih teknis. Kerja sama teknis adalah jabaran
dari kerjasama induk yang bersifat lebih teknis.

Dari penjelasan
dua pasal yang tertuang dalam dua regulasi berbeda saja, bisa dilihat
bahwa Kapolrestabes telah melangkahi wewenang Kapolri dalam transaksi
pinjam pakai ini. Sebab dalam kesepakatan tersebut, pengesahan
memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman hanya
ditandatangani oleh Kombes Pol Coki Manurung. Tidak didahului dengan
perjanjian induk yang ditandatangani oleh Kapolri.

Kepala Bagian
Humas Pemkot Nanis Chairani membenarkan hal ini. Dia menyatakan,
perjanjian pinjam pakai itu memang langsung disahkan oleh Walikota Tri
Rismaharini dan Kapolrestabes Surabaya Coki Manurung. Nanis juga
mengakui jika tidka pernah ada perjanjian induk antara Pemkot dengan
Kapolri. "Tidak pernah (perjanjian induk, red) dengan Kapolri. Masa
harus begitu? Ya kelamaan kan kalau harus perjanjian dulu dengan
Kapolri. Sementara keamanan Surabaya tidak bisa menunggu," papar Nanis.

Pernyataan
Kabag Humas ini mempertegas adanya aturan hukum yang ditabrak baik oleh
polrestabes maupun pemkot. Sekadar diketahui, kesepakatan pinjam pakai
mobil yang ditandatangani  dua kepala instansi tersebut lebih bersifat
teknis. Berdasar Pasal 7 PP No 68/2008, perjanjian yang bersifat teknis
ini seharusnya dilandasi dengan perjanjian induk yang ditandatangani
Kapolri sendiri.

Tindakan Kapolrestabes yang dinilai melangkahi
wewenang Kapolri ini ditegaskan lagi oleh pakar hukum Universitas
Airlangga I Wayan Titip. Dia menilai, Coki telah melanggar tertib
administrasi sebagaimana diatur dalam UU
Polri maupun PP 68 tahun 2008. "Kalau itu tanpa sepengatahuan Kapolri,
jelas salah. Lain lagi kalau sudah ada pendelegasian dari Kapolri,"
tegas Wayan.

Sebelumnya, Kordinator Masyarakat Pemantau
Pelaksanaan Program dan Kebijaksanaan Pemprov Jatim Purwadi juga
memperjelas pelanggaran ini. Kerjasama/perjanjian Pinjam Pakai tersebut,
kata Purwadi,  tidak sah karena yang menandatangani perjanjian
kerjasama pinjam pakai kendaraan dinas pemkot tersebut adalah
Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak. "UU Polri
dan PP 68/2008 itu sudah tegas mengatur perjanjian induk dan teknis.
Nah, apa yang dilakukan kedua pihak itu (Pemkot dan Polrestabes, red)
adalah perjanjian teknis. (perjanjian, red) induknya tidak pernah
dibuat," beber Purwadi.

Purwadi menambahkan, kerjasama itu juga
diatur langsung dalam UU Polri –berada di bawah tanggungjawab Kapolri-
karena telah menimbulkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Untuk
itu, Kapolri sebagai pucuk pimpinan tertinggi Korps Bhayangkara wajib
mengetahui perjanjian itu. "Untuk itulah aturan perjanjian induk
diberlakukan untuk melandasi perjanjian teknis yang menjadi turunannya
atau mengikutinya," tandasnya.

Pelanggaran bertumpuk yang
dilakukan kedua pihak terkait kerjasama ini juga menuai sorotan tajam
dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Seorang sumber petinggi di Kejati
berani menyebut jika kerjasama itu telah menabrak banyak aturan.

Dia
mengungkapkan, perjanjian itu cenderung dipaksakan hanya dengan dalih
yang lazim, yakni menunjang keamanan kota. Padahal bagaimanapun,
keamanan suatu daerah sudah menjadi  tanggung jawab aparat kepolisian
setempat, tak terkecuali di Surabaya. Tanpa bantuan pinjam pakai mobil 
dari pemkot yang mengabaikan kebutuhan internal instansi sendiri, lanjut
sumber ini,  kepolisian tetap bertanggung jawab penuh atas keamanan
kota.

Karena itu, salah seorang
petinggi Kejati ini masih menyelidiki lebih jauh potensi pelanggaran
yang dilakukan kedua pihak dalam kerjasama ini. Tak hanya itu, dia juga
mencium adanya praktik bisnis security (keamanan) yang dilakukan pihak
kepolisian. Karena sumber tersebut menyatakan praktik ilegal ini sudah
banyak terjadi di berbagai daerah.

Bisnis security yang dimaksud
sumber ini yakni pihak kepolisian diduga memainkan pihak-pihak
berkepentingan  di daerah tersebut. Dengan cara, pihak berkepentingan
itu harus member konstribusi lebih kepada kepolisian jika ingin
daerahnya benar-benar aman. "Ini yang bakal kami usut lebih dalam.
Selain pelanggaran-pelanggaran yang sudah ada," ungkapnya.

 Pihak
Polrestabes sendiri juga pernah menyatakan keraguannya atas keabsahan
perjanjian kerjasama itu. Meski lebih jauh mereka tidak berani
memastikan dengan dalih pihaknya hanya sebagai peminjam atau penerima
pinjaman dari Pemkot.

"Yang berhak menjawab kan
pihak Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini ya salah alamat," tutur
Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti beberapa waktu lalu.

Ubah Plat Nomor, Polrestabes Tumpuk Pelanggaran

Belum
tuntas polemik terkait dugaan pelanggaran hukum dalam kerjasama pinjam
pakai 28 mobil, Polrestabes kembali menunjukkan arogansinya. Korps
kepolisian di bawah kendali Kombes Pol Coki Manurung ini berani mengubah
plat nomor ke-28 mobil aset pemkot itu menjadi plat nomor polisi.
Seolah, mobil tersebut menjadi hak milik Polrestabes dan Polres Tanjung
Perak Surabaya.

Padahal transaksi mobil tersebut sudah jelas
dikatakan hanya pinjam pakai, bukan hibah. Apakah ada tendensi hibah?
Kepala Humas Pemkot Surabaya Nanis Chairani menegaskan jika mobil
tersebut jelas bukan hibah. Secara jelas, Nanis menyatakan bahwa
perjanjiannya adalah pinjam pakai dengan jangka waktu dua tahun dan
kemungkinan bisa diperpanjang.
"Itu bukan hibah, tapi pinjam pakai. Sudah jelas," katanya.

Menariknya,
Pemkot justru tidak tahu dengan tindakan polrestabes mengganti plat
nomor mobil yang dipinjampakaikan tersebut.  Sebaliknya, instansi yang
dipimpin Tri Rismaharini ini mempertanyakan motivasi polrestabes
mengubah plat nomor mobil yang bukan hak milik polisi tersebut menjadi
plat nomor milik kepolisian. Sebab, saat serah terima mobil aset pemkot
tersebut masih berplat merah.

"Lho, masa plat nomor diganti? Kami
tidak tahu kalau diganti.Yang pasti, saat penyerahan masih plat merah.
Itu bukan hak milik (hibah, red), tapi pinjam pakai," tandas Kepala
Bagian Humas Pemkot Surabaya Nanis Chairani.

Tindakan polrestabes
mengganti plat nomor mobil pinjam pakai itu dinilai melanggar aturan UU
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Peraturan Kapolri, plat
nomor harus sesuai dengan kepemilikan surat tanda kendaraan bermotor.
Sementara pihak pemkot tidak
pernah menghibahkan 28 mobil itu kepada polrestabes. "Ya itu (28 mobil
Isuzu Panther, red) statusnya pinjam pakai. Tapi kalau soal aturannya
saya kurang tahu," tegas Nanis.

Pernyataan Guru Besar Hukum Ubaya
Eko Sagitariu makin mempertegas pelanggaran dalam penggantian plat
nomor ini. Menurut dia, diatur bagaimanapun, tidak ada celah bagi pihak
lain termasuk kepolisian untuk mengklaim barang yang bukan hak miliknya.
"Itu (penggantian plat nomor, red) kan sama saja dengan mengklaim
kepemilikan aset pemkot. Bagaimanapun itu tidak boleh," ujarnya.

Anehnya,
Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti yang membenarkan
penggantian plat nomor merah itu menjadi plat nomor kepolisian seperti
seniornya AKBP Ase, dia melimpahkan persoalan ini ke pihak pemkot.
"Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak mempunyai
kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak Pemkot
sendiri. Kalau Tanya ke sini ya salah
alamat," tutur Suparti saat ditemui di kantornya.

Di bagian
lain, Kasat Lantas Polrestabes Surabaya AKBP Asep Akbar Hikmana sendiri
secara tersirat mensinyalir adanya pelanggaran dalam pinjam pakai maupun
penggantian plat nomor itu. Namun dia tak berani memastikan pelanggaran
itu. Asep berdalih, penggantian plat nomor polisi 28 mobil itu karena
sudah didaftarkan ke bagian logistik polrestabes. Kendati penggantian
tersebut tidak diperbolehkan karena bukan barang hak milik kepolisian.

Asep
juga mengakui kalau memang pergantian kepemilikan plat nomor polisi
pada 28 unit mobil Isuzu Panther jenis Station Wagon tersebut memang
melanggar aturan. Namun dia mengaku belum memahami secara detai klausul
aturan tersebut.

"Kalau memang ada aturan yang mengatur masalah
itu (ganti plat nomor polisi) ya memang saya akui melanggar. Untuk bisa
tahu lebih jelas, bisa ditanyakan langsung ke pihak Pemkot Surabaya
karena klausul MoU dibawa pemkot,"
ujar Asep beberapa waktu lalu.

Argumen Asep ini mengacu pada
aturan khusus yang memang membolehkan merubah plat merah menjadi plat
hitam, dengan satu catatan menggunakan "label" bantuan swadaya (BS).
"Untuk bisa tahu lebih jelas, bisa ditanyakan langsung ke pihak Pemkot
Surabaya," kata Asep.

Alibinya, pergantian plat nomor (merah
menjadi plat hitam) juga sering dilakukan terhadap mobil dinas pejabat
maupun DPRD. Dia mencontohkan, di Gedung DPRD Jatim misalnya, beberapa
mobil dinas juga memiliki dua surat tanda nomor kendaraan (STNK). Pada
mobdin tersebut, tertempel dua plat nomor, yang di balik plat warna
hitam, masih menempel plat merah.

"Memang ada aturan yang
memperbolehkan kita mengganti plat nomor tersebut. Cuma pada plat nomor
tersebut masih melekat istilahnya bantuan swadaya. Jadi ketika mobil
tersebut ditarik kembali, plat aslinya masih ada," ujar seorang sumber
di lingkungan Dewan Jatim yang tak mau menyebut
namanya.

Sayangnya, argumen AKBP Asep maupun sumber tersebut lemah lantaran tidak bisa menunjukkan aturan khusus yang dimaksud.

Sementara
Kabag Humas Pemkot Nanis Chairani sendiri tidak berani menerangkan
secara rinci terkait klausul MoU perjanjian pinjam pakai antara Pemkot
dengan Polrestabes dan Polres Tanjung Perak itu karena dirinya mengaku
tidak banyak tahu soal aturan hukum yang berlaku. "Langsung ditanyakan
kepada Bu Walikota saja atau bagian perlengkapan," katanya.

Seperti
diketahui sebelumnya, aktivitas pinjam pakai 28 mobdin yang dilakukan
Pemkot Surabaya kepada Polrestabes Surabaya dan Polres KP3 itu dilakukan
dalam rangka pengamanan Kota Surabaya jelang Lebaran Hari Raya Idul
Fitri 2011.

Namun, belakangan diketahui kalau 28 mobil jenis
Stasiun Wagon --26 unit untuk Polrestabes Surabaya dan dua unit untuk
Polres KP3—itu sudah berganti plat nomor, dari palat merah menjadi plat
polisi.
(aji/ars/arw/hab)

http://kabarmetro.com/read/99/21/09/2011/coki-langkahi-timur-pradopo.html

Di Balik Pinjam Pakai 28 Mobil ke Polrestabes, Kejati Jatim Cium Aroma Bisnis Security
Rabu, 28 September 2011

Surabaya,
(BM) – Skandal pinjam pakai 28 unit mobil dinas milik Pemkot Surabaya
kepada Polrestabes dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak (KP3) masih
menjadi sorotan serius Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur.  Secara
khusus, Kejati menelusuri dugaan pelanggaran hukum dari transaksi kedua
institusi tersebut. Yang jelas, korps Adhyaksa sudah mencium aroma
praktik bisnis security yang dijalankan korps Bhayangkara di Surabaya.

Aroma
bisnis ilegal ini sejatinya sudah diendus Kejati sejak kesepakatan
hingga serah terima pinjam pakai mobil itu dilakukan kedua belah pihak.
Sumber yang juga seorang petinggi di Kejati menyebut, pinjam pakai aset
pemkot kepada
polrestabes itu menimbulkan kecemburuan terhadap institusi Negara 
lainnya.

Menurut petinggi korps kejaksaan Jatim itu, praktik
ilegal ini sudah banyak terjadi di berbagai daerah. Makanya tak heran,
jika pihaknya langsung bereaksi terhadap transaksi pinjam pakai itu.
"Ini yang bakal kami usut lebih dalam. Selain pelanggaran-pelanggaran
yang sudah ada," ungkapnya.

Bisnis security yang dimaksud sumber
ini yakni pihak kepolisian diduga memainkan pihak-pihak berkepentingan 
di daerah tersebut. Dengan cara, pihak berkepentingan itu harus member
konstribusi lebih kepada kepolisian jika ingin daerahnya benar-benar
aman.

Untuk itu, pihaknya meminta kepada masyarakat maupun pers
(Berita Metro) agar membantu kejaksaan untuk memberikan data lebih
banyak guna mendalami skandal ini. "Saya berharap dan minta agar
masyarakat atau melalui Berita Metro ini agar membantu menyuplai data
kepada kami," ujar sumber tersebut di sela
aktivitasnya membaca serius Koran Berita Metro.

Sebab, tak hanya
dugaan praktik bisnis security yang tengah didalami. Petinggi Kejati
itu mengungkapkan pihaknya juga berniat mendalami aturan-aturan yang
ditabrak kedua pihak, baik Pemkot maupun Polrestabes Surabaya. Karena
menurutnya, tidak sedikit pasal yang diduga telah mereka tabrak.

Setidaknya
ada beberapa pasal hukum telah dilanggar kedua belah pihak yang
bekerjasama sebagaimana sudah dikantongi Kejati. Pertama, Pemkot dinilai
telah jelas melanggar Permendagri 17/2007. Menurut, pemberian pinjam
pakai mobil itu sama sekali tidak diperbolehkan karena Pemkot diketahui
kekurangan kendaraan dinas untuk melancarkan operasional kinerja
pejabat. Pelanggaran ini merupakan awal dari semua aturan yang ditabrak
kemudian. Kedua, aturan yang ditabrak adalah Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Regulasi ini
merupakan pokok dari dari Permendagri 17/2007 yang
menjadi aturan turunannya.

Regulasi berikutnya yang disinyalir
telah ditabrak Pemkot adalah UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara. "Dari sini saja, sinyalnya sudah jelas. Aturan
yang ditabrak sudah berlapis," papar sumber Kejati.

Tak kalah
dengan Pemkot, pihak kepolisian juga menabrak banyak aturan. 
Sedikitnya, Kejati mencatat ada dua regulasi yang dilanggar. Yakni UU
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hubungan dan Kerja Sama Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

Terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan
Kapolrestabes Kombes Pol Coki Manurung, sebelumnya pakar hukum Unair I
Wayan Titib Sulaksana kepada Berita Metro menyatakan tindakan perwira
menengah polisi itu berpotensi besar melangkahi Kapolri Jenderal Timur
Pradopo. Sebab, perjanjian kesepakatan teknis pinjam pakai itu disahkan
sendiri oleh
Coki dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini diduga tanpa didahului
perjanjian induk yang disetujui Kapolri.

Secara spesifik, Wayan
Titib menyebut Coki telah melanggar tertib administrasi sebagaimana
diatur dalam UU Polri maupun PP 68 tahun 2008. "Kalau itu tanpa
sepengatahuan Kapolri, jelas salah. Lain lagi kalau sudah ada
pendelegasian dari Kapolri," tegas Wayan.

Pihak Polrestabes
sendiri sebelumnya tidak menyangkal ataupun membenarkan dugaan melanggar
aturan itu. Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Coki Manurung justru
mengaku gembira ketika dalam pelaksanaan pengamanan Kota Suarabaya di
saat lebaran, mendapat atensi dari Pemkot dengan bantuan pinjam pakai 28
unit Panther.

"Kendaraan tersebut untuk mendukung kekuatan unit
Lantas di Polsek-Polsek. Ini seiring dengan perubahan struktur di tubuh
Polri, setiap Polsek, saat ini sudah memiliki unit Lantas," ujar Coki
Manurung.

Sementara Kasubbag Humas Polrestabes
Surabaya, Kompol Suparti malah melempar persoalan itu kembali ke
Pemkot. "Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak
mempunyai kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak
Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini ya salah alamat," tutur Suparti saat
ditemui Berita Metro di kantornya.  (arw/aji)

http://kabarmetro.com/read/106/28/09/2011/kejati-cium-aroma-bisnis-security.html

Penakut, Dewan Serentak Bungkam

SURABAYA,
(BM) - Satu persatu indikasi kebijakan ilegal dalam Kesepakatan pinjam
pakai 28 unit mobil Isuzu Panther, Station Wagon antara Pemerintah Kota
Surabaya dengan Polrestabes makin menguat. Indikasi, para anggota DPRD
Komisi A yang membidangi hukum serentak bungkam ketika dimintai pendapat
terkait persoalan ini. Padahal, sebagai anggota legislatif seharusnya
melakukan fungsinya mengawasi dan memantau kebijakan yang diambil pemkot
(eksekutif).

Ditengarai jika informasi terkait
kesepakatan tersebut sengaja ditutupi pihak-pihak terkait –termasuk
dewan- agar masyarakat tidak tahu akan skandal bernilai miliaran itu.
Sikap bungkam diawali dari Ketua Komisi A Armudji. Legislator PDI P itu
enggan menanggapi kebijakan pinjam pakai mobil ini. Aksi bungkam juga
dia tunjukkan ketika ditanya apakah masalah tersebut pernah dibahas di
komisi A.

Ketika didesak, Armudji berdalih tidak tahu akan 
masalah pinjam pakai 28 unit mobil milik pemkot ini. Dia memilih
melemparkan pertanyaan tersebut kepada anggota dewan yang lainnya.

"Saya
gak tahu masalah itu mas, coba tanya saja pada pak Hafid (Hafid
Su'aidi) dan bu lut, (Luthfiyah)," ujar Armudji menghindari pertanyaan
wartawan Koran ini.

Ketika dikonfirmasi kepada Luthfiyah, anggota
Komisi A itu pun mennjukkan sikap serupa dengan pimpinan komisinya.
Anehnya lagi, ketika didesak lebih jauh, Luthfiyah malah bergegas pergi
meninggalkan wartawan Berita Metro. 
"Saya gak ngerti masalah itu mas, jangan Tanya pada saya," ujar
politisi Partai Gerindra ini sambil berlalu pergi.

Kejanggalan
kian menguat saat anggota Komisi A lain, Hafid Su'aidi, kompak
menyatakan hal sama. Tatkala didesak lebih jauh, politisi Partai Amanat
Nasional (PAN) ini juga mengelak menjawabnya. Seperti koleganya, Hafid
lalu menghindar pergi dari kejaran wartawan.

"Jangan tanya saya, saya gak tahu apa apa, tanya aja ke yang lain," ujar Hafid

Pinjam
pakai yang dilakukan Mapolresta Surabaya terhadap beberapa unit mobil
milik Dinas Perlengkapan Pemkot, diduga kuat menabrak aturan. Dalam
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 Butir tiga (3) secara tegas 
mensyaratkan, pinjam pakai boleh dilakukan selama tidak mengganggu
kelancaran tugas pokok instansi atau Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD).

Padahal di saat bersamaan, terdapat dua instansi di
Pemkot Surabaya yang kekurangan mobil dinas. Yaitu Dinas PU Bina
Marga dan Pematusan Kota Surabaya. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan itu,
salah satu SKPD di bawah naungan Walikota Tri Risnmaharini itu terpaksa
harus rental 14 unit mobil untuk memenuhi kebutuhan dinas dengan
anggaran Rp 308 Juta per-enam bulan sekali.

Aksi bungkam lembaga
legislatif ini memperkuat kecurigaan penilaian bahwa kebijakan pinjam
pakai tersebut illegal. Tak hanya itu, aroma main mata di antara tiga
lembaga Negara sekaligus juga ikut terangkum dalam sikap bungkam dewan
ini.

http://kabarmetro.com/read/101/21/09/2011/penakut,-dewan-serentak-bungkam.html

Masalah Pinjam Pakai Mobil, Walikota Surabaya minta Perlidungan Mendagri

SURABAYA
(BM) - Idealisme Walikota Surabaya Tri Rismaharini mulai diragukan.
Diam-diam, ternyata walikota perempuan pertama di Surabaya itu
dikabarkan melobi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meredam
gejolak pinjam pakai 28 unit panther ke Polrestabes Surabaya.

Ini
terbongkar menyusul temuan wartawan Berita Metro dari beberapa pejabat
penting di institusi pimpinan Gamawan Fauzi tersebut. Kepada wartawan
koran ini, beberapa pejabat yang juga sumber Berita Metro tersebut
membocorkan bahwa Risma –sapaan akrab Tri Rismahrini- telah berupaya
meminta 'perlindungan' kepada Kemendgrai untuk membackup kebijakannya
yang oleh para aktifis Surabaya dinilai sangat kontroversial itu.

"Ya

memang ada itu (lobi). Tapi apakah Bu Risma yang datang langsung atau
hanya sekedar lewat telepon kita nggak tahu. Yang jelas kita dengar
itu," kata pejabat ini. Sumber ini mengaku tahu dari pejabat lain di
Kemendgari yang menceritakan hasil pembicaraan dengan Risma tersebut.
Saat ditanya kapan upaya lobi tersebut dilakukan, sumber ini mengaku
tidak tahu pasti.

Mendapat bocoran informasi ini, Berita Metro
coba melakukan konfirmasi dengan Mendagri Gamawan Fauzi. Tapi upaya
tersebut gagal. Meski demikian, wartawan koran ini masih berhsail
menemui Kepala Pusat Penerangan Kemendgari Roydonni Moelek.

Ditemui
di ruang kerjanya, Roydonni Moelek membenarkan bahwa dirinya telah
diajak bicara oleh Risma terkait kemelut pinjam pakai 28 unit Panther
tersebut. "Bu Risma sudah bicarakan persoalan itu (pinjam pakai) ke
kita," kata Moelek kepada wartawan koran ini.

Hanya pihaknya
tidak menjelaskan apakah pembicaraan terkait pinjam pakai mobil
dinas dengan Risma tersebut dilakukan lewat tatap muka atau hanya
melalui saluran telepon. Meski demikian, pengakuan ini memperkuat adanya
sinyal ketidakberesan pinjam pakai sekaligus memperkuat adanya dugaan
deal dibalik pemberian pinjam pakaipemkot ke Polrestabes.

Bagaimana
usai dilobi Risma? Hasil wawancara dengan Moelek semakin menegaskan
bahwa Kemendagri terkesan membela kebijakan pemkot yang nyata-nyata
banyak menabarak aturan tersebut.

Moelek justru berdalih bahwa
pinjam pakai mobil dinas tersebut syah dilakukan selama policy atau
kebijakan tersebut tidak merugikan anggaran negara (anggaran Pemkot
Surabaya). "Yang penting tidak merugikan Negara," bela pria yang
rambutnya mulai memutih ini.

Tak hanya itu, kebijakan tersebut
lanjut Moelek juga boleh dilakukan dengan alasan bahwa pengelola barang
adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan
dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik
negara/daerah (PP. No. 6 Tahun 2006 Pasal 1 (3)). "Siapa yang
bertanggung jawab dan berwenang di daerah (Surabaya), Bu Walikota kan," 
terang pejabat berkacamata ini.

Kesan membela Risma tersebut
tersebut juga terlihat saat Moelek menyatakan bahwa kebijakan Risma
meminjam-pakaikan 28 unit Panther hanya dinilai sebagai sebuah kebijakan
kebetulan. "Kebetulan kibajkan ini yg dia pilih, kira-kira begitu"
pungkasnya.

Kemendgari boleh saja membela Risma, tapi faktanya kebijakan tersebut telah mencederai perturan dan Undang-Undang di
negeri ini. Peraturan yang dilanggar itu antara lain, Peraturan
Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2006.

Pada BAB I ketentuan Umum pasal 1 (8), dinyatakan bahwa pemanfaatan adalah

pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak
dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa,
pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serahguna/bangun guna
dengan tidak mengubah status kepemilikan.

Jika dicermatai, redaksi dalam pasal tersebut terdapat penggalan tidak
(sedang) dipergunakan dan pada penghujung kalimat terdapat redaksi tidak mengubah status kepemilikan. Faktanya, untuk menutupi kebutuhan dinas
yang dipimpinnya, Risma malah memilih rental 14 mobil ke pihak luar
dengan nilai sewa Rp 4 juta perbulan. Jika ditotal, pemkot harus merogoh kocek Rp 308 juta untuk membayar 14 unit mobil yang dirental tersebut.

"Kalau Risma rental 14 mobil untuk menutupi kebutuhan PU Bina Marga, itu artinya pemkot masih butuh. Padahal, dalam (PP) No 6 Tahun 2006 BAB I ketentuan Umum pasal 1 (8) secara tegas
dinyatakan pinjam pakai tersebut boleh dilakukan asal tidak sedang
dibutuhkan," kata Kordinator Lembaga Pemantau Pelaksanaan Kebijakan Jatim, Purwadi.

Selain itu, pinjam pakai tersebut juga dinilai melanggar Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah. Butir tiga (3) Permendagri mensyarakatkan bahwa
pinjam pakai boleh dilakukan selama tidak mengganggu kelancaran tugas
pokok instansi atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada butir
pertama (1) secara tegas Permendagri malah mensyaratkan bahwa  barang
milik daerah yang akan dipinjam pakaikan ke instansi lain (Polrestabes)  tersebut sementara waktu belum dimanfaatkan oleh SKPD (1).

Masih menurut
Purwadi, pelanggaran lain yang dilakukan pemkot dan Polrestabes adalah
mengganti pelat nomor mobil yang dipinjam-pakaikan tersebut. Pelat nomor yang semula merah itu sekarang berganti pelat polisi. "PP tersebut
melarang peminjam mengganti kepemilikan, faktanya Polrestabes malah
mengubah pelat nomor. Harus dicatat, pelat merah itu artinya barang
tersebut aset pemkot, bukan asetnya Polrestabes. Berani-beraninya
(Polrestabes) mengubah barang yang bukan miliknya. Masak gini dibela
Mendagri," kritiknya.

Karena itu, pihaknya mencurigai jika
Kemendagri malah terkesan membela Risma. Pihaknya mendesak agar DPR RI
memelototi apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk mengawasi, mengapa
setelah dilobi Risma, tiba-tiba Kemendagri mengabaikan peraturannya
sendiri.

Terpisah, kepada Berita Metro, Kasubbag Humas
Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti pernah mengakui adanya pergantian
pelat nomor
mobdin yang dipnjam pakaikan oleh pemkot tersebut. Suparti mengatakan
jika mobil yang semula berplat nomor merah dan sudah diganti dengan
nomor polisi itu digunakan untuk pengamanan kota di bidang lalu lintas.

Pihaknya
tidak ingin mencampuri urusan pemkot  jika kebijakan tersebut
bermasalah. "Kalau memang ternyata ada masalah di Pemkot, kami tidak
mempunyai kapasitas untuk mejawab itu. Yang berhak menjawab kan pihak
Pemkot sendiri. Kalau Tanya ke sini salah alamat," kata Suparti saat
ditemui di kantornya.

Mantan Kapolsek Asemrowo ini menegaskan
bahwa sebagai peminjam, Polrestabes tidak ada kaitannya dengan persoalan
di Pemkot. "Ya kalau untuk apa mobil itu dipinjam atau berapa unit yang
dipinjam sih, kita bisa menjawab. Itu sesuai kapasitas dan kewenangan
kami ," imbuhnya.

Sekedar mengingatkan, pemberian 28 Unit Station
Wagon - Isuzu Panther – oleh Pemkot Surabaya kepada Polrestabes yang
dikemas pinjam pakai menuai
gugatan. Sejumlah aktifis menduga pola pinjam pakai tersebut  diduga
kuat merupakan bagian dari upaya suap yang dilakukan pemkot ke
Polrestabes.

Selain memunculkan aroma gratifikasi, penyerahan
Panther tersebut juga menabrak sejumlah aturan perundang-undangan yang
berlaku. Bahkan, dari 28 unit yang dipinjam-pakaikan, pengadaan untuk 13
unit diantaranya dilakukan tanpa melalui proses lelang alias
penunjukkan langsung. Ironisnya lagi, penyerahan 28 Isuzu Panther
tersebut dilakukan ketika PU Bina Marga dan Pematusan justru kekurangan
mobil dinas. (rbh/hab)

Rep. Ari Widura
Red. Habib
http://kabarmetro.com/read/113/05/10/2011/risma-lobi-mendagri.html

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
______________________________________________________________________
http://www.numesir.org untuk informasi tentang Cabang Istimewa NU Mesir dan KMNU2000, atau info-info seputar Cairo dan Timur Tengah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kami berharap Anda selalu bersama kami, tapi jika karena suatu hal Anda harus meninggalkan forum ini silakan kirim email ke:
kmnu2000-unsubscribe@yahoogroups.com
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar