Minggu, 16 Oktober 2011

[PersIndonesia] Legenda Hoegeng: Menolak Suap Suatu Kehormatan

 

http://www.amboneks pres.com/ index.php? option=read& cat=42&id= 34910

MINGGU, 15 Oktober 2011 | 26 Hits


Legenda Hoegeng: Menolak Suap Suatu Kehormatan


Pertama kali saya berurusan dengan polisi dan "berkenalan" dengan Hoegeng. Saat itu, saya baru berusia 17 tahun, tepatnya pada tahun 1961 di Kota Medan. Sebagai remaja yang sering dijuluki "Preman", malam itu saya terlibat dalam perkelahian antargeng berdarah di sekitar Polonia, hingga merusak tempa


Selesai berkelahi, kami berkumpul di Jalan Jokya, di mana ada tukang rokok berjualan. Selagi asyik bercerita tentang "kejagoan" setelah perkelahian, tiba-tiba ada seorang lelaki naik sepeda membeli rokok. Ia agak lama berdiri di depan kios, sambil menawar rokok yang mau dibeli.

Lima belas menit kemudian setelah lelaki bersepeda itu pergi, tiba-tiba satu regu polisi, pakai topi waja cokelat datang. Ternyata mereka Polisi Perintis Umum (P2U), satuan pemukul yang paling ditakuti preman pada waktu itu selain CPM (Corps Polisi Militer) yang bertopi waja putih.

Kami diangkut ke kantor polisi di jalan Bali dan dihadapkan kepada Kepala Reserse AKBP Hoegeng, lelaki penunggang sepeda yang beli rokok tadi. Itulah perkenalan pertama saya dengan Hoegeng. Ini juga pertamanya saya kali ditangkap polisi. Sekitar sembilan tahun kemudian, sebagai wartawan junior Sinar Harapan, saya kembali berurusan dengan Hoegeng.

Tetapi ia sudah menjadi Kapolri (1968-1971). Rumahnya cukup sederhana di Jalan Madura, Menteng. Sekembali dilantik Presiden sebagai Kapolri, di dekat pintu gerbang rumahnya telah dibuat gardu "monyet" untuk penjaga. Padahal, sebelumnya itu tidak ada. Melihat itu, ia segera memerintahkan untuk membongkar.

Ia tidak suka ada pos jaga di rumahnya, karena itu membuat jarak dengan masyarakat. Begitu memasuki rumahnya, ia diadang sebuah karton besar berukuran satu kali setengah meter bertuliskan Philips . Ternyata isinya, portable musik yang dapat dipakai untuk rekaman, punya sound system, dan bisa berfungsi menyiarkan lagu dan radio.

Hoegeng saat itu adalah pengurus Hawaian Senior, sekaligus penyanyi dan pecinta musik keroncong termasuk musik Hawai. Bingkisan itu dikirim kenalannya yang seorang pengusaha. Akibatnya, batin Hoegeng bergolak. Ia tulis dialog imajiner di atas kertas yang dilapisi karbon.

Kalimat terakhir dialog itu tertulis, "Dengan sangat menyesal saya beritahukan kawan, Hoegeng pribadi kalah. Dan portable Philips ini terpaksa saya kembalikan". Sejurus kemudian, ia memanggil ajudannya dan portable Philips itu dikirim kembali pada pemiliknya.
Gratifikasi

Waktu itu belum ada gratifikasi. Namun, antara hadiah dan suap beda tipis. Surat yang argumentatif itu merupakan cara Hoegeng menolak gratifikasi atau suap. Sebaliknya, ia memberikan pendidikan bahwa memberikan sesuatu kepada pejabat tidak etis dan melanggar hukum. Peristiwa itu menjadi cerita mulut ke mulut dan menjadi legenda Hoegeng.

Cerita lainnya adalah ketika saya bertandang ke Mabak, Markas Besar Angkatan Kepolisian (nama dari Mabes Polri masa itu). Saya berada di ruang tamu karena Hoegeng masih menerima tamu. Tiba-tiba saya dikejutkan suara pintu yang dibanting keras.

Seorang pengusaha berjas berdasi, keluar terbirit-birit dan kelihatan didampingi Deputi Operasi (jabatan setara Bareskrim saat ini) Mayjen Pol Katik Saroso. Katik Saroso menasihati saya untuk tidak mewawancarai Hoegeng dulu karena ia sedang marah besar.

Beberapa lama kemudian Hoegeng bercerita kepada saya, pengusaha itu ingin menyerahkan sejumlah uang untuk kasusnya. "Dia tidak menghormati saya," katanya. Dari kisah ini terungkap bahwa Hoegeng merasa terhina dan membuatnya marah.

Seharusnya Katik Saroso sudah tahu tabiat Hoegeng yang tidak bisa disogok. "Itu yang membuat saya lebih marah lagi, pengusaha seperti itu bisa masuk ke kamar kerja saya", kata Hoegeng. Ia lalu memanggil Katik dan memerintahkan segera mengusut kasus pengusaha itu dan segera melimpahkan ke pengadilan.

Kebiasaan Hoegeng naik sepeda sudah menjadi trademark-nya. Setelah tidak menjabat Kapolri lagi, Hoegeng sering muncul pada acara Hawaian Senior yang secara teratur disiarkan TVRI, satu-satunya televisi pada masa itu.

Saat ibu Fatmawati Soekarno, ibu negara dan ibunda Megawati Soekarnoputri, meninggal dunia 14 Mei 1980, jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jalan Sriwijaya Kebayoran Baru. Posisi rumah itu agak tinggi dari jalan raya dan ada belasan tangga di bibir Jalan Sriwijaya.

Saat itu di bawah tangga saya lagi asyik ngobrol dengan Japto Soerjosoemarno (Ketua Pemuda Pancasila). Tiba-tiba kami dikagetkan karena melihat Hoegeng turun tangga dengan tergesa-gesa. Rupanya dia mengejar Menteri Penerangan Ali Murtopo yang baru keluar dari rumah duka.

"Li, tunggu dulu, jangan terus lari," kata Hoegeng sambil bergegas mendapatkan Ali Murtopo yang sedang menuju mobilnya di parkiran. "Kenapa kau larang TVRI menyiarkan Hawaian Senior, ha?" katanya sambil menunjuk dada Murtopo.

Saya dan Japto yang menyaksikan peristiwa itu segera mendekat. "Sudah Om, sabar Om", kata Japto kepada Hoegeng. Ali saat itu kehilangan wibawa, malah dengan kecut masuk ke mobil dan pergi.

"Hanya itu hobi saya, dibredel kunyuk itu lagi," kata Hoegeng kesal dengan gaya Banyumasannya. Serangkaian peristiwa di atas menunjukkan bagaimana seorang tokoh yang berkarakter digilas oleh zaman, itulah legenda Hoegen


[Non-text portions of this message have been removed]




Satrio Arismunandar
Executive Producer, News Division Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790
Telp: 7917-7000 ext: 3542;   Fax: 021-79184558

HP: 0819 0819 9163
http://satrioarismunandar8.blogspot.com
http://facebook.com/satrio.arismunandar

"Courage is not the absence of fear, but rather the judgment that something else is more important than fear."
(James Hollingsworth)

__._,_.___
Recent Activity:
Indonesia Japan Economic Monthly http://jief.biz/news/
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar