Selasa, 11 Oktober 2011

Re: [buruh-migran] Menteri (Tak) Tahu Diri

 



KAN MEREKA LAKI-LAKI YANG SUDAH HILANG KEMALUANNYA,,,,
 
----- Original Message -----
From: Sunny
Sent: Thursday, October 13, 2011 12:10 AM
Subject: [buruh-migran] Menteri (Tak) Tahu Diri

 

 
Something smells like shit....
source: unknown
 
 
10 Okt 2011 07:24 WIB
 
Oleh : Arfanda Siregar.
 
Seandainya menteri-menteri pada kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahu diri tentu beliau tidak sepusing sekarang. Bagaimana tidak, gara-gara mengangkat menteri yang tak berkualitas, baik dari segi kompetensi, kesehatan, dan moral membuatnya menjadi sasaran kekecewaan publik.
Parahnya, para menteri yang menjadi gunjingan publik akibat tindakan nyeleneh yang mereka lakukan selama menjadi menteri tak merasa dirinya layak lengser dari kursi menteri. Mereka berargumen, "selagi presiden belum memecat, mereka tetap bertahan di kabinet". Menteri-menteri bermasalah itu tak tahu diri, tak tahu malu, dan tetap bertahan ditengah derasnya kecaman publik kepada mereka.

Seharusnya Menteri Tahu Diri

Sikap ewuh pakewuh yang merupakan kultur Jawa memang tak lepas dari komunikasi politik SBY kepada para pembantunya. Sikap menghargai orang lain dantak ingin menjatuhkan apalagi mempermalukan orang terasa kental sebagai ciri khas komunikasi poltiknya. Beliau biasa menggunakan bahasa sindiran, ketimbang blak-blakan ketika tidak menyukai bawahan. Begitulah kebiasaannya, terutama ketika menanggapi beberapa menteri yang terlibat masalah.

Keseganan beliau kepada para menterinya bukan tak beralasan. Kita masih ingat pada masa pengangkatan menteri lalu. Presiden SBY yang secara langsung melalui telepon, atas rekomendasi partai pendukung dan orang kepercayaannya memohon dengan hormat mereka yang dihubungi mejadi pembantunya. Peristiwa itu, persis-persis seperti lakon "Arjuna Mencari Cinta". Tokoh mana yang tak tersanjung dimintai tolong presiden?

Dan layaknya budaya ewuh pakewuh, presiden kita pun tidak berani mengutarakan langsung ketidakcocokannya dengan menteri yang tak layak lagi sebagai pembantunya. Beliau hanya menyindir, baik melalui juru bicara maupun melalui pernyataannya pada sidang kabinet yang mengisyaratkan ketidaknyamanan lagi berpartner dengan beberapa menteri yang menjadi sorotan publik.

Berkali-kali beliau menyinggung menteri yang kecipratan berbagai kasus korupsi agar bersiap-siap hengkang kalau merasa terlibat. Begitu juga dengan para menteri yang terkena 'panah asmara beracun" pun pernah disindir-sindir, meski tidak disuruh mundur. Bahkan, seorang menteri yang berasal dari partai Islam pada sidang kabinet sampai ditunding tidak berkoordinasi atas pernyataannya di media massa yang berbeda dengan kebijakan Istana.

Namun, karena berwujud sindiran, tentu tak berbekas. Para pembantunya tenang-tenang saja, tanpa perlu berkaca diri bahwa presiden sudah gerah dengannya. Bebal, tak tahu malu, dan tak tahu diri menjadi tipikal para pejabat publik kita. Selama presiden belum bertindak kasar dengan mengeluarkan surat pemecatan, meski kesalahan pejabat publik sudah nyata di mata rakyat, namun dirinya masih merasa dibutuhkan sampai presiden mentalak tiga mereka.

Berbeda Dengan Negara Maju

Pejabat di negeri ini berbeda dengan di negara maju. Para pejabat publik di negara maju cepat berkaca diri dan tahu diri untuk segera mundur kalau merasa keberadaannya sudah menjadi "virus" di pemerintahan. Begitu merasa diri gagal dan terendus kejahatannya kehadapan publik, mereka langsung mundur, tak perlu menunggu penilaian objektif dari lembaga berwewenang sebagai penilai kinerja pejabat publik. Mereka tak berlama-lama menunggu dipecat oleh pimpinannya karena mereka tahu diri untuk segera mundur sebelum dimundur paksa.

Jepang, salah satu negara yang paling banyak didera pengunduran diri menteri. Budaya malu dan merasa bersalah begitu kental dalam karir kenegaraan mereka. Jika seorang pejabat publik bersalah, maka dengan suka rela ia mengundurkan diri dari jabatannya. Terakhir, PerdanaMenteri (PM) Yoshihiko Noda baru saja terpilih untuk menggantikan PM Naoto Kan langsung lengser karena tak mampu menjaga stabilitas ekonomi. Jika dirata-rata, perdana menteri Jepang bertahan antara 200 dan 300 hari. Mereka mundur karena merasa tidak mampu memimpin Jepang, atau pun tidak sanggup memenuhi janji politiknya.

Tahun 2010 lalu, giliran Menteri Kehakiman Jepang Minoru Yanagida mundur. Persoalannya sepele, hanya  buntut dari gurauannya di parlemen. Anggota Majelis Rendah merasa terhina oleh kelakar Yanagida sehingga dia didesak mundur. Tahun ini,  Menteri Perdagangan Jepang, Yoshio Hachiro mundur setelah keliru berkomentar daerah di sekitar ledakan pembangkit tenaga nuklir sebagai "kota kematian".

Dimana-mana sering kita dengar pengunduran menteri dan pejabat publik karena dililit masalah. Mengapa demikian? Agenda publik, umumnya, tidak bisa sesat. Jika satu atau lima pihak yang bersuara, rekayasa bisa saja sebagai penyebabnya. Namun, jika suara itu berdatangan dari beragam kalangan, tudingan deception patut diragukan.

Menteri yang terlibat skandal, jelas konsentrasinya tidak lagi penuh kepada perkerjaan. Dimana pun ia berada tak akan bisa lepas dari masalah yang membelitnya. Hari-harinya hanya sibuk merancang bantahan yang terus-menerus diliput oleh media. Di ruang kerja, di rumah kediaman, di mana saja, otaknya pasti dipenuhi oleh urusan tuduhan-tuduhan tersebut.

Saat ini, ada tiga menteri yang terbelit perselingkuhan sehingga membuat haru biru rumah tangganya. Kemudiaan, ada dua menteri yang tersangkut korupsi di departeman yang dipimpinnya. Selain itu, ada menteri yang terserang kanker padahal dia adalah menteri yang mengurus kesehatan. Juga ada dua menteri yang berseteru, padahal dua departemen tersebut harus seiring dan sejalan. Selain itu, beberapa menteri tak mampu menjamin harga makanan pokok dan kebutuhan pokok jelas menjadi beban berat presiden

Menteri Tahu Diri

Seharusnya para menteri tahu diri kalau mereka itu tak ada apa-apanya kalau tidak diajak presiden menjadi pembantunya. Mereka telah diberi kesempatan oleh presiden untuk mengukir sejarah bagi keberlangsungan negeri ini. Harkat dan martabat mereka yang awalnya seukuran instansi, lokal, dan partai dilambungkan menjadi tokoh nasional.

Menteri tahu diri seyogyanya memahami konsekensi kesediaan menjadi pembantu SBY berarti bersedia mengikat diri untuk benar-benar membantu presiden sepenuh jiwa dan raga. Selama menjadi menteri tidak ada waktu berselingkuh, hura-hura, menggarong uang negara, dan berbabagi aktifitas yang sama sekali tidak mendukung perjuangan presiden memimpin negeri ini.

Sebagai manusia yang tahu diri pasti akan berterimakasih dengan sepenuh hati kepada orang yang berjasa mengangkat harkat dan martabatnya dengan pengabdian yang tulus dan tiada henti sepanjang hari.

Sebaliknya, menteri yang tak tahu diri malah merasa dirinya lebih berjasa terhadap presiden. Jangankan berkerja dengan sungguh-sungguh, sudah nyata pun bersalah, mereka masih membela diri, dan merasa benar sehingga tak perlu meminta maaf kepada presiden dan publik, apalagi mundur dari kabinet. Dasar tak tahu diri! ***

Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan/Direktur Lembaga Penelitian Agama dan Sosial (Lepas).

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar