Rabu, 23 November 2011

[antikorupsi] Walikota Surabaya Harus Bertanggung Jawab, Soal Mark-Up Anggaran Mobil yang Mestinya Rp 27 M Diajukan Rp 36 M

 

Walikota Surabaya Harus Bertanggung Jawab, Soal Mark-Up Anggaran Mobil yang Mestinya Rp 27 M Diajukan Rp 36 M

Kamis, 24 November 2011

SURABAYA- Kebijakan Walikota Surabya Tri Rismaharini kembali menuai kontroversi. Pengadaan mobil yang anggarannya tiba-tiba membengkak dari Rp 27 miliar menjadi Rp 36 miliar, dinilai sarat penyelewengan. Bahkan, diindikasi adanya tindak pidana korupsi. Pasalnya, selain adanya perubahan peruntukan, pengadaan mobil yang diajukan melalui Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) 2011 tidak melalui prosedur yang semestinya. Belum disetujui oleh DPRD Surabaya, tapi Pemkot sudah membeli mobil-mobil tersebut.

"Kami sudah 2,5 tahun duduk di dewan. Jadi tidak bisa dibodohi lagi dengan cara-cara Pemkot yang menyusupkan anggaran," ungkap anggota Komisi C DPRD Surabaya Agus Santoso dikonfirmasi, Rabu (23/11). "Ini awal penyelewengan," tandas politisi Partai Demokrat itu.

Agus menjelaskan penyusupan anggaran oleh Bagian Perlengkapan melalui PAK 2011. Di dalam penganggaran mobil, alat berat dan alat kantor meningkat dari Rp27 miliar menjadi Rp36 miliar. Selisih anggaran Rp9 miliar itu akhirnya dipermasalahkan oleh dewan, karena diduga digunakan Pemkot untuk membeli mobil operasional untuk Muspida Surabaya sebanyak 33 unit. Rinciannya, 28 unit mobil jenis Isuzu Panther diserahkan kepada Polrestabes Surabaya untuk kendaraan operasional di tingkat Polsek. Sedangkan lima unit kendaraan jenis Pajero untuk operasional pimpinan institusi samping yang termasuk dalam forum Muspida. Seluruh mobil itu diserahkan kepada institusi samping dengan status pinjam pakai.

"Tapi anehnya melalui usulan sarana prasarana 2012, Bagian Perlengkapan kembali mengajukan lima unit Pajero. Ini apa-apaan? Kami tidak bisa dibodohi lagi. Ini yang membuat Pak WW (Ketua DPRD Wishnu Wardhana) akhirnya memutuskan mencoret anggaran Rp9 miliar itu karena dinilai tidak jelas," ungkap Agus.

Hal sama diungkapkan anggota Badan Anggaran (Banggar) Syaifudin Zuhri. Ia mengungkapkan kesepakatan sebelumnya antara Pemkot dengan Banggar disebutkan tambahan anggaran APBD 2011 melalui PAK adalah Rp27 miliar. Namun, lanjut Syaifudin, dalam naskah PAK yang akan ditetapkan Selasa lalu, Pemkot menuliskan Rp36 miliar, selisih Rp9 miliar dari kesepakatan semula. Atas hal ini, lanjut ketua Fraksi PDIP ini, Banggar memanggil jajaran Pemkot untuk rapat banggar sebelum rapat paripurna.

"Dalam rapat tersebut Pemkot tetap bersikukuh Rp36 miliar, namun tidak bisa menjelaskan penggunaanya. Pihak legislatif sendiri tetap pada keputusan awal pada angka Rp27 miliar mengingat tidak ada waktu lagi untuk melakukan pembahsan ulang," papar Syaifudin.

Karena tidak ada kesepakatan, tambahnya, Pemkot akhirnya melakukan walk out dari rapat dengan alasan untuk berkoordinasi. Akibat tidak adanya penjelasan dari Pemkot mengenai tambahan anggaran Rp 9 miliar, banyak yang menghubungkannya dengan masalah pembelian kendaraan operasional angkutan darat yang dinilai legislatif melanggar aturan.

Kasus pembelian kendaraan ini, lanjut Syaifudin, memang mencuat bersamaan dengan kengototan Pemkot untuk menambah anggaran PAK 2011. Jika dihitung menjadi Rp36 miliar. 'Memang kalau dihitung Pemkot telah melakukang pembelian kendaraan baru dengan nilai hampir Rp9 miliar," tambahnya.

Memang Pemkot sebelumnya diketahui telah melakukan pembelian kendaraan operasional yang tidak sesuai Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) 2011 dan tanpa melalui PAK. Tercatat ada tiga item rencana pembelian kendaraan operasional yang dipertanyakan Banggar, yaitu 28 unit kendaraan kelas Panther yang sudah dipergunakan untuk pinjam sewa dengan Polrestabes Surabaya, 31 kendaraan jenis panther yang digunakan camat dan 5 unit kendaraan kelas Jeep Pajero.

Tiga item pembelian kendaraan operasional itu disebut menyalahi rencana kegiatan Anggaran 2011, bahkan ada yang sebelumnya tidak dianggarkan sama sekali namun diajukan dalam PAK 2011. Dalam RKA 2011 dianggarkan pembelian pengadaan Alat Angkutan Darat yang terdiri dari 4 unit Jeep 2000cc senilai Rp1,359 miliar, 31 unit station wagon 1500cc senilai Rp5,413 miliar.

Namun dalam laporan pembelian muncul pembelian yang berbeda dari RKA 2011, yaitu pembelian Jeep 2000cc sebanyak lima unit senilai 1,699 miliar, station wagon 2500cc sebanyak 31 unit seharga Rp6,820 miliar, dan pembelian 28 station wagon 2500cc rotary seharga Rp6,314 miliar. Dalam laporan kepada Banggar kemarin Pemkot menyebut 31 unit station wagon 2500 cc dipergunakan untuk kendaraan operasional camat, sedangkan lima Jeep 2000cc untuk operasional Pemkot.

Sementara penggunaan 28 unit station wagon 2500cc tidak dijelaskan, namun sebagian legislaatif menyebut kendaraan ini untuk dipinjampakaikan pada Polrestabes Surabaya sejak empat bulan lalu.

Diindikasi Korupsi

Dugaan korupsi menyeruak dalam pengadaan mobil operasional buat camat, Polsek dan unsur Muspida. Pasalnya pembelian tersebut mengalami cacat prosedur karena tanpa persetujuan DPRD Surabaya. Pengamat hukum Unair I Wayan Titib mengatakan, setiap penggunaan anggaran harus mendapatkan persetujuan dari DPRD. Sebab, UU Pemerintah Daerah mengharuskan hal tersebut. "Kalau tidak ada persetujuan DPRD ya cacat prosedur, patut diduga ada unsur korupsi di situ," ungkap Wayan dihubungi secara terpisah.

Wayan menjelaskan dalam nomenklatur anggaran sudah tertuang jelas jenis mobilnya, lalu kemudian diubah di tengah jalan tanpa persetujuan DPRD. Maka sudah kelihatan jelas unsur perubahan peruntukan. Lantaran uang tersebut bersumber dari APBD, maka patut diduga ada kerugian Negara. "Kan beda harga antara yang 1500 CC dengan yang 2500 CC, sementara nomenklatur anggarannya berbunyi 1500 CC. Jangan-jangan ada konspirasi antara pihak Pemkot selaku kuasa pengguna anggaran dengan pengusaha yang memenangkan tender tersebut," terang Wayan.

Masih menurut Wayan, tindak pidana korupsi terbesar se Indonesia memang terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Oleh karena itu lembaga penegak hukum harus melakukan pengawasan ekstra keras terhadap hal ini. "Masyarakat juga harus melakukan pemantauan," paparnya.

Ketika disinggung siapa pihak yang paling bertanggung jawab, Wayan mengatakan, semua tanggungjawab pengadaan ada pada kepala biro perlengkapan Pemkot Surabaya,. Sebab anak buah hanya menjalankan perintah atasan saja. "Sistem birokrasi kita hanya menjalankan perintah atasan saja, jadi yang bertanggungjawab ya pejabat yang paling tinggi di SKPD tersebut, " terangnya. Namun, lantaran hal tersebut diketahui Walikota, maka Risma juga harus bertanggung jawab.

Oleh sebab itu, lanjut Wayan, dirinya meminta kepada Kejati dan Polda Jatim untuk turun melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. "Kalau diam saja ya patut diduga ada apa-apa," pungkasnya. n ton

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962ba5356a3581751d821ca221f5246e680




__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar