Kamis, 17 November 2011

[Media_Nusantara] 85 Persen Hutan Kalimantan Dikuasai Malaysia, di Konversi Lahan Sawit

 

Memprihatinkan, 85 Persen Hutan Kalimantan Dikuasai Malaysia, di Konversi Lahan Sawit









Pengamat: 85 Persen Hutan Kalimantan Dikuasai Malaysia
Rabu, 16 November 2011 07:47 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketika masyarakat meributkan kasus pencaplokan Dusun Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar) oleh Malaysia, pemerintah menyangkalnya. Namun, Campaigner of Centre for Orangutan Protection (COP) Daniek Hendarto, tidak menyangkal terjadi pencaplokan wilayah di Kalimantan oleh negeri Jiran tersebut.

Konteks pencaplokan di sini adalah pembabatan hutan yang digunakan sebagai pembukaan lahan sawit. Menurut Daniek, sebagian besar hutan Kalimantan dikuasi oleh pengusaha dan cukong Malaysia.

Bahkan, ia memprediksi hutan di Kalbar sekitar 85 persen dikuasai orang Malaysia. Mereka menebangi pohon di hutan yang menjadi habitat orangutan untuk diganti perkebunan sawit. "Secara de facto hutan Kalimantan dikuasi Malaysia. Untuk di Kalbar sekitar 85 persen dikelola Malaysia," kata Daniek ketika dihubungi Republika, Rabu (16/11) pagi.

Konsekuensi pembukaan hutan sangat mahal, banyak orangutan terusir dari tempat tinggalnya. Pengusaha Malaysia itu menyewa penduduk lokal untuk menyiksa atau bahkan membunuh orangutan di sekitar hutan yang dijadikan sebagai perkebunan sawit. Tak heran, di sekitar perusahaan sawit dengan mudahnya ditemukan tulang dan tengkorang orangutan dengan bekas tanda disiksa.

Yang membuatnya prihatin, dengan membayar penduduk lokal pula mereka mengangkut kayu asli Kalimantan untuk dijual ke Malaysia. Di negerinya sana, kata Daniek, kayu dan orangutan itu oleh pengusaha Malaysia dijual dengan harga mahal.

Jika kondisi ini dibiarkan, pihaknya memprediksi pembantaian orangutan bakal terus terjadi. Banyaknya orangutan yang kehilangan tempat tinggalnya membuat mereka sering turun ke rumah penduduk dan malah dianggap sebagai ancaman. Karena itu, pihaknya menyeru kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah besar ini.
http://www.republika.co.id/berita/na...uasai-malaysia


Serbuan Kebun Sawit Perparah Kekeringan
Minggu, 18 September 2011 | 19:08 WIB

BANDA ACEH, KOMPAS.com — Kekeringan dan kebakaran hutan yang kini kerap melanda kawasan hutan rawa di Aceh bagian barat bukan semata dampak pemanasan global. Alih fungsi lahan hutan rawa gambut menjadi perkebunan sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi penyebab utamanya.

Kebun sawit mematikan sumber-sumber air warga serta meningkatkan tingkat kekritisan lahan. Sawit adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air. Ironisnya, tanaman-tanaman itu yang kini mengubah hampir seluruh lahan hutan rawa payau di kawasan Tripa dan Singkil. "Kawasan rawa Tripa sekarang ini seperti bukan hutan lagi, tapi kebun sawit semua," ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh TM Zulfikar, Minggu (18/9/2011) di Banda Aceh.

Alih fungsi lahan tersebut terjadi akibat terus dilakukannya pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan-perusahaan perkebunan oleh pemerintah di kawasan hutan rawa itu. Di kawasan Rawa Tripa sendiri terdapat lima perusahaan sawit yang menguasai lebih dari 90 persen perkebunan sawit. Akibatnya, dari sekitar 60.800 hektar lahan hutan rawan itu, kini tinggal sekitar 20.000 hektar yang tersisa sebagai hutan. Selebihnya beralih menjadi perkebunan sawit dan lahan-lahan kritis.

Alih fungsi itu pun mematikan fungsi alami lahan gambut tersebut, khususnya sebagai penyimpan air. Pada musim hujan, kawasan sekitar Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, selalu dilanda banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau seperti ini kekeringan selalu terjadi. "Kami berulang kali sudah mendesak agar penerbitan HGU itu dihentikan dan dicabut. Namun, kenyataannya, sampai sekarang perusahaan-perusahaan itu tetap beroperasi dan meluaskan lahannya," tutur Zulfikar.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatur persoalan penggunaan lahan hutan tersebut sampai sekarang belum terealisasi. RTRW tersebut diharapkan memasukkan kawasan rawa gambut di pesisir Aceh sebagai kawasan hutan lindung. Dengan demikian, ada dasar kuat untuk menghentikan alih fungsi lahan yang tak semestinya tersebut.

Secara terpisah, Camat Tripa Makmur Abdul Kadir mengemukakan, kekeringan di sekitar kawasan Tripa dari waktu ke waktu semakin mengancam warga. Air bersih adalah persoalan yang paling krusial akibat kekeringan itu. "Di satu kecamatan ini hanya ada delapan sumur. Itu pun airnya kalau waktu musim kemarau sedikit. Warga hanya bisa mengandalkan air sungai untuk semua kebutuhan," kata Kadir.

Ironisnya, debit air sungai-sungai di sekitar kawasan Tripa pada musim kemarau jauh menyusut dibandingkan pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Air sungai sebagian dialirkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengaliri kebun sawit mereka yang kian meluas.
http://regional.kompas.com/read/2011...rah.Kekeringan

70 Persen Perkebunan Sawit Kalbar Milik Malaysia
Rabu, 12 Mei 2010 11:19 WIB

Pontianak (ANTARA News) - Lembaga Sawit Watch mencatat sekitar 70 persen perkebunan sawit di Provinsi Kalimantan Barat milik investor dari Malaysia. Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik Sawit Watch Jefri Gideon Saragih, di Pontianak, Rabu, mengatakan investor Malaysia mulai masuk tahun 1999 - 2001 dengan membeli 23 eks kebun sawit milik Salim Group seluas 256 ribu hektare di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi senilai Rp3 triliun.

Ia menjelaskan, ada tiga perusahaan besar milik Malaysia yang menanamkan modalnya di bidang perluasan kebun sawit di Kalbar, yakni Sime Darby, Wilmar, dan Cargil. "Sungguh ironis kalau hal itu dibiarkan, karena negara tetangga yang akan lebih banyak menikmati hasil produksi CPO (Crude Palm Oil)," katanya. Menurut data Sawit Watch, luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 9 juta hektare, dikuasai petani sekitar 36 persen, swasta nasional dan asing 43 persen, dan sisanya milik Badan Usaha Milik Negara.

Total produksi CPO pertahun 21,3 juta ton dengan menampung tenaga kerja sekitar 5 juta orang dengan keuntungan negara sekitar 9,12 miliar dolar AS/tahun. Indonesia dan Malaysia menguasai 80 persen dari sekitar 50 juta ton produksi CPO dunia, kata Jefri.
http://www.antaranews.com/berita/127...milik-malaysia

----------------

Pemerintah Malaysia sudah agak lama mengetahui dan menyadari dampak negatif akibat pembukaan lahan sawit besar-besaran di negaranya beberapa waktu lalu. Selain bikin udara gerah, karena kelembaban udara tipis (bagi yang pernah singgah atau tinggal di Kuala Lumpur, pasti merasakan suasana seperti itu). Juga mengakibatkan cadangan air tanah berkurang drastis sehingga mengancam kehidupan jenis flora lainnya dan makhluk hidup, termasuk manusia dan hewan. Makanya, mereka mulai melakukan moratorium lahan sawit di negerinya, tapi karena bisnis sawit itu menggiurkan, mereka manfaatkan peluang pembukaan lahan sawit di bumi Indonesia. Saat ini, Malaysia adalah investor asing terbesar di perkebunan kelapa sawit, dan mereka terus minta ke Peemrintah RI untuk diberi lahan-lahan baru untuk menggantikan lahan sawit di negaranya yang akan mereka tutup secara bertahap. Mudah-mudahan para pejabat kita di Pusat dan Daerah, mulai menyadari akan kekeliruannya itu selama ini






Walhi: 80% hutan rusak akibat markus
Sabtu, 24 April 2010 | 20:54 wib ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Berry Nahdian Forqan menilai hampir 80% hutan di Indonesia rusak akibat ulah makelar kasus (markus). Modus operandi mengalihkan fungsi hutan dan penebangan liar secara berlebihan. Sayangnya, kasus markus hutan lemah dalam penegakan hukumnya.

"Riau adalah kawasan dengan kerusakan hutan terparah. Hampir semua hutan di provinsi itu rusak. Celakanya, perusakan hutan banyak melibatkan oknum pemerintah daerah dan polisi setempat. Hingga kini mereka masih bebas berkeliaran, tanpa tersentuh hukum," ungkap Berry Forgan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (24/4/2010).

Menurut Berry, modus para markus sangat bervariasi. Paling tidak ada 15 modus, termasuk suap dan gratifikasi untuk menerbitkan izin pengelolaan hutan. Padahal ketika ditelusuri izin tak sesuai prosedur.

Koalisi Anti Mafia Hutan, gabungan LSM kehutanan sudah melaporkan markus hutan ke Satgas Anti Mafia Hukum. Dalam laporan itu disindikasikan ada 12 penyelenggara negara yang disinyalir sebagai mafia kehutanan. Diharapkan Satgas segera memeriksa karena selain merugikan keuangan negara, juga merusak lingkungan.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menjelaskan Koaliasi Anti Mafia Hutan, hasil gabungan LSM mendesak Satgas untuk fokus lebih dulu praktek mafia hutan di Riau. Mengingat, Riau yang kaya hasil hutan, juga kaya penyelewengan, korupsi dan mafia hutan. Apalagi, penegakan

hukum yang menangani kejahatan kehutanan di Riau merosot tajam. Penegak hukum lebih berpihak ke mafia hutan, ketimbang membela kondisi hutan yang semakin rusak parah.

"Bukti tidak keterpihakan saat Kepolisian Riau mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan,-red) untuk 14 Perusahaan besar di Riau. Padahal, kerugian negara yang terjadi karena ulah perusahaan-perusahaan kayu mencapai lebih dari Rp2,8 triliun. Sayangnya kasusnya tidak berlanjut ke pengadilan malah pengusaha perusak lingkungan dibiarkan bebas menghirup udara," papar Febri.

Disinyalir penerbitan SP3 melibatkan orang kuat dikalangan pejabat dan penegak hukum di wilayah Riau. Ada 12 penyelenggara negara yang kami laporkan Satgas agar segera diperiksa. Pejabat yang terlibat bukan orang sembarangan di Riau.

"Ada dua polisi yang posisinya di high level. Juga satu orang dari Departemen Kehutanan, satu orang nomer satu di provinsi Riau, Empat Bupati dan Empat Kepala Dinas Kehuatan di Riau. Ini semua mafia hutan. Mereka kami laporkan semuanya, tuturnya.

Banyak kejanggalan dalam penerbitan SP3. Polisi beralasan tak cukup memiliki bukti untuk meneruskan kasus ke kejaksaan hingga pengadilan. Padahal, dulu yang paling getol adalah pihak kepolisian.

"Ada pendapat ahli yang menyatakan izin penebangan hutan legal dan tak merusak lingkungan. Padahal, terdapat bukti banyaknya kayu yang ditebang seperti disampaikan oleh masyarakat, namun tidak dipakai bahan pertimbangan kepolisian dalam memberkasnya, menyedihkan memang," sambung Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Susanto Kurniawan.

Lima Belas Modus Mafia Kehutanan

1. Penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan izin;
2. Pemberian izin tidak sesuai peruntukan;
3. Regulasi dan kebijakan digunakan untuk menghancurkan hutan dan menutupi kejahatan kehutanan:
4. Suap dan gratifikasi terhadap pejabat pusat atau daerah atas izin yang diterbitkan;
5. Perusahaan memfasilitasi institusi penegak hukum. Misal, mobil operasional di Riau;
6. Pejabat diberikan 'saham gratis' di Perusahaan Sawit;
7. Memanipulasi data AMDAL agar seolah memenuhi persyaratan pembukaan sawit dan HTI;
8. Penerbitan SK oleh Bupati tanpa AMDAL;
9. Melakukan pembalakan liar dibungkus alih fungsi hutan untuk sawit, padahal sawitnya tidak pernah ditanam;
10.Memecah perusahan untuk mendapatkan izin alokasi melebihi batas maksimum;
11. Menyiasati kubikasi kayu di setiap RKT;
12. Pencucian kayu-kayu ilegal dengan memanfaatkan perusahaan legal dengan tujuan untuk mendapatkan dokumen resmi;
13. Memanfaatkan masyarakat untuk membuka kawasan hutan untuk membuka kebun sawit;
14. Legalisasi kayu ilegal dalam proses pelelangan;
15. Praktek cuci mangkok (menebang di luar blok tebangan).
http://www.kabarbisnis.com/read/2811194

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar