Selasa, 01 November 2011

[inti-net] #sastra-pembebasan# Re: [GELORA45] Re: [GELORA45 Golkar Bali Terima Kunjungan Partai Komunis China + Ikuti Partai Komunis China, Golkar Bali Bangun Hotel

 

Catatan Laluta:

Sehubungan dengan kedatangan para petinggi Partai Komunis China di Pulau Dewata, khususnya dalam kunjungannya ke kantor DPD
Partai Golkar Bali Denpasar, sepertinya bukan sekedar kunjungan silahturahmi belaka...teristimewa kelihatan begitu mesranya hubungan antara Sekretaris Jenderal Partai Komunis China Provinsi Gansu dan Ketua DPD Golkar Bali I Ketut Sudikerta, padahal Bali dalam proses perjalanan sejarah perpolitikan jaman pemerintahan Soekarno didominasi pengaruh politik PNI, kemudian di paska rejim Soeharto sampai saat ini selalu dikenal menjadi tempat basisnya PDIP...

Tentunya qta semua masih belum hilang ingatan ketika Soeharto di abad 20 mengadakan kunjungan pertama kali ke China,... sejak saat itu, kesaksian kebenaran sejarah peristiwa berdarah 1965/1966 di Indonesia seakan-akan tertutup kabut tebal..menyelubungi hubungan "perselingkuhan" antar China dengan Indonesia...  Kini kita hidup di abad 21, politik-ideologi kapitalisme telah "mendewakan" jasa paham Neo-Liberalisme, Lalu apa yang menjadi alat perekat antara GOLKAR&kunjungan istimewa delegasi PKC di Pulau Dewata ini? 

Apakah ada  "cerita dibalik berita..." Untuk itu, silahkan menyimak kumpulan berita dibawah ini...

Mudah2an kumpulan info dibawah ini bermanfaat bagi milisers...

Salam,

Politik

Menceritakan Berita dibalik Berita...

Bakrie ke China dan Penurunan Citra SBY

OPINI oleh Yusufh

Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar yang secara terang-terangan akan belajar dan mengadopsi sistem politik China merupakan hadiah dan berkah yang luar biasa bagi China. Komitmen yang ditunjukkan Bakrie dengan kerjasama pendidikan ideologi bagi kader-kader golkar telah menunjukan komitment yang sama dari China untuk mendukung Bakrie di 2014. Berbarengan dengan kunjungan Bakrie, di Dalam Negeri MEP sedang dalam gunjingan dan tekanan politik akibat naiknya margin surplus perdagangan China terhadap Indonesia dan tuntutan untuk memeriksa kaitan antara kecelakaan Merpati di Papua dengan pembelian kongkalingkong pesawat MA60.

Pemberitaan itu serta merta terhenti ketika secara tidak terduga, KPK mendapat bocoran mengenai korupsi yang mungkin dilakukan oleh kader-kader inti demokrat dalam kasus pembangunan wisma atlet untuk Sea Game. Tentu saja pergunjingan MEP dan kekhawatiran perdagangan hanya akan reda jika ditutup oleh kasus yang lebih seksi dan dekat dengan Cikeas 1, karena itu patut menjadi pertanyaan kaitan antara komitment Bakrie dengan serangan balasan terhadap SBY.

Dalam persepsi ini, tekanan politik terhadap MEP bisa diindikasikan sebagai kegagalan SBY melindungi kepentingan China di Indonesia. Dus secara otomatis dukungan pun mulai dikurangi, dan bahkan bukan hanya dikurangi, tetapi Sby sendiri kemudian dihantam secara telak. Tulisan ini tidak sedang membela Sby, karena sekalipun korupsi kroni Sby sudah dicurigai, tetapi publik tidak mampu untuk mengungkap apa dan bagaimana model operasinya.

Terbongkarnya kasus nazaruddin bukanlah perkara yang mudah. Perlu kekuatan politik yang lebih besar dari Sby untuk mengungkapnya. Perlu data dan informasi yang lebih rinci untuk membongkarnya dan tentu saja perlu alat-alat yang mampu menghack sistem operasi di lingkaran Sby. Karena itu, terbongkarnya kasus tersebut berkaitan dengan kekuatan besar lain yang terganggu oleh kegagalan Sby tersebut.

Peralihan dukungan ke Bakrie dalam tahap awal terlihat dari survey terbaru yang menunjukkan popularitas Sby menurun, yang kemudian disambut oleh Golkar sebagai kemenangan awal mereka menuju 2014. Mungkin terlalu terburu-buru jika dikatakan bahwa menurunnya popularitas demokrat akan serta merta berpindah ke Golkar, tetapi indikasi awal ini menunjukkan bahwa sudah ada design besar untuk mendorong Bakrie lebih ke puncak popularitas menggantikan Sby.

Tetapi dalam hemat saya, perjalanan Bakrie tidaklah akan mulus. Persoalan utama Bakrie menuju 2014 adalah Lumpur Lapindo. Sekalipun berbagai dukungan ilmiah, salah satunya dari ilmuwan rusia, yang menyatakan bahwa lumpur lapindo adalah gejala dan bencana alam, tetapi secara politis Bakrie grup tidak bisa dilepaskan begitu saja sehingga skenario untuk menaikkan Bakrie masih menjadi tanda tanya besar.

Pertarungan yang ketat antara China dan Amerika belakangan semakin terbuka. Penurunan peringkat utang AAA plus Amerika mengkhawatirkan sejumlah negara, terutama China dan Jepang, yang memiliki surat utang paling besar dibanding negara lain. Ancaman gagal bayar utang Amerika saat ini mau tidak mau akan menekan devisa China dan Jepang. Di sisi lain, Amerika menekan china dengan mobilisasi besar-besar di Asean dengan pendekatan intensif melalui Vietnam dan Filipina terkait sengketa Laut China Selatan.

Tarik menarik kekuatan yang intensif tersebut tidak dibaca Bakrie secara cermat, sehingga dukungan terbuka untuk mengadopsi sistem politik komunis China di Indonesia oleh Partai Golkar merupakan sebuah blunder politik. Seharusnya elit-elit politik Indonesia berada pada posisi menyeimbangkan diri dan netral sehingga situasi konflik di Laut China Selatan menjadi lebih lunak.

SBY sendiri sebagai Ketua Asean 2011 nampak gagap menghadapi konflik tersebut, selain tekanan politik di Dalam Negeri yang terus menerus, Sby tidak memperlihatkan platform politik untuk membawa Asean menjadi penengah utama konflik. Posisi Indonesia sebagai negara besar menjadi tidak telihat dan nampak hanya sebagai negara penggembira dan di bawah kendali kepentingan Internasional.

***
http://www.energytribune.com/articles.cfm/651/PT-Lapindo-Brantas-Makes-Things-Clear-as-Mud-in-Indonesia

PT Lapindo Brantas Makes Things Clear as Mud in Indonesia

By Bret Mattes

On May 29, 2006, PT Lapindo Brantas, an Indonesian energy company, was drilling a wildcat well, the Banjar-Panji-1.

The driller had struggled through 2,500 feet of clays, underlain by gritty sands and volcaniclastics, and decided to drill ahead into porous limestone below 9,000 feet without stopping to set casing. That was a mistake. At about 5 a.m., a fissure opened about 600 feet from the wellhead, and steam, water, hydrogen sulphide, and methane began to escape. Shortly afterwards, hot viscous mud began to flow rapidly from the fissure. It has been flowing ever since, taking with it homes, factories, livelihoods, crops, roads, railways, and reputations, and creating a huge industrial scandal that will have serious repercussions.

The Banjar well is one of the most environmentally destructive oil and gas wells ever drilled. The toxic mud has been flowing for 18 months now – and could flow for decades to come – at rates of up to 150,000 cubic meters per day. To date it covers at least 2.5 square miles with a billion cubic feet of mud that is quickly turning into mudstone.

Lapindo Brantas was operating the well on behalf of its two partners: Santos, Australia's third-largest oil and gas company, and Medco Energi of Indonesia. The well's target was natural gas deposits in the Sidoarjo area of eastern Java, an area characterized by mud volcanoes. And the fact that Java is the most densely populated island on earth is what makes the Banjar well's toxic mud volcano so destructive.

The already horrific catalogue of damage continues to grow. The mud has displaced 13,000 people from their homes. It has inundated 11 towns, 30 schools, 25 factories, a national toll road, and the state-owned Sidoarjo-Pasuruan railway line. It has buried rice paddies and shrimp farms. (Sidoarjo was the second largest shrimp-producing town in the country.) It has also shut down one of east Java's key industrial hubs with a slow-moving tsunami of hot, sticky, smelly mud that hardens to rock as it dehydrates and cools. It caused a Pertamina-owned gas pipeline to rupture and explode, killing 11. Environmental damage is estimated at between $5 billion and $10 billion.

If this had happened on the edges of a city, the political response would have been immediate. But these are rural Indonesians, and since they have no money, and therefore no political voice or leverage in post-Suharto Indonesia, they stay displaced, uncompensated, and, until recently, ignored.

A network of levees and dams has been erected to contain the mud, but have not been successful. Some sludge is pumped into the Porong River, but this has not been successful either; much of the sludge is insoluble and sits in the river in blocks. The rest is rapidly silting up the river and its delta and affecting its flow, causing flooding. The mud, containing a dangerous cocktail of benzene, toluene, xylene, heavy metals, ammonia, and sulphur dioxide, is rendering the river lifeless and its estuary barren. The government has proposed channelling the mud to the sea by canal, but this has some obvious drawbacks and has not been tried (yet).

Other methods to contain the flow have been tried. The national government's response team air-dropped 1,500 large concrete balls connected by steel chains into the fissure. But that only made the mud flow faster. Japanese contractors proposed building a high-pressure pipeline to divert the mud to the coast for land reclamation. Local authorities brought together 50 mystics to use their supernatural powers to stop the mudflow, for an $11,000 prize. In another bizarre twist, Lapindo Brantas funded production costs for a 13-episode television soap opera called "Digging a Hole, Filling a Hole" to highlight and dramatize stories of the company's heroism. Needless to say it was not a big hit.

More recently, the Japan Bank for International Cooperation offered loans of $110 million to build a 130-foot high containment dam around the mudflow, on the theory that the weight of dammed mud would eventually cut off the flow.

The technical post mortem appears straightforward: Lapindo Brantas's drill bit penetrated an overpressured reservoir, causing hydrofractures to propagate outwards from the uncased hole and upwards into the overlying seal, rapidly entraining mud, gas, and water to the surface under high pressure. Unfortunately for the victims, the technical explanation is the only thing about this disaster that is straightforward. The rest would give Kafka nightmares.

Perhaps the drama s most surreal aspects concern Lapindo Brantas and its owner Aburizal Bakrie, one of Asia's richest men who also happens to be a senior executive of Golkar (the ruling party) and the former minister for economics. He's also currently the ironically titled Minister for the People's Welfare, a financial backer of President Susilo Bambang Yudhoyono's 2004 election campaign, and one of the vice president's closest friends. (Bakrie was closely tied to the former Indonesian dictator, Suharto. In the 1990s, those ties helped him to obtain a substantial ownership stake in Freeport-McMoRan Copper & Gold, the U.S. mining outfit that operates the massive Grasberg mine in West Papua. Bakrie sold the Freeport stake in 1997.) Rather than resign his portfolio, Bakrie has tried to convince the government that Lapindo Brantas was just in the wrong place at the wrong time, an innocent witness to a natural disaster. On two occasions he has
tried to sell Lapindo Brantas to escape liability, but has been blocked by the financial regulator. The first proposed sale was for $2 to an unnamed offshore company. The second, for $1 million, was to a U.S.-based outfit run by American friends of the family.

Recently, partner Medco Energi accused Lapindo Brantas of gross negligence in the operation of the Banjar-Panji-1 well. Shortly after that bombshell, the police opened a criminal investigation into the actions of 13 senior managers and engineers at Lapindo Brantas.

Until recently, Lapindo Brantas was allowed to choose, on a purely voluntary basis, how, why, and whether to compensate those people and businesses affected by the mudflow. It offered some families payments of up to $540 to cover two years' displacement rental, $60 in moving costs, and $35 per month for food, if they agreed to free Lapindo Brantas from any further liability.

Most residents rejected the offer, preferring to keep their options open. The company also claimed it was spending $2.4 million per day on efforts to stop or divert the mud, but this was subsequently found to actually be just under $300 per day. Recently, Indonesia's President Yudhoyono issued a decree ordering the company "to bear all costs and repercussions" of the disaster, and pay compensation to those displaced. But since the decree has no legal consequence, it became apparent that this was another Kafka-esque way to avoid paying anything to anyone. The government has tried to minimize the political damage by setting aside $127 million from the state budget for compensation payments. But the applications are to be screened by a 50-person committee!

Politicians are outraged because it appears that the government is bankrolling Lapindo Brantas and the Bakries. Citizens are skeptical that they will ever see any of the money.

Many analysts predict that the Bakrie Group will simply resort to bankruptcy rather than foot any of the multi-billion dollar clean-up and compensation costs. They are money men, not oil men, and won't lose any sleep if this forces them out of the oil and gas business for good. It is the prudent operators in Indonesia, trying to conduct their activities safely and with a commitment to the country, who will have to live with the aftermath.

All of which is music to the ears of law firms that specialize in class-action suits. There are legal precedents for hearing offshore class actions in Australia when Australian companies are involved. So look out, Santos. Although it is only an 18 percent non-operating partner in the project, Santos is the only solid target in this whole sorry saga. The company has set aside about $60 million in its current budget to cover liability arising from the mudflow. But litigation experts in Australia believe that amount could underestimate Santos's liability by as much as two orders of magnitude.

***

Aburizal Bakrie Terkaya di Indonesia
Diposkan oleh Adien_Satria

Label: Seputar Lampung

"Seharusnya tidak ada alasan menunda pembayaran ganti rugi."

JAKARTA -- Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie
dan keluarganya dinobatkan oleh majalah Forbes Asia sebagai orang
terkaya di Indonesia tahun 2007.

Ical, panggilan Aburizal, menggusur posisi Sukanto Tanoto, bos Grup
Raja Garuda Mas, sebagai orang terkaya di republik ini. Tahun lalu
Forbes menempatkan Ical dan keluarganya di urutan keenam.

Keluarga Bakrie saat ini sebenarnya sedang dirundung kasus luberan
lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur panas itu menyembur dari area
konsesi PT Lapindo Brantas, perusahaan terafiliasi keluarga Bakrie.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, Lapindo harus
membayar ganti rugi dampak sosial sekitar Rp 3 triliun. Itu belum
termasuk dana US$ 40 juta (sekitar Rp 360 miliar) yang sudah
dikeluarkan untuk menutup semburan lumpur.

Namun, lumpur Lapindo tak mempengaruhi bisnis keluarga Bakrie.
Perusahaan-perusahaan grup Bakrie masih berkibar. Forbes pun
menyebutkan kocek Ical dan keluarganya justru meningkat tajam empat
kali lipat dari US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 11 triliun) pada 2006
menjadi US$ 5,4 miliar (sekitar Rp 50 triliun).

Keluarga Bakrie memiliki usaha di infrastruktur, pertambangan,
properti, dan telekomunikasi. Kontribusi terbesar lonjakan kekayaan
berasal dari kenaikan harga saham PT Bumi Resources Tbk., perusahaan
induk batu bara miliknya. "Harga saham perusahaan itu naik sampai 600
persen," begitu bunyi laporan Forbes itu.

Laporan lengkap Forbes ini akan diluncurkan pada 24 Desember nanti.
Juru bicara keluarga Bakrie, Lalu Mara Satriawangsa, meminta agar
laporan Forbes tak dibesar-besarkan. "Keluarga Bakrie sudah merintis
usaha sejak 1942. Dalam prosesnya pun ada jatuh-bangun," ujarnya
kepada Tempo melalui telepon di Jakarta kemarin.

Laporan Forbes, Lalu Mara melanjutkan, juga tak relevan. Sebab,
Aburizal sudah tidak mengurus bisnis sejak 2003. Terlebih lagi setelah
menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 2004 hingga
menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat saat ini.

Korban semburan lumpur di Sidoarjo yang masih bertahan di pengungsian
terkejut mendengar berita keluarga Bakrie sebagai orang terkaya di
Indonesia. "Kalau terkaya, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi
mereka menunda proses pembayaran ganti rugi," kata Sunarto,
koordinator korban lumpur, di Pasar Baru Porong, Sidoarjo, kemarin.
"Apa susahnya bagi dia menyediakan tanah baru bagi kami," dia menambahkan.

Lalu Mara menegaskan keluarga Bakrie tetap berkomitmen membayar ganti
rugi kepada masyarakat Sidoarjo korban semburan lumpur, walaupun
sebenarnya pengadilan belum memutuskan bersalah. "Sejauh ini
pembayaran masih terus berjalan."

Setiap tahun Forbes merilis daftar orang-orang terkaya di dunia,
termasuk di Indonesia. Pada 2006 pengusaha Sukanto Tanoto tercatat
sebagai orang terkaya di Indonesia. Tahun ini pemilik usaha pulp,
kertas, dan kelapa sawit tersebut turun ke posisi kedua. Tapi kekayaan
Sukanto naik dari US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 26 triliun) menjadi US$
4,7 miliar (sekitar Rp 43 triliun).

Putra mantan presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, menjadi pendatang
baru dalam daftar Forbes tersebut. Bambang berada di urutan ke-33
dengan jumlah kekayaan US$ 200 juta (Rp 1,9 triliun). "Saya belum baca
detailnya. Tapi saya mempertanyakan metodenya (cara Forbes
menghitung)," kata Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum Bambang, kepada
Tempo kemarin.AFP | Padjar | Munawwaroh | Rohman Taufiq

Melejit Meski Didera Lumpur

Didera krisis, tersandung kasus lumpur Lapindo, tak membuat bisnis
Aburizal Bakrie dan keluarganya meredup. Sebaliknya, semakin hari
bisnisnya semakin berkilau. Forbes tahun ini bahkan menobatkan
Aburizal, yang juga menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat,
sebagai orang terkaya di Indonesia.

Majalah Forbes Asia menyebut total kekayaan keluarga Bakrie tahun ini
mencapai US$ 5,4 miliar atau meningkat US$ 1,2 miliar dari 2006. Pada
1942, Ahmad Bakrie memulai bisnis ini di Teluk Betung, Lampung,
berdagang kopi, karet, dan lada.

Pohon Bisnis Bakrie

PT Bakrie & Brothers Tbk.

(Perusahaan Induk)

# Ahmad Bakrie

# Aburizal Bakrie

Pemegang saham:
# Kreditor, CMA Fund Management, dan masyarakat (mayoritas)
# Bakrie Investindo, Indra Bakrie (minoritas)

Telekomunikasi
# Operator Jaringan & layanan

Bakrie Telecom Tbk. PT Bakrie Communication (55,6%)

(55,6%)

Produk: Esia Multi Kontrol Nusantara (99%) (layanan)

Perkebunan
# PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk.(52,5%)
# Produk: kelapa sawit dan karet
# PT Huma Indah Mekar (100%)
# PT Bakrie Pasaman Plantations (99,8%)
# PT Agrowiyana (99,7%)
# PT Agro Mitra Madani (85%)

ABURIZAL BAKRIE

Infrastruktur

Perumahan
# PT Bakrie Building Industries (99,9%)

Produk: industri asbes dan semen
# Bakrie Mitra Satmakura (60%)
# Bakrie Brycon Indonesia (90%)
# Bakrie Anugrah Batualam Industri (51%)
# Bakrie Batualam Nusantara (51%)

Komponen Otomotif
# PT Bakrie Tosanjaya (99,9%)

Produk: pabrik besi cor

Konstruksi, baja, dan transportasi
# PT Bakrie Construction (51%)

Produk: konstruksi baja
# PT Bakrie Harper Co. (70%)

Produk: konstruksi
# PT Bakrie Corrugated Metal Industry (99,8%)

Produk: pabrik baja

Infrastruktur Minyak & Gas

PT Bakrie Pipe Industries (99,9%)
# Produk: pabrik pipa baja
# PT Seamless Pipe Indonesia Jaya (37,5%)

Produk: pabrik pipa
# PT SEAPI (99,6%)

Produk: pabrik pipa baja
# PT Bakrie Power Corporation (99%)

Produk: pembangkit tenaga listrik
# PT Bakrieland Development

(perusahaan properti)

Pemegang saham: Bakrie Capital (30,6%), masyarakat (38%)
# PT Elangprama Sakti (99,9%)
# PT Elangperkasa Pratama (99,9%)
# PT Citrasaudara Abadi (99,9%)
# PT Villa Del Sol (99,9%)
# PT Puri Diamond Pratama (99,9%)
# PT Krakatau Lampung Tourism Development (90%)
# PT Graha Andrasentra Propertindo (99,4%)
# PT Bakrie Swasakti Utama (95,8%)
# PT Energi Mega Persada Tbk.

(perusahaan minyak dan gas bumi)

Pemegang saham: terafiliasi Grup Bakrie, Kondur Indonesia (31%),
Brantas Indonesia (31%)
# PT Sembrani Persada (Blok Semberah)
# PT Insani Mitra Gelam (Blok Sungai Gelam)
# Costa International Group (Blok Gebang)
# Kalila Bentu Ltd. (Blok Bentu)
# Kalila Korinci Ltd. (Blok Korinci Baru)
# EMP Kangean Ltd. (Blok Kangean)
# Brantas PSC
# Malacca Straits
# PT Bumi Resources Tbk

(perusahaan pertambangan)
# Pemegang saham: Long Haul Holdings Ltd (42,2%), Minarak Labuan Co.,
dan Bakrie Capital (0,2%) afiliasi Grup Bakrie
# Gallo Oil Ltd. (100%) -- Blok minyak di Yaman
# Bumi Resources Japan Co. (100%)-- pemasaran
# PT Pendopo Energi Batubara (100%)
# PT Citra Palu Mineral (100%) -- tembaga
# PT Gorontalo Minerals (80%) -- tembaga

Didera Lumpur Lapindo

Menurut Bappenas, kerugian total akibat semburan lumpur Lapindo
Brantas Inc. dari 29 Mei 2006 sampai 8 Maret 2007 sebesar:

1.Kerugian langsung Rp 11 triliun.

2.Kerugian tidak langsung Rp 16,4 triliun.

Sampai sekarang semburan lumpur Lapindo masih belum teratasi.
Pemerintah "hanya" mewajibkan Lapindo membayar Rp 3 triliun untuk
mengatasi dampak sosial. Lapindo menyebutkan telah mengeluarkan dana
Rp 2,43 triliun. Sedangkan pemerintah menanggung kerugian
infrastruktur akibat semburan lumpur itu.

NASKAH: Maria Rita BAHAN: Majalah Tempo, Tempo Interaktif,
www.bakrie-brothers.com

***

http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/korupsi-kolusi-dan-nepotisme

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Down to Earth No.85 - 86, Agustus 2010

Oleh Andrew Hickman, DTE

Fakta yang menyedihkan bahwa lebih dari 10 tahun sejak jatuhnya Suharto dan terbentuknya pemerintahan demokrasi di Indonesia, korupsi, kolusi dan nepotisme, yang dikenal sebagai KKN, tetap merupakan masalah utama dan tantangan yang dihadapi Indonesia sekarang ini.

Seperti yang kita ketahui, isu korupsi tak hanya terjadi di Indonesia. Akarnya dapat ditelusuri hingga sangat jauh dan luas. Salah seorang penulis Indonesia terkemuka, Pramoedya, menulis dengan gamblang mengenai akar historis permasalahan ini dalam masa kolonial Indonesia; birokrasi yang kuat dan korup serta ketimpangan yang memalukan yang menghubungkan Indonesia dengan Eropa. Hubungan yang kuat dan timpang saat ini juga terjadi antara Eropa dan Indonesia dalam hal kepentingan usaha multinasional. Termasuk di dalamnya adalah perusahaan tambang multinasional raksasa yang terdaftar di Inggris dan Australia, Rio Tinto, yang memiliki banyak kepentingan pertambangan di Indonesia.

Belakangan ini, Rio Tinto dikaitkan dengan korupsi juga. Tahun lalu, empat pegawai Rio Tinto dituduh (dan terbukti bersalah) menerima suap dalam kasus yang ada hubungannya dengan industri baja di Cina.1

Dalam rapat umum pemegang saham tahunan perusahaan itu di London pada tanggal 15 April 2010, isu korupsi beberapa kali dikemukakan oleh para pemegang saham. Down to Earth, yang berkolaborasi dengan Jaringan Advokasi Tambang Indonesia (JATAM), bertanya kepada dewan direksi Rio Tinto mengenai korupsi terkait dengan tambang Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur dan pengalihan kepemilikan tambang itu ke Bumi Resources, yang merupakan bagian dari kelompok Bakrie and Brothers, perusahaan induk yang memayungi kepentingan usaha keluarga Bakrie.2
KPC dan korupsi

KPC adalah salah satu tambang batubara terbesar di dunia dan dulu dimiliki dan dijalankan oleh Rio Tinto. Meskipun 7 tahun sudah berlalu sejak Rio Tinto dan mitranya ketika itu, BP, menjual saham KPC mereka, warisan keterlibatan kedua perusahaan tersebut dalam tambang ini terus bergaung di Indonesia saat ini.

Tahun 2002 -setahun sebelum Rio Tinto dan BP akhirnya menjual saham 50-50 mereka di KPC - tambang ini, yang terletak dekat Sangatta, di kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, menghasilkan sekitar 15 juta ton batubara berkualitas tinggi per tahunnya dan memiliki cadangan yang diperkirakan masih bisa bertahan 20 tahun lagi. Sudah ada catatan sejarah mengenai pemogokan, pertikaian lahan dan masalah lingkungan hidup yang memengaruhi masyarakat setempat.3

Dengan investasi awal lebih dari USD1 miliar dan laba hampir USD300 juta per tahun, taruhannya tinggi bagi semua yang berkepentingan. Kontrak Kerja, yang ditandatangani tahun 1982, mensyaratkan Rio Tinto dan BP untuk melakukan divestasi 51% dari saham mereka ke investor Indonesia setelah lebih dari 5 tahun, mulai tahun 1996.4 Pada tahun 2003, Rio Tinto dan BP akhirnya (dan tampaknya dengan enggan) melakukan divestasi atas saham mereka di KPC, menyusul persyaratan pemerintah yang lebih ketat bagi pengembalian tambang kepada kepemilikan Indonesia. Bukan saja proses ini memakan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan, tetapi juga menimbulkan rasa tak senang dari pihak Rio Tinto dan BP serta pihak lain yang ingin menguasai KPC dan asetnya yang berharga.5 Tampaknya kedua perusahaan itu terpaksa menjual sahamnya dalam KPC seharga hampir setengah dari nilai yang berlaku, dengan harga total USD500 juta. Konsorsium kepentingan bisnis di Kalimantan Timur, yang
memiliki hubungan dengan pemerintah provinsi, sebelumnya menawarkan hampir dua kali lipat dari harga yang akhirnya dibayarkan.6

Setelah pertikaian hukum selama bertahun-tahun, masih saja ada pertanyaan mengapa BP dan Rio Tinto mendadak menjual saham mereka dan bagaimana itu bisa terjadi. Terdapat banyak kecurigaan bahwa kesepakatan itu lebih terkait dengan masalah politik dan kekuasaan daripada menjalankan bisnis secara jujur dan transparan. Apa yang telah diperoleh dan apa sebetulnya yang didapat dengan berbisnis bersama Aburizal Bakrie? Masih ada proses hukum dan politik yang berlangsung yang mempertanyakan penjualan saham KPC tahun 2003 itu serta terdapat kecurigaan serius mengenai ketidakberesan (termasuk investigasi yang terus berlanjut di parlemen Kalimantan Timur). Belum lama ini, gubernur Kalimantan Timur saat ini, Awang Farouk Ishak, disebut-sebut oleh Kejaksaan Agung di Jakarta sebagai tersangka kasus korupsi (sejak ia menjabat sebagai bupati Kutai Timur) dalam divestasi saham KPC ke Bumi Resources.7 (Lihat juga artikel terpisah 'Pangan, batubara dan desa Makroman'.)

Fakta bahwa hasil akhir dari semua ini adalah bahwa KPC harus berada di bawah penguasaan Bumi Resources, yang merupakan bagian dari kerajaan bisnis Aburizal Bakrie, memiliki konsekuensi yang lebih serius bagi publik dan masyarakat yang terus terimbas oleh industri pertambangan di Kalimantan Timur dan di tempat lain di Indonesia.

Bakrie and Brothers

Dialihkannya KPC ke Bumi Resources tahun 2003 menandai perguliran nasib baik bagi kerajaan bisnis keluarga Bakrie. Sejak krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, saat utang PT Bakrie and Brothers telah mencapai lebih dari USD1 miliar, konglomerat Bakrie berulang kali diberi dana talangan oleh para bank investasi dan dana kekayaan negara (sovereign wealth fund).8 Yang terakhir terjadi pada bulan Oktober 2009 ketika Bumi Resources menandatangani kesepakatan utang sebesar USD1,9 miliar selama 6 tahun bersama China Investment Corporation.9 Kesepakatan ini memungkinkan kelompok Bakrie membeli saham yang membuatnya berkuasa di PT Newmont Nusa Tenggara,10 yang mencakup tambang emas dan tembaga Batu Hijau yang kontroversial di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.11 Ekspansi kepemilikan keluarga Bakrie dalam sektor pertambangan ini menambah posisinya yang sudah dominan dalam industri pertambangan di Indonesia dengan Bumi Resources, yang memiliki baik KPC maupun
perusahaan batubara Indonesia terbesar lainnya, PT Arutmin Indonesia.12

Aburizal Bakrie, anak sulung dari empat bersaudara dan salah satu orang Indonesia terkaya di Asia Timur,13 menguasai kerajaan bisnis besar yang mencakup bidang pertambangan, energi, media dan properti.14 Pada tahun 2004, ia ditunjuk sebagai Menteri Koordinasi Ekonomi dan kemudian tahun 2005 Menteri Koordinasi Kesejahtaraan Rakyat, dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 2009, ia terpilih sebagai ketua Golkar, landasan kekuatan politik mantan diktator Suharto. Meskipun ada permintaan dari Presiden Yudhoyono agar ia melakukan divestasi kepentingan usaha pribadinya untuk menghindari dugaan konflik kepentingan, Bakrie terus mengontrol kerajaan bisnisnya.

Yang sangat ironis, pada tahun 2006, ketika ia menjabat sebagai Menko Kesra, salah satu perusahaan yang dikuasai Bakrie, PT Lapindo Brantas, bertanggung jawab atas bencana pengeboran minyak di Jawa Timur. Pengeboran ini menyebabkan adanya lautan lumpur panas yang menelan ribuan rumah, membuat sekitar 30.000 keluarga harus mengungsi, dan disalahkan sebagai penyebab tewasnya14 orang, serta terus menyemburkan lumpur hingga hari ini.15 Dalam usaha untuk menghindari membayar kompensasi kepada ribuan korban bencana yang masih terus berlangsung ini, Energi Mega Persada, perusahaan milik Bakrie yang menguasai mayoritas saham PT Lapindo Brantas, dua kali berusaha untuk menjual saham perusahaan itu seharga USD2 ke sebuah perusahaan luar negeri.16 Hingga saat ini banyak keluarga korban lumpur panas itu yang baru menerima 20% dari kompensasi yang harus dibayarkan kepada mereka.17 Ada persamaan dengan bencana tumpahnya minyak BP di Teluk Meksiko baru-baru ini.
Tetapi, tragisnya bagi Indonesia dan masyarakat yang terimbas, tampaknya hampir tak mungkin bahwa perusahaan itu akan dipaksa memberikan ganti rugi dan kompensasi sampai ke tingkat yang sama seperti yang dipaksakan kepada BP di Amerika Serikat.18

Di arena politik, Aburizal Bakrie tak merasa malu dengan tuduhan konflik kepentingan. Memang prestasinya di bidang ini kurang lebih sama, jika tidak lebih buruk. Saat ini ia dikaitkan dengan berbagai kasus penyuapan dan penghindaran pajak, terutama dalam hubungannya dengan investigasi yang masih berlangsung atas kegiatan KPC dan Bumi Resources. Selama tahun lalu, berbagai usaha telah dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk menyelidiki kesepakatan pajak dari baik KPC maupun Bumi Resources. Proses ini mendapat perlawanan di pengadilan dari pengacara perusahaan itu. Yang paling baru, seorang pejabat kantor pajak mengklaim bahwa ia disuap oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki Bakrie untuk membantu mereka dengan urusan pajak mereka.19 Tapi yang lebih mengkhawatirkan dari perspektif yang lebih luas adalah pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani pada bulan Mei 2010 akibat balas dendam politik oleh Bakrie.20 Sri Mulyani dikenal karena kampanye
antikorupsinya. Sebagai indikasi pergeseran politik ini, dua hari setelah kepergian Sri Mulyani, Bakrie ditunjuk sebagai ketua harian sekretariat gabungan partai koalisi pemerintah untuk menentukan kebijakan pemerintah.21 Tampaknya keberuntungan politik Aburizal Bakrie terkait langsung dengan nasib baik bisnisnya dan begitu sebaliknya.22

KPC: sejarah dan tanggung jawab bersama

Jelas bahwa bilamana ada eksploitasi sumber daya alam di Indonesia, dan khususnya dalam sektor pertambangan, minyak dan gas, maka uang, kekuasaan dan korupsi ada di belakangnya. Juga jelas bahwa masyarakat setempat dan masyarakat umum di Indonesia kemungkinan besar menjadi korban dari bisnis yang menghasilkan banyak uang ini, apakah itu secara langsung dari adanya konsekuensi lingkungan hidup atau tidak langsung melalui korupsi politik dan keuangan. Tambang batubara Sangatta dan Kaltim Prima Coal, yang sejarahnya berawal lebih dari 30 tahun yang silam, merupakan pusat dari jaring-jaring intrik dan degradasi lingkungan hidup. Selama lebih dari satu dekade - sejak ketika tambang itu mulai mengekspor batubara tahun 1992 hingga pengambilalihan oleh Bumi Resources tahun 2003 - Rio Tinto dan BP mengeruk keuntungan besar yang dihasilkan KPC. Saat meninggalkan Kalimantan Timur, Rio Tinto dan BP juga meninggalkan warisan beracun.

Ketika ditanyakan mengenai warisan itu dalam rapat umum tahunan di London, jawaban Rio Tinto terhadap pertanyaan DTE jauh dari memuaskan: baik Chairman, Jan du Plessis, maupun Chief Executive Officer, Tom Albanese, menyangkal bahwa ada yang tak beres. Sungguh mengejutkan betapa masalah ini ditanggapi sedemikian remeh oleh para direktur perusahaan, betapa mereka tampaknya sama sekali tak tersentuh oleh isu ini dan bagaimana mereka dengan ringan membantah adanya kaitan dan tanggung jawab dalam mendorong praktik korupsi di Indonesia.23 Kini, tujuh tahun telah berlalu sejak penjualan KPC, sebuah fakta utama tampak menonjol dalam gambaran menyedihkan mengenai korupsi, kolusi dan nepotisme ini. Yaitu bahwa Rio Tinto dan mitranya ketika itu BP, menjual saham mereka di KPC ke kerajaan bisnis Aburizal Bakrie, sehingga memperkuat kekuasaan keuangan dan politik pria yang sudah berkali-kali dituduh melakukan korupsi dan malpraktik itu, dan yang berada di jantung
sebuah masyarakat yang masih mengandalkan KKN. Dengan terus beroperasi di Indonesia, baik Rio Tinto maupun BP tak diragukan lagi memperoleh keuntungan, dan berharap terus menangguk keuntungan, dari koneksi bisnis dan politik yang diwariskan dari operasi mereka di Kalimantan Timur.

Catatan

�1. Untuk informasi tambahan mengenai kasus ini dan usaha Rio Tinto untuk menghindar, lihat: www.abc.net.au/news/stories/2010/04/16/2874320.htm
�2. Untuk melihat video mengenai pertanyaan ini dan acara selebihnya dari pertemuan tahunan 2010 Rio Tinto di London lihat:www.riotinto.com/shareholders/12361_agm2010.asp, atau www.youtube.com/watch?v=04t-ZpsDpaY
�3. Lihat artikel di DTE 47 & DTE 52
�4. Business Week, 20 Mei 2002. Lihat: www.minesandcommunities.org//article.php?a=7468&highlight=Kaltim,Prima,Coal
�5. Untuk laporan bagian dari proses ini, lihat DTE 52, Februari 2002. DTE 52
�6. Laporan lengkap mengenai proses divestasi tertuang dalam 'Indonesia's bitter mining endgame' oleh Bill Guerin: www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EG24Ae01.html
�7. Kasus ini berpusat seputar klaim penyelewengan uang negara dalam pengalihan saham antara 3 perusahaan; Kutai Timur Energi (KTE), Bumi Resources dan dan Timur Sejahtera (KTS). Lihat www.thejakartapost.com/news/2010/04/13/solid-evidence-graft-kpc-divestment-ago.html, www.thejakartapost.com/news/2010/07/09/east-kalimantan-governor-named-graft-suspect.html; www.antaranews.com/en/news/1280319320/president-to-process-permit-for-governors-questioning.
�8. Untuk laporan mengenai dukungan keuangan kerajaan bisnis keluarga Bakrie lihat: 'Politics and business mix in Indonesia'oleh Bill Guerin: www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HG22Ae01.html
�9. Lihat: thejakartaglobe.com/business/bumi-to-seek-buys-armed-with-cic-war-chest/334622
  10. Lihat: www.thejakartaglobe.com/business/the-bakrie-group-coal-hard-cash-and-chinese-whispers/345131
  11. Lihat: DTE 47 and DTE 67
  12. Ada dugaan keras bahwa Bumi Resources menggunakan dana Jamsostek untuk membayar kesepakatan bisnis ini. Lihat: 'Indonesia's bitter mining endgame' seperti pada catatan 6.
  13. Lihat: www.thejakartaglobe.com/home/bakrie-gains-750-million-in-2009-globe-asia-magazine-reports/378566
  14. Untuk laporan mengenai kepentingan bisnis keluarga Bakrie lihat 'Politics and business mix in Indonesia' oleh Bill Guerin: www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HG22Ae01.html
  15. Perkiraan jumlah warga yang terimbas sangat bervariasi. Angka ini dari laporan 2010 yang dibuat oleh akademisi dari Universitas Durham. Laporan ini juga dengan jelas menyalahkan pengeboran sebagai penyebab lumpur panas. Lihat: www.cbc.ca/technology/story/2008/11/03/mud-drilling.html, dan www.thejakartaglobe.com/home/lapindo-disaster-caused-by-human-error-study/358242
  16. Untuk laporan lebih lanjut mengenai bencana lumpur panas Lapindo termasuk usaha untuk menghindari liabilitas lihat: www.foeeurope.org/publications/2007/LB_mud_volcano_Indonesia.pdf; juga: DTE 71 and DTE 72.
  17. Lihat: articles.latimes.com/2010/jul/10/world/la-fg-indonesia-mudslide-20100710
  18. Artikel yang ditulis belum lama ini membandingkan tumpahan minyak BP dengan Lapindo: www.smh.com.au/business/heres-mud-in-your-eye-says-presidentinwaiting-20100726-10sr8.html
  19. Artikel ini menggambarkan sejarah dugaan adanya ketidakberesan dalam keuangan perusahaan-perusahaan yang dikuasai Bakrie: www.thejakartapost.com/news/2010/07/30/state-capture-how-bakrie-group-dodges-bullet-again.html
  20. Lihat: www.eastasiaforum.org/2010/05/09/exit-sri-mulyani-corruption-and-reform-in-indonesia/
  21. Lihat: uk.asiancorrespondent.com/asiasentinel/indonesia%e2%80%99s-bakrie-grabs-new-post
  22. Lihat 'Reformasi in trouble': uk.asiancorrespondent.com/asiasentinel/reformasi-in-trouble-in-indonesia
  23. Untuk laporan mengenai pertemuan tahunan Rio Tinto lihat: londonminingnetwork.org/2010/04/report-on-the-london-agm-of-rio-tinto-15-april-2010/ juga artikel opini di: www.minesandcommunities.org/article.php?a=10056

***

> Chan ngakunya tidak bisa berbisnis. Dia minta diakui sebagai politikus.  Akui sajalah... supaya dia senang.
> BISAI.
>
> Golkar Bali Terima Kunjungan Partai Komunis China + Ikuti Partai Komunis China, Golkar Bali Bangun Hotel
>
>
>   �Sebelum menuduh picik segala, pelajari dulu betul-betul dan serius dalam keadaan yang bagaimana  Mao berkoalisi dengan KMT. Politik front persatuan adalah salah satu senjata dalam revolusi demokrasi baru. Dengan siapa kita berkoalisi tergantung kepada analisa klas dan kontradiksi pokok pada saat tertentu. Kalau kontradiksi pokok dengan agresor seperti dalam kasus Tkk dimana ada agresi Jepang, ya sudah tentu Mao harus berkoalisi dengan KMT. Namun, begitu Jepang dikalahkan, maka KMT menjadi musuh dan tidak tanggung-tanggung dihancurkan oleh TPRT yang membebaskan seluruh negeri. Pada jaman KMT dipimpin Sun Yatsen, PKT juga bersatu dengan KMT untuk melawan raja-raja perang. Jadi harus pakai analisa klas dong! Jangan sembarangan berkoalisi! Dilihat siapa musuh pokoknya. Nah, sekarang PKCH berkoalisi dengan Golkar untuk "ganyang" musuh yang mana? Rakyat Indonesia yang miskin papa? Atau untuk bikin proyek-proyek mewah yang hanya bisa dinikmati
lagi-lagi
>�oleh orang-orang kaya? Siapa sih yang bisa berpariwisata di Indonesia ini? Kaum buruh dan kaum tani????
>
>   �Sekali lagi kita bicara soal watak klas PKCH. Dari dulu, sejak PKCH mengkhianati rakyat Indonesia dengan mengusir orang-orang kom dari Tiongkok, maka Gokarlah yang ia rangkul. Ingat nggak Dian su sendiri yang menceritakan dengan bangga diundangnya Golkar untuk menghadiri Kongres PKCH.Mengapa begitu mesra dengan golkar? Bisnis lah motivasinya. Mengapa tidak ada solidaritas dengan rakyat yang sedang melancarkan perang rakyat di Filipina, India dan negeri lain, yang sungguh-sungguh berjuang untuk pembebasan nasional dan keadilan sosial? anda tuh sudah tidak bisa melihat kepentingan rakyat, ya dilihatnya cuma bisnis melulu....
>
>�senantiasa,
>�TL
>
>�______________________

__._,_.___
Recent Activity:
Untuk bergabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
Subscribe our Feeds :
http://feeds.feedburner.com/Tionghoanet

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar